Chapter 36 : Tengkorak Hitam dan Ritual

34 9 6
                                    

Hutan Jamur Gunung Batari, Wilayah Arsir Kadipaten Sunyoto.

Beberapa kali sudah, Ni’mal melompati jamur merah raksasa berpermukaan cembung. Ia tak menggubris teriakan Ratih dari belakang, yang memintanya tuk diam sejenak sekadar menunggu. Selang beberapa waktu, tubuhnya diam mendarat di permukaan tanah hitam nan lembap. Atensinya tertuju pada kelebatan hitam di langit malam. Makhluk Hitam? gumamnya dalam batin.

Bentangan sayap dari kelebatan hitam di hadapannya serupa sayap naga. Tetapi jika ditilik lebih teliti, makhluk-makhluk tersebut lebih mirip kelelawar raksasa berbulu hitam pekat. Itu … Makhluk Hitam jenis Kalong! terka Ni’mal yakin.

“Kang Ni’mal! Awas di belakang!” teriak gadis berkebaya hijau dari atas siput bercangkang emas sebesar mobil.

Dikala pemuda berjaket hitam merah mendongak, djumpainya sesosok kelelawar seukuran truk – tengah melesat menukik menghampirinya sambil mengeluarkan suara, “Kyaaaaak!”

Brraaall!

Sang kelelawar hitam raksasa mendarat di tempat barusan Ni’mal berdiri. Pemuda berjaket hitam merah itu lebih dahulu melompat kayang  ke belakang guna menghindar. Kalong di Gunung Batari? Kalau tak salah, Kakek pernah bilang di sini tidak ada jenis Makhluk Hitam terbang!

“Kyaaaak! Kyaaaak! Kyaaaak! Kyaaak!” Beberapa Kalong lain terbang merendah, mengitari Ratih dan Ni’mal. Mata mereka tertuju pada dua manusia dan satu ekor siput raksasa bercangkang emas.

“Aaaaaaaakh!” Lagi-lagi teriakan dari perempuan memancing dua peserta Sayembara Manunggal mendongak ke atas.

“Kang!” Ratih dan siput besarnya mendekat, berhenti di belakang Ni’mal sambil memunggungi. “Ambil ini, dan pergi ke sana! Sepertinya ada yang dalam bahaya di sana!” tegas Ratih sambil memberikan sebotol cairan hijau pekat kepada pemuda berjaket hitam merah.

“Dan membiarkanmu sendirian dimangsa oleh monster-monster ini? Sebaiknya kita bersama-sama!” tolak Ni’mal.

Ratih mengeluarkan sebilah keris kecil, lantas menancapkannya ke lengan.

Deep!

“Hey! Apa yang ….”

“Lihat?” Ratih mencabut benda tajam dari badan, menunjukkan tangannya yang baik-baik saja. “Selagi di ruangan terbuka, yang menyerangku sama saja dengan menyerang cangkang emas siputku ini. Aku tahu, taring para Kalong ini mampu melubangi besi, tapi tidak dengan cangkang emas siputku ini,” paparnya.

“Kyaaaaak!” Sesosok Kalong melesat cepat, mengayunkan kaki depan bercakar tajam ke kepala Ni’mal.

Ratih sigap melompat, menangkiskan serangan tersebut, membuatnya terguling beberapa meter usai diterjang. Tapi benar, tangannya tak terluka sama sekali. “Kang! Larilah! Siapapun yang ada di atas sana, dia pasti dalam bahaya!” pinta Ratih sambil bangkit berdiri.

Cucu Mbah Purwadi mengeratkan gigi. Ia teringat pada pemuda yang ia tinggal begitu saja sebelum pergi ke kediaman sang kakek. “Tolong jangan mati!” celetuknya memejamkan mata. “Buat kali ini aku benar akan segera kembali!” imbuhnya melesat cepat, mendarat di permukaan jamur raksasa merah, tuk melompat ke jamur merah lainnya.

Memandangi punggung pemuda berjaket hitam, si gadis berkebaya hijau tersenyum lega – sebab hanya ada dua sosok kelelawar raksasa yang mengejar Ni’mal. Sementara beberapa lainnya, tetap fokus mengitari Ratih. “Onni, kita itung-itung latihan sebelum babak ke-empat Sayembara Manunggal, ya!”

***

Halaman belakang Padepokan Gajah Putih, Kadipaten Cidewa Hideung.

Di bawah naungan rimbun pohon beringin kembar, Raden Armi dan Ki Ageng Jagat duduk bersila, saling menatap. sosok berjenggot abu-abu dalam balutan busana hitam, lebih dulu buka suara, “Den … apa tidak sebaiknya kita hentikan Ni’mal? Kita tidak tahu, apa niatan Cepot menyuruhnya mengumpulkan batu keramat empat warna.”

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now