Chapter 35 : Sebuah Petunjuk

40 10 2
                                    

Taman Khusus Raja, Keraton Utama Pancer.

Prabu Cakrabumi duduk sila di atas batu pipih tengah kolam. Sepasang mata elang si pria berkumis lebat terbuka tatkala sesosok pria gondrong berbusana serba hitam panjang lengkap dengan blangkon, muncul dan langsung berlutut di luar kolam. “Siapa yang buat keributan semalam? Siapa yang berani mengambil batu keramat putih dari Museum Utama Tarang?”

“Ampun, Tuan Prabu … PM yang selamat dari insiden itu bilang kalau pelakunya seorang pemuda bertopeng Arjuna Merah,” sahut si pria kekar berambut panjang.

“Arjuna Merah?” gumam sang raja lirih. “Apa Radit belum siuman juga?”

“Belum, Tuan Prabu. Luka luar dan dalamnya amat parah, sukmanya juga terluka fatal. Saya rasa … pelakunya sekelas SM Garuda tahap awal.”

“Aku dengar ada bekas pengendali es dan api malam tadi. Apa kau sudah utus beberapa SM untuk menginterogasi Padepokan Gajah Putih?”

“Saya sudah mengutus beberapa SM tingkat Cendrawasih untuk bertanya langsung kepada Ki Ageng Jagat, Tuan Prabu.”

Kalau pun mereka terlibat, apa tujuan mereka mengumpulkan batu permata keramat? Aku yakin, Ki Ageng Jagat bukan manusia gila kuasa. Netra sang raja bergulir ke kanan dan kiri. “Ki?”

“Kulo, Tuan Prabu?”

Prabu Cakrabumi menghela napas. “Apa kau yakin, lelaki bertopeng Arjuna Merah itu tidak lebih kuat dari Jaka Bagus?”

“Dilihat dari waktu yang dia butuhkan untuk menumbangkan para PM dan SM tingkat Cendrawasih sekaligus, saya yakin dia setingkat SM Garuda. Tapi kalau kemampuannya … saya yakin masih beberapa tingkat di bawah Arjuna Putih.”

Radit … bocah itu dikalahkan hanya dalam beberapa menit. Bahkan dia belum sempat mengerahkan potensi terbesarnya. Padahal, satu-satunya SM termuda yang bisa mengalahkan Irawan hanya dia. Apa mungkin … Arjuna Merah itu, adalah Arjuna Merah yang sempat menyerang Keraton Utama beberapa tahun lalu? Tapi kalau benar … apa artinya Utusan Sura Selatan bekerja sama dengannya?

Pria bermahkota emas menghela napas. Kalau benar demikian, artinya terjadi pemberontakan secara diam-diam!

***
Alam Mimpi.

Jrrrr ….

Mata Ni’mal terbuka lebar, mengamati serbuan air keruh bak sungai yang menerjang sampai lutut. Hamparan hutan tanpa daun di sekitarnya, membuatnya paham bila tempat ini merupakan bagian dari sebuah hutan di wilayah Kadipaten Senlin. “Banjir?”

“Mas! Mas Ni’mal!” Suara seorang gadis memanggilnya. “Mas Ni’mal!”

Suara ini … gadis yang waktu itu? pikirnya dalam hati sambil balik kanan. “K-kau ….” Didapatinya Anjani, gadis berbusana serba ungu dengan kain tipis sebagai penutup mulut dan hidung. Tubuh gadis berkulit putih itu dijerat oleh dahan dan akar sebuah pohon hitam tanpa daun.

“Mas Ni’mal? Tolong aku!” pekiknya memelas.

Layaknya seperti mimpi kebanyakan, ada perasaan tanpa dasar nalar. Ni’mal dikuasai keengganan tuk menolong. Jangankan bergerak mendekati gadis itu, ia justru terpaku tuk pergi dari sana sesegera mungkin. “Tidak, ada hal lain yang harus kulakukan sekarang!” gumamnya lirih. Keselamatan Mbah Pur, keberadaan Lastri, dan berbagai hal lain jadi pendorong utamanya tuk pergi dari sana.

“Cucuku?” Sang penerus Padepokan Macan Bumi – Mbah Purwadi, berdiri tenang di belakangnya.

“K-Kakek?” Pemuda berjaket hitam merah terbelalak.

“Otak, adalah sumber penderitaan. Otak hampa sebentar saja, mereka akan merasa menderita. Memikirkan masa lalu, penderitaan yang mereka ambil. Memikirkan masa depan, hanya kekhawatiran yang tak jelas – yang mereka dapati. Manusiawi memang, tapi coba bandingkan dengan mereka yang mampu berdamai dengan takdir. Bandingkan dengan mereka yang mampu menyelaraskan hati dan akal. Mereka … tidak meratapi masa lalu, mau pun takut pada masa depan yang tak pasti.”

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now