Chapter 28 : Cinta dan Duka

33 9 4
                                    

Kawasan Hutan sekitar Padepokan Gajah Putih, Kadipaten Cidewa Hideung.

Bentangan langit biru menghias angkasa. Sang surya berpendar begitu terang, menyorot pepohonan peneduh rimba. Bunyi-bunyian dari hewan dan serangga mewarnai suasana. Hening, sunyi, tenang, tanpa pertanda marabahaya.

Lastri Lituhayu, gadis berparas menawan itu duduk di sebuah batu. Berbalutkan kaos lengan pendek biru, netranya menatap sayu sepuncuk kembang ungu. Hatinya dikuasai gundah dan gelisah nan bersatu padu. Bahagia sekaligus duka, yang ia terima setelah tahu bahwa Ni’mal yang menyelamatkannya dari jerat orang-orang itu. Netra jeli gadis mancung bermata indah membendung air mata haru dan pilu.

“Haduh … Gusti … entah kenapa, cewek-cewek cantik jaman sekarang demen banget melamun di siang bolong begini,” celetuk Raden Armi yang mendadak muncul dari balik pohon besar. Pria berbusana hitam panjang dengan blangkon di kepala, melangkah lirih menghampiri Lastri.

“Gus Armi?” Mengetahui siapa yang muncul, Lastri balik kanan dan turun dari batu besar. Ia membungkuk memberi penghormatan.

“Weh … sudah lama aku ndak dipanggil Gus.” Pria mancung bercelak hitam tipis berhenti tiga meter dari Lastri. “Ini bukan di Keraton Utama. Lagi pula aku sudah bukan penasihat raja. Jadi bersikap biasa saja,” ucapnya santai, duduk bersila menghadap gadis berkaos biru.

Lastri tetap membungkuk, sepenuh hati berkata, “Anda … yang meminta Mas Ni’mal menyelamatkan saya, ya? Terima kasih banyak, Gus Armi.”

Pria berblangkon tersebut merogoh sebungkus rokok dan sebuah korek merah. Ia menggeleng lirih. “Semenjak terbangun, maksudku setelah gagal menyelamatkanmu, Ni’mal terus saja memikirkanmu. Bukan aku yang memintanya mencarimu, tapi dia sendiri yang berhasil menemukan keberadaanmu.”

Lastri berlutut, menghadap mantan penasihat Raja Manunggal. Mas Ni’mal ….

“Aku setuju-setuju saja, kalau patokan badboy idaman perempuan seperti Ni’mal. Berani mati demi wanita yang dia kasihi,” celetuknya mengapit rokok di mulut. “Tapi tetap saja … bodoh dan polos itu beda tipis,” imbuhnya menyalakan api pada tembakaunya.

Lastri memberanikan diri bertanya, “Gus Armi … apa Mas Ni’mal tak akan bisa ingat lagi soal apa yang terjadi pada kami berdua waktu itu?”

“Kamu ndak boleh menyalahkan dia. Aku dan para sesepuh Manunggal yang bertanggung jawab atasnya sekarang. Kamu juga pasti paham, kalau dia ingat bahwa dirinya adalah Arjuna Merah … bukan cuma kamu atau orang-orang terdekatnya, tetapi semua Negeri Manunggal akan kena imbasnya.”

Lastri masih menunduk, membiarkan air matanya menetes membasahi pipi. “Apa kami memang tak ditakdirkan bersatu, Gus?”

Raden Armi menghela napas panjang. Ia iba terhadap gadis berkaos biru di depannya. “Perihal jodoh, saya kurang tahu. Tapi kalau kau meminta saran, saya sarankan redam perasaanmu.”

“Artinya .…” Lastri tersenyum masam. “Kami memang tak berjodoh, ya ….”

“Saya tak tahu pasti. Yang jelas, kau boleh mengungkapkan semuanya jika bocah itu sudah siap. Bukan siap sebagai Arjuna Merah, tetapi siap sebagai Ni’mal – yang harus memanggul beban keselamatan Negeri Manunggal.”

“B-baik, Gus ...,” sahutnya lesu.

“Nduk … sebagai gurunya, aku mohon kau simpan sejenak soal perasaan. Ada banyak hal besar yang harus dia selesaikan.”

Gadis berkaos biru mengangguk lirih. “Ya, saya mengerti ….”

***

Ruang Kerja Tumenggung Senlin, Kota Jayakarta, Kadipaten Senlin.

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now