Chapter 30 : Tipu Daya Cepot!

28 8 1
                                    


Beberapa hari kemudian, Hutan Kaki Gunung Padepokan Gajah Putih, Kadipaten Cidewa Hideung.

Ni’mal duduk bersandar pada sebatang pohon mangga. Sesekali netra beriris cokelatnya tertuju pada batang pohon besar yang ambruk akibat pertarungannya melawan sang guru beberapa hari lalu. Tinju pemuda berjaket hitam merah itu mengepal erat, hatinya berdesir mengingat Lastri yang harus pergi dan Mbah Purwadi yang entah di mana saat ini. “Maafkan aku, Kakek … Lastri … aku masih terlalu lemah untuk melindungi kalian,” gumamnya lirih.

Swuuung!

Sebuah bola api melesat cepat, mendekat dalam kecepatan puluhan kilometer perjam, menuju Ni’mal yang duduk bersandar. Spontan, pemuda mancung bertubuh kurus itu menangkis menggunakan lengan kanan. Rautnya kesal, bangkit berdiri menatap arah sumber serangan.

Agni si gadis berjubah hitam kemerahan tersebut menjewer telinga Athar sambil melangkah maju. “Tuh! Kau lihat! Jaket yang dihadiahkan Guru itu kebal api dan senjata tajam!” celetuknya tanpa rasa dosa. Jelas-jelas bila itu manusia biasa, bisa saja tewas terbakar oleh apinya.

“Aiih! Hey! Jangan jewer-jewer!” celetuk Athar menepis tangan mulus Agni.

Cucu Mbah Pur bangkit, mengerutkan dahi sambil bertanya, “Apa Raden Armi yang meminta kalian latih tanding denganku?”

“T-tidak! Nggak! Nggak, Kak!” jawab Athar gugup.

“Ini, Kak! Si Athar gak percaya kalau baju yang Kakak pakai itu kebal api dan senjata tajam!” jelas Agni. Mereka berdiri dua meter di depan Ni’mal.

Pemuda beralis lebat memandangi busana yang ia kenakan. Benar juga, ya? Tubuhku jarang terluka saat bertarung mengenakan baju ini. Padahal pas melawan Guru kemarin, kaos merahku sampai tercabik.

“Wuih! Mangga muda!” Agni melompat menggapai buah mangga yang masih hijau. Tanpa ba-bi-bu, gadis manis itu menggigit buah tersebut tanpa mengupas. “Hmmmm! Enak!” ucapnya usai menelan makanan di mulut.

Athar geleng-geleng. “Hadeh … si rakus banyak makan, tapi badan tetep aja kurus!”

Ni’mal menatap Athar. “Ada apa kalian kemari?”

“Babak tiga Sayembara Manunggal akan digelar besok. Ki Ageng Jagat minta kita semua pergi ke Sunyoto, sekarang.”

“Apa … aku masih boleh ikut? Bukannya … aku telah mem-”

Tep ....

Pemuda berjaket biru menepuk lirih bahu Ni’mal. “Kak, kau hilang Kendali. Kau tak sengaja membunuh mereka berempat. Lagi pula, kalau kau tahu siapa mereka, mungkin kau tidak akan menyesal.”

“H-hah? Mereka? Maksudnya … prajurit PM yang aku bunuh itu? Mereka siapa?”

Dengan mulut penuh, Agni menjawab, “Mereka berempat terlibat dengan penculikan Kak Lastri. Mereka juga orang yang melepaskan Makhluk Hitam ke Kota Fanrong waktu itu, tanpa sepengetahuan Tumenggung dan wakilnya.”

Ni’mal menyipitkan mata, tak percaya. “Mereka berempat? Tapi alasannya apa?”

Agni mengangkat sepasang bahu ke atas. “Ya ndak tahu!”

“Itu kenapa babak ketiga diundur. Beberapa hari lalu, Prabu Cakrabumi memanggil Tumenggung dan Wakil Tumenggung Senlin ke Keraton Utama.”

“Apa mereka dipenjara? Atau hukum mati?” tanya Ni’mal cepat.

Agni dan Athar sedetik tukar pandang. Athar menjawab, “Mereka berdua dibebaskan dengan syarat.”

Terpicu emosi, Ni’mal menghantam hancur pohon mangga di belakangnya. “Haaaaargh!”

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now