Bab 20

6K 142 7
                                    

Suasana di mobil berlangsung hening begitu Thian menutup pintu. Situasi canggung begitu lekat terasa.

"Pak Sigit, jangan salah sangka. Cewek yang tadi itu bukan siapa-siapa. Saya tadi janjian ketemu sama Pak Bian, direktur PT Schafer." Thian meluruskan kejadian di lobi hotel tadi. Meski Sigit hanya supir, lelaki itu adalah saksi kunci jadwalnya sehari-hari. Ia telah mengenal Sigit sejak lama dan tidak ingin lelaki itu salah paham.

"Iya Pak," jawab Sigit singkat sambil melirik sekilas melalui spion.

Thian masih merasa tidak puas dengan jawaban singkat Sigit. Bagaimana pun juga, ia menganggap Sigit bukan orang lain. Sigit setiap hari datang menjemput dan mengantarnya pulang. Sigit juga mengenal keluarganya. Selain itu, Sigit adalah saksi perjalanan karirnya dulu. Sigit tahu, bagaimana saat ia dulu digoda oleh salah satu klien ketika masih merintis karir. Sigit pernah menjaganya, saat ia dibuat mabuk oleh klien yang menginginkannya.

"Pak Sigit jangan mikir aneh-aneh ya."

Sigit tiba-tiba membelokkan arah mobil memasuki jalanan yang lebih sepi. Thian menatap heran. Ini bukan arah ke kantor.

"Pak Sigit, kenapa belok?"

Sigit segera menepikan mobil kemudian melepas sabuk pengaman dan menoleh menatap prihatin pada Thian yang duduk di seat belakang. Ia sudah lama mengenal Thian, sejak lelaki itu masih muda. Selama ini yang ia tahu, Thian adalah lelaki lurus yang tidak pernah berbuat macam-macam. Jangan ditanya berapa perempuan yang terang-terangan menaruh minat. Tetapi rupanya puncak karir telah menggoyahkan iman Thian.

"Bapak maaf sekali." Sigit menatap kedua mata Thian. "Saya tadi dapat titipan." Sigit mengeluarkan kartu kamar hotel pemberian Dara dari dalam saku bajunya dan memberikannya kepada Thian.

Thian menerima pemberian dari Sigit dengan dahi berkerut saat menyadari apa yang saat ini tengah berada di dalam tangannya.

"Itu kartu kamar hotel Pak. Hotel yang tadi kita datangi. Dari cewek yang tadi sama Bapak."

Reflek Thian mendongak. Ia menemukan wajah datar Sigit.

"Kata dia, Bapak sudah janjian." Sigit melanjutkan penjelasannya.

"P.. Pak Sigit. Ini nggak seperti yang Bapak kira." Thian menatap panik.

"Pak Thian, maaf tapi saya cuma supir Bapak. Saya akan diam dan tetap menjalankan tugas saya. Saya selalu siap untuk Bapak." Sigit menunduk dan kembali menghadap ke depan. Ia memutuskan tidak terlibat terlalu jauh dan hanya sekadar melaksanakan tugasnya saja. Ia tidak ingin terseret dalam drama perselingkuhan apalagi drama rumah tangga Thian, mengingat Nina lumayan ketat dalam mengontrol Thian.

Sigit merasa posisinya rawan. Ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang akan membuatnya terseret dalam masalah Thian. Lagipula, selama ini supir lain juga melakukan hal yang sama. Mereka semua, menyimpan banyak rahasia.

Saking banyaknya, hanya bisa mereka simpan sendiri. Mereka tidak ingin bergosip di kalangan mereka, karena terlalu berbahaya. Sudah cukup mereka pusing menyimpan rahasia atasan masing-masing dan tidak ingin menambah masalah.

Sementara Thian hanya bisa menatap lesu kartu di tangannya. Ia terlanjur membuat kesalahan dan kini dosa itu membuntutinya. Terbayang wajah Nina. Thian luar biasa takut saat ini.

"Jalan Pak. Balik ke kantor setelah itu tolong balik ke hotel tadi. Kembalikan kartu ini ke resepsionis." Thian mencolek bahu Sigit dan menyodorkan kartu yang terselip di jemarinya.

Sigit segera menerima kartu tersebut dari tangan Thian kemudian menyalakan mesin.

"Saya cuma sayang Nina. Pak Sigit cukup tahu aja," ucap Thian sambil melempar pandangan ke luar jendela.

Dessert Rose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang