Bab 43

3.9K 173 135
                                    

Memang apa salahku?

Siang itu Thian termenung di balik meja kerjanya saat sedang mengecek laporan pengembangan proyek inovasi digital banking, yang akan diserahkan esok hari kepada Raynor.

Ketika ia mulai lelah, sesekali sikap Nina mengusik pikirannya,

Thian menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya sambil menerka-nerka, kira-kira apa yang membuat sikap Nina berubah? Tetapi ia tidak menemukan satu pun.

Selama Nina berada di Bali, ia dan Nina berkomunikasi secara baik-baik. Tidak ada yang aneh. Sungguh mengherankan ketika ia menemui Nina di rumah, sikap istrinya itu mulai berubah.

Ada apa ini sebenarnya?
Thian menghela napas berat sambil menatap langit-langit ruangannya.

Ia sungguh merindukan Nina. Ia rindu tatapan hangat Nina. Ia rindu senyuman malaikat Nina. Ia rindu mengobrol santai dan bicara tentang apa saja dengan Nina. Ia rindu mencium bibir manis Nina. Ia rindu memeluk dan menyentuh Nina. Thian memangku sebelah pipinya dengan tangan, kemudian menggambar bentuk hati di buku catatannya.

Ia terbiasa diperhatikan oleh Nina. Terbiasa dirindukan dan dipuja-puja. Kini ia bagai tidak terlihat. Bagaimana caranya agar Nina kembali bersikap seperti semula? Membuka jalan komunikasi pun terasa percuma. Apa ia harus sengaja cari perhatian?

Benar. Kenapa tidak?
Thian menegakkan kepalanya.

Tapi bagaimana caranya mencari perhatian Nina? Karena sungguh soal perhatian ini, tanpa ia perlu mencari-cari sudah selalu datang dengan sendirinya.

Thian menatap lesu buku catatannya di atas meja. Ia melirik ponselnya sejenak. Semenjak tadi tidak ada pesan masuk juga telepon dari Nina. Istrinya itu benar-benar mengabaikannya.

Thian meraih ponselnya dan membuka kolom chat dengan Nina. Ia mulai mengetik.

'Nanti aku pulang telat. Ketemuan sama Pak Utomo.'

Send.

Jempol Thian masih tertahan di atas layar. Ia ingin mengetik I love you, tetapi Nina sudah membuatnya merasa tertolak berkali-kali. Ia tidak ingin kembali merendahkan ego-nya demi sikap janggal Nina yang sama sekali tidak ia pahami penyebabnya.

Tidak biasanya Nina mempersulit komunikasi. Ia mengenal istrinya sebagai wanita yang komunikatif. Nina tidak pernah sengaja ngambek dengan cara seperti ini. Nina tidak pernah membiarkannya tersesat sendirian menduga-duga seperti ini.

Mendadak, kepalanya pusing memikirkan Nina. Hatinya keruh.

Thian baru saja akan meletakkan ponselnya ketika panggilan masuk dari nomor asing membuat tatapannya  terkunci pada layar.

"Halo." Ia segera menerima panggilan itu.

"Aku kangen." Terdengar nada manja Dara.

"Kan sudah aku bilang, jangan telpon."

"Aku nungguin telpon kamu."

"Kenapa kamu tungguin?"

"Aku kangen."

"Jangan telpon, kecuali aku yang telpon."

"Aku keinget-inget kemarin. Enak banget."

Thian membisu menatap mejanya.

"Pasti enak banget ya jadi istri kamu? Terpuaskan lahir batin, hahaha!"

Thian hanya memijit pangkal hidungnya.

"Thian, kok diem... "

"Sudah aku bilang jangan telpon aku!"

"Kenapa?"

Dessert Rose [END]Where stories live. Discover now