Bab 28

4.6K 132 2
                                    

"Rasanya sakit banget. Apalagi pas dia jujur perkara si Wenny itu dan sekarang dia terang-terangan kalau nggak pulang dan bilang nginep di tempat Wenny."

"Lo beneran kuat?" Nina menatap iba saat Diajeng menceritakan keadaan pernikahannya dengan Dharma. Diajeng memang telah mengambil keputusan, akan tetap mempertahankan pernikahannya dengan Dharma. Nina tidak bisa membayangkan, hati sekuat apa yang harus dipersiapkan oleh Diajeng setiap harinya.

"Dharma bilang, it just sex. Nggak lebih."

"Lo bisa rela?" Nina menatap tak percaya.

"Gue harus rela daripada gue serahin dia ke tuh lonte. Dharma bilang, nggak ada yang serius sama perempuan itu. Cuma buat pelampiasan nafsu. Perempuan itu cuma jadi pelacurnya. Dharma tetep jadi suami yang bertanggung jawab. Dia tetep kasih nafkah kayak biasanya. Nggak ada yang berkurang, nggak ada yang berubah. Sikap dia juga masih sama."

"Sori tapi, apa kalian masih berhubungan suami istri kayak biasanya?"

"Masih."

"Lo bisa gitu?" Nina menatap heran.

"Harus bisa," jawab Diajeng dengan tatapan getir.

Nina menghembuskan napas kasar dan meletakkan sendok es krim-nya. Saat ini mereka sedang berada di kedai kue demi menyempatkan waktu untuk saling bertukar cerita.

"Kalo gue pikir-pikir, lebih rugi cerai daripada nggak cerai. Pertama, anak gue bakal kehilangan sosok ayah. Kedua, gue tergantung secara finansial sama Dharma. Ketiga, dia menghidupi keluarga dengan amat sangat baik. Keempat, Dharma janji apa pun yang terjadi dia nggak bakal ceraikan gue. Jadi kalo keputusan cerai itu dateng, itu berarti dari gue. Kelima, daripada harta dibagi gono-gini mending tetep utuh buat Gistara nanti.

Kalau misal pasca cerai Dharma nikah lagi sama perempuan lain, kan nafkahnya jadi harus dibagi-bagi. Mending ya udah biar aja dia seneng-seneng sama lonte. Tapi semua aset dan kekayaan tetep harta kita berdua."

Nina hanya manggut-manggut saat mendengarkan pertimbangan Diajeng.

"Kalo misal lo jadi gue, gimana?" tanya Diajeng kemudian.

Nina serta merta mengangkat kedua alisnya. Sungguh ia tidak bisa membayangkan jika harus berada di posisi Diajeng.

"Gimanaa yaaa.... " Tatapan Nina menerawang sesaat. "Kalo gue, ini gue ya? Bukan berarti gue nilai keputusan lo nggak tepat. Tapi balik, lo nanya pendapat gue kan?"

Diajeng mengangguk cepat.

"Gue kayaknya bakal pilih cerai." Nina mengangguk seolah meyakini pendapatnya barusan.

"Lo milih cerai dari Thian?" Diajeng menatap tak percaya.

"Iya. Seandainya di posisi lo, gue akan pilih cerai. Mau itu perempuan lain cuma pelacur kek, gue tetep ajuin cerai."

"Tapi Thian kaya raya lho. Lo yakin lepasin Thian gitu aja? Karir dia juga lagi bagus-bagusnya."

Nina menekan bibirnya sejenak. Sungguh pertanyaan yang sulit untuk dijawab. "Mungkin biar cepet prosesnya, gue nggak akan terlalu mempermasalahkan gono-gini karena gue tahu itu harta dia. Gue tahu diri. Yang penting, dia tetep nafkahin anak gue."

"Serius lo bisa kayak gitu?" Kedua mata Diajeng membelalak lebar.

"Gue nggak tahu sih pastinya sih. Ya gue berharap jangan sampai ngalamin hal kayak gitu. Tapi ya ini pendapat gue. Hal yang terpikirkan di kepala gue saat ini. Karena gue nggak sanggup nahan gimana sakitnya hati gue gitu."

"Emang sakit banget. Gue sampe bertanya-tanya. Kurang apa gue saat ini?"

"Lo nggak kurang apa-apa. Emang si Dharma aja."

Dessert Rose [END]Where stories live. Discover now