Bab 41⚠️

12.3K 201 51
                                    

Dara membuntuti Thian yang berjalan menuju lift dengan senyuman tertahan. Sedari tadi sejak bertemu di lobi hotel, Thian tampak salah tingkah.

Hanya ada kebisuan. Dara melirik Thian yang masih tampak canggung. Sepertinya sedang menahan malu terhadap diri sendiri hingga wajah lelaki itu bersemu merah.

Makannya, jangan hina-hina lonte. Eh tahunya doyan juga, ledek Dara hanya di dalam hati.

Pintu lift terbuka dan mereka berjalan menyusuri lorong. Thian memasukkan kartu akses kamar dan pintu terbuka. Dara segera menemukan ruangan dengan single bed yang tidak terlalu buruk. Cukup nyaman untuk bercinta.

"Jadi kamu butuh aku?" Dara meletakkan tas-nya di atas meja dan membiarkan pintu tertutup di belakang punggungnya.

Thian hanya menjawab dengan menggigiti pelan bibirnya sendiri.

"Jawab." Dara mendorong Thian hingga terduduk di tepi ranjang.

"Jangan banyak omong, waktuku nggak banyak." Thian melirik jam di dinding.

Sebelah lutut Dara menekan tepian ranjang sebelum menangkup wajah Thian dengan kedua tangan. Tatapan mereka saling menjerat satu sama lain. Thian menarik tubuhnya dan membuatnya terjatuh di atas tubuh lelaki itu.

Berikutnya bibir mereka saling memagut dengan panas.

Tubuh Thian meremang seketika. Lumatan Dara membawanya kembali sejenak pada kenangan di kamar hotel. Saat itu ia yang menciumi Dara dengan brutal. Tentu saja ciuman Dara tidak sebrutal dirinya. Tetapi melalui cumbuan Dara, ia segera mendapatkan apa yang ia mau.

Sentuhan demi sentuhan Dara membuatnya mencair seketika. Sebelah tangan wanita itu mengelus kejantanannya yang masih terbungkus celana.

Thian tahu ini keliru, tapi ia tidak bisa menahannya lagi. Ia hanya ingin terbenam dalam selangkangan wanita.

Siang ini Dara memberikan sentuhan yang begitu ia rindukan. Wanita itu melantunkan puja-puji di telinganya dan memanjakan kejantanannya.

Seketika kebutuhan biologisnya terselamatkan meski Thian tidak bisa merasa tersanjung karena puja-puji itu hanya datang dari bibir pelacur. Akan tetapi lumayan mengobati telinganya yang akhir-akhir ini tandus akan puja-puji dari Nina.

Tatapan Dara seolah tidak pernah cukup mengulitinya. Ciuman pelacur itu seolah ingin memilikinya sampai akhir dunia. Thian menyerah dan membiarkan Dara menyeret gairahnya kemana pun.

Ia tidak bisa hidup tanpa pemujaan dari Nina. Tidak bisa tidak diperhatikan seperti saat ini. Ia bagai kehilangan pegangan hidup, bingung tidak tahu harus bagaimana dan berakhir di bawah tubuh pelacur yang sedang menggoyang pinggul dengan lihai.

Erangan nikmat berkali-kali lolos dari bibirnya. Ia tidak bisa menahannya. Dara luar biasa gila dalam membuat perut bagian bawah hingga kaki dialiri kenikmatan.

Kini ia mengerti goyangan bernilai sembilan koma lima, yang dimaksud teman-temannya. Memang terasa berbeda jika dilakukan oleh perempuan selain istri, apalagi dengan pelacur sekaliber Dara. Thian berkali-kali dibuat takjub dengan sensasi yang diberikan Dara.

Thian tidak sabar lagi. Ia merengkuh erat-erat tubuh Dara yang kembali melumat bibirnya dengan sepenuh keinginan. Wanita itu menghabisi bibirnya dengan lumatan panas penuh gairah. Thian hanya ingin dicium seperti ini oleh Nina. Hanya seperti ini. Pelukannya mengerat dan geraman nikmat tenggelam tertelan di bibir Dara, ketika ledakan itu sampai pada puncaknya. Kedua tangan Thian berahir memeluk pinggang Dara.

Sial. Ia bahkan berkeringat setelah bertempur habis-habisan. Rambutnya sampai lepek. Apa di hotel ini ada hair dryer? Pikiran Thian kali ini kacau memikirkan bagaimana ia harus segera kembali ke kantor. Sepertinya ia agak terlambat demi menata rambutnya.

Dessert Rose [END]Where stories live. Discover now