🍃005🍃

2.8K 74 2
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


🍃🍃🍃

Sedari kedatangan mayat Kakek Hendrawan di rumah kediaman beliau, Agam dengan setia terus berada di samping Khanza. Kematian kakeknya sangat berdampak buruk pada gadis itu. Sejak tadi malam, Khanza tak pernah mengeluarkan suaranya sedikitpun, tatapannya juga kosong dan Khanza hanya termenung, sesekali gadis itu terisak menangis.

Rangkulan Agam pada pundak Khanza seolah memberi energi untuk sang istri. Dia seolah dapat merasakan kesedihan yang di rasakan istrinya, rasanya tak tega Agam melihat Khanza rapuh seperti ini. Sebegitu kuat kah peran Kakeknya di kehidupan istrinya? sampe membuat Khanza merasa sangat kehilangan.

Khanza terus saja menatap mayat Kakeknya yang berada di depannya, tamu yang melayat juga sudah mulai berdatangan di rumah kediaman beliau. Sarung yang menutupi seluruh tubuh tua Kakeknya yang sudah pucat.

"Nak Agam, ini kasih makan dulu buat Khanza, dia belum makan apa-apa sejak semalam." Bunda Hanum menghampiri mereka dan memberi roti yang sudah di beri selai.

Agam mengangguk dan mengambil alih roti itu dari tangan Bunda Hanum, "Khanza, kamu makan dulu ya? nanti yang ada kamu malah sakit." bujuk Agam

Khanza menggeleng lemah, "saya gak laper, Om."

"Sedih boleh, nangis juga boleh, itu sifat manusiawi. tapi, kalau kamu sampai nolak buat makan itu sama aja kamu nyakitin diri kamu, berarti kamu gak mensyukuri nikmat kesehatan yang Allah berikan," ucap Agam panjang lebar.

Khanza kemudian mengambil roti itu dari tangan Agam, kemudian gadis itu makan sesuap lalu di kembalikan lagi pada Agam, "Udah kan? saya gak mau lagi, Om," ucap Khanza dengan nada yang dingin.

Agam mengangguk, kemudian menyimpan roti itu di sebuah rak yang ada di dekat mereka.

Kenangan tentang Kakek dan dirinya kembali terputar di pikirannya, air matanya kembali membasahi pipinya, kali ini tak ada lagi yang akan mendengar cerita kesehariannya. selama ini hanya kakeknya yang selalu menanyakan kesehariannya apa saja, dan tidak ada lagi yang akan memarahi semua anak nakal yang menjahilinya, tidak ada lagi yang akan membelanya, semuanya udah hilang, karena Kakeknya juga sudah pergi.

Agam yang melihat Khanza kembali menangis, dengan cepat pria itu menghapus air mata Khanza dengan tangannya. pernikahan mereka memang tidak di landasi cinta, tapi demi tuhan Agam akan terus berusaha melakukan yang terbaik buat Khanza.

"Aca sayang, itu di depan ada teman-teman kamu." Ayah Daniel memberi tahu Khanza, teman-teman anaknya datang melayat pagi ini.

Khanza berdiri dari sana, kemudian berjalan keluar rumah. Tepat di depan pintu, ke empat teman-temannya berada. Khanza berlari kemudian langsung memeluk Kezia dan menangis.

"Kei, kakek udah pergi, Kakek ninggalin gue, dulu dia janji gak akan ninggalin gue, tapi Kakek bohong, Kei."

Kezia membalas pelukan Khanza, mengusap punggung sahabatnya itu."Ca, you are strong, I'm sure of it, pelukan gue selalu ada kalau lo butuh." Kezia juga ikut menangis, peran Kakek Hendarwan baginya sangat besar.

"Kakek bohong, Kei," racaunya sesegukan.

"Kakek gak bohong, Ca. tuhan lebih sayang Kakek makanya dia di ambil lebih dulu." ujar Kezia menenangkan Khanza di dalam pelukannya.

Khanza kemudian melepaskan pelukannya dari Kezia, gadis itu menyeka air matanya, "Makasih udah datang."

"Ca, I'm sorry about this incident, you are the one who is steadfast, okay?" ucap Anin memeluk Khanza memberi kekuatan.

"Makasih, Nin," Balas Khanza kemudian melepas pelukannya

"Ca, gue turut berduka cita, ya," Joviar menyampaikan bela sungkawanya pada Khanza

"Thanks, Jo."

"Ca, I will always be beside you, don't dwell on sadness," sahut Zidan berniat memegang lengan Khanza.

Tetapi belum sampai tangannya pada lengan Khanza, tangannya lebih dulu di tepis oleh seorang pria yang datang dari arah belakang Khanza.

"Laki-laki yang bukan mahram tidak boleh sembarang menyentuh wanita." ujarnya dengan nada yang terbilang dingin.

Khanza menoleh mendapati Agam, kali ini ekspresi pria itu sangat berbeda dari biasanya. Jika biasanya tatapan lembut dan tulus kali ini benar-benar hanya ada tatapan dingin.

Zidan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, pria itu kemudian tertawa canggung, "Sorry, saya tidak tahu."

"Kalin boleh masuk, jenazahnya akan segera di mandikan," pinta Agam masih dengan ekspresi dingin.

Setelah jenazah di mandikan, kemudian masuk ke sesi mengkafani, dua helai kafan sudah menutupi kaki hingga batas leher, mereka benar benar kehilangan sosok Ayah dan Kakek.

"Silahkan nak, kakeknya di cium dulu, tapi tidak boleh kena air mata, ya," pinta ustadz setempat yang menangani jenazah Kakek Hendrawan.

Kemudian mereka masuk semua masuk, anak serta cucu beliau, tinggal Khanza yang belum masuk, rasanya ia tak cukup kuat untuk mencium kakek nya.

"Khanza, kamu gak mau cium kakek untuk terakhir kalinya?" tanya Agam yang berdiri di samping Khanza.

Khanza kemudian mengusap air matanya, berjalan masuk di mana Kakeknya berada, gadis itu menghela nafas panjang. Seberusaha mungkin ia menahan tangisnya agar tak keluar dan mengenai kakeknya.

Setelah itu, Khanza berdiri kembali ke posisi awal, air matanya keluar begitu saja membasahi pipi gadis itu.

Kini seluruh tubuh Kakeknya tertutupi oleh kain kafan, Kakeknya sudah benar benar tiada. Kakek Hendrawan betul-betul sudah meninggalkan Khanza, walaupun tidak sendiri. Kakek sudah bertemu Oma di surganya Allah.

****

Setelah pemakaman, Khanza dan Agam langsung kembali ke rumah mereka. Agam tidak ingin istrinya larut dalam kesedihan jika terus berada di rumah kediaman Kakek Hendrawan. menurut cerita yang ia dengar dari mertuanya, Khanza tinggal bersama Kakeknya sejak kelas 5 SD, sampai gadis itu SMA kelas 3, alasannya karena Ayah Bundanya yang kerja di luar negri.

Rumah itu tempat Khanza besar, tempat Kakeknya membesarkan Khanza dengan penuh kasih sayang. Itu lah mengapa Agam tidak ingin berlama-lama di sana dan membuat Khanza berlarut dalam kesedihan, mengingat kenangannya bersama Kakek Hendrawan di rumah itu.

Pintu kamar mandi terbuka, menampakkan Khanza yang baru saja selesai dari ritual mandinya. Gadis itu memakai baju kaos lengan pendek dan celana kulot. Tatapannya masih kosong, gadis itu juga enggan untuk mengeluarkan suaranya, setidaknya untuk bertanya tentang Agam.

"Kamu istirahat saja, nanti saya bangunkan kalau sudah waktu Ashar," ujar Agam yang hanya di angguki oleh Khanza tanpa niat untuk membalas ucapan pria itu.

"Tapi, kamu belum makan, mau makan dulu sebelum tidur? saya bisa masakin kamu," tawar Agam

"Gak usah Om, saya ngantuk pengen istirahat," jawab Khanza, akhirnya gadis itu mengucapkan sesuatu.

Agam mengerti dan tidak ingin memaksa."Yaudah, tidur aja, nanti saya bangunin."

Khanza tak menjawab, gadis itu naik ke atas tempat tidurnya, kemudian merebahkan dirinya di tempat tidur.

****

Revisi Our Secret

OUR SECRET (Revisi)Where stories live. Discover now