Butir 3

140 13 0
                                    

SEMBUNYI

"Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku seorang diri, engkaulah ahli waris yang paling baik."
~Al-Anbiya 89

***

KIN POV

Aku turun dengan masih pakai piyama. Aroma makanan tercium begitu aku memasuki dapur. Ada Papa yang sudah duduk dengan korannya, Mei yang sedang menjilati coklat, dan Mama dengan celemeknya berkutat dengan kompor, serta pembantu baru kami yang seumuran dengan Mama.

Dapur rumah ini lebih luas dari rumah sebelumnya. Meja makan putih dengan tiga kursi di masing-masing kedua sisi. Kompor dan segala perabotan ada di balik meja bar di samping meja makan. Kulkas besar, lemari makanan bagus, dan segala perabotan yang masih tampak baru. Semuanya tampak mewah dan modern.

"Pagi, Koko!" Mei menyapaku. Papa dan Mama kompak menoleh.

"Pagi!" balasku sambil duduk di kursi sebelahnya. "Kenapa makan coklat? Ntar gigimu ompong," tambahku sambil mecolek pipinya.

Gadis kecil itu hanya tersenyum malu. Papa lalu menutup korannya saat Mama menaruh makanan di meja.

"Sejak kapan keluarga kita ngadain sarapan bersama?" lontarku.

"Sejak sekarang. Kita harus lebih rutin lagi makan bersama," seloroh Mama yang kembali berjalan ke kompor. Papa hanya tertawa kecil.

"Mamamu ini sangat senang kamu akhirnya pulang dan menetap di sini," celetuk Papa. "Berkat kamu keluarga membaik, dan perusahaan kita makin bagus."

"Benar! Mama seneng banget. Semuanya makin membaik," sahut Mama yang meletakan piring terakhir. Kemudian melepas celemeknya dan duduk di sebelah papa, di hadapan Mei. Sementara pembantu kami sudah berlalu pergi.

Aku tersenyum lebar. Inilah alasanku untuk pulang dan tinggal kali ini. Keluargaku yang kembali hangat seperti dulu. Senyum Mama yang lebar dan candaan Papa yang jayus. Dinding di antara aku dan mereka sudah runtuh. Sejak batalnya pernikahanku, mereka mulai menerima keadaanku ini. Walau aku sangat tahu mereka tak sepenuhnya menerima. Legowo, mungkin itulah kata yang tepat.

Tidak ada lagi drama-drama penolakan atau pemaksaan terhadapku. Tak ada lagi pembicaraan masa depanku tentang pernikahan. Tak ada lagi pembahasan tentang Refo. Bukannya mereka tak mau, hanya saja mereka tak ingin mengungkit luka lama. Bukan pula karena Refo sudah tiada, hanya saja kami semua sudah dewasa. Mungkin bila aku memutuskan untuk bersama cowok lain, Mama dan Papa akan menyetujuinya walau tak benar-benar menyetujui. Sekali lagi alasannya adalah legowo.

"Mei, berhenti makan coklat. Kamu ini!" Mama mengomel sambil menukar kotak coklat Mei dengan sepiring nasi. "Sudah. Ayo, makan!" cetusnya padaku dan Papa.

Aku mulai mencentong nasi. "Gimana kabar Papa akhir-akhir ini?" aku mengalihkan topik.

Papa tersenyum lebar. "Papa sangat sehat. Nggak perlu ada yang dicemaskan lagi. Dan juga, Senin kamu sudah boleh masuk. Papa sudah siapkan semuanya."

"Papa, jangan bahas pekerjaan di meja makan," sela Mama. "Ini, Kin! Makan yang banyak," tambahnya sambil memberikanku sepotong daging.

Papa hanya bisa tertawa kecil. Inilah yang kurindukan dari keluargaku ini. Sudah sangat lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini. Diperlakukan layaknya anak kecil. Kebersamaan ini sungguh sangat berarti bagiku.

Aku bergantian menatap Mama dan Papa, mereka sudah terlalu menderita selama ini karena ulahku. Aku ingin memperbaikinya. Menjaga kehangatan ini.

#*#

.

.

.

REFO POV

[BL] Stay With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang