Butir 19

90 9 1
                                    

TAKUT

"Seseorang yang takut penderitaan sudah menderita dari apa yang ia takuti."
~Michel de Montaigne

***

KIN POV

Aku kembali ke rumah lebih lambat. Sudah pukul delapan pagi. Rumah besar ini sepi, langkah kakiku terdengar lebih keras. Aku menghampiri pembantu kami yang sedang membereskan dapur.

"Bu, Papa sama Mama udah pergi?"

Wanita paruh baya itu mengelap tangannya. "Iya, Mas. Mereka sudah berangkat sejak tadi pagi. Masnya mau saya siapin makanan?" jawabnya.

Aku menggeleng. "Nggak usah. Lanjutkan saja beberesnya," ucapku yang kemudian berlalu pergi. Naik ke lantai dua dan masuk ke kamar.

Kuhempaskan diri ke kasur empuk, menoleh menatap pantulan diriku di cermin. Kembali kalut. Leukemia? Aku masih tidak percaya apa yang kuderita. Sinar pagi yang menembus jendela unikku menerpa wajah, hangat, tapi juga membuatku putus asa. Ponselku kembali berdering. Panggilan dari Refo. Aku benar-benar tak ingin mendengar apapun sekarang, bahkan itu suara Refo. Kumatikan ponselku dan dering ini berakhir.

Kupejamkan mata. Pening. Aku ingin tidur sebentar.

***

Kubuka mata. Aku sudah ada dalam selimut dan AC menyala. Pasti Mama yang melakukannya. Aku mengercap, diagnosis dokter itu langsung melintas di otak. Berharap itu adalah hanyalah mimpi yang bisa kulupakan.

Hmm...

Kusibak selimut dan turun ke lantai bawah. Di ruang keluarga, ada Mei yang sedang menggambar sambil membiarkan TV menyala. Kuhampiri gadis kecil itu.

"Kapan kamu pulang Mei? Di mana Mama?" tanyaku sambil duduk di sofa.

"Mama sedang arisan. Katanya bakal cepet pulang, soalnya tadi udah janji mau ngajak Mei ke mall," jawabnya sambil terus mewarnai rambut gadis kecil yang digambarnya dengan warna hijau.

Kucondongkan badan untuk melihat lebih jelas gambarnya. "Itu kamu? Kenapa rambutnya hijau?" celetukku sambil mencolek pipi gembulnya.

"Aku sedang gambar Mavka. Dia adalah peri hutan, dia punya kekuatan ajaib yang bisa memberi kehidupan pada makhluk hutan."

Seketika aku tercenung. "Di hutan mana dia tinggal? Koko mau menemuinya, Koko mau hidup lebih lama lagi," gumamku putus asa.

Mei melesahkan napas jengah. "Ini cuman karakter film, Ko. Ngomong-ngomong kenapa Koko nggak kerja?"

Aku tertawa mengacak rambutnya. "Koko malas. Mei, mau ke mall sama Koko?" cetusku.

Mei menggeleng tegas. "Nggak mau. Mei nggak mau temenan sama orang yang bolos kerja."

Aku sok cemberut. "Kalau begitu Koko pergi sendiri aja."

***

Dan, di sinilah aku. Di taman tempat aku dan Refo bisa janjian dulu. Kususuri jalan terotoar dengan pohon cemara di kanan dan kiri. Lagi-lagi kalut. Bagaimana bisa aku menderita kanker? Oh, tak bisa dipercaya.

Suara alunan biola terdengar merdu di antara suara bising di tempat ini. Kudatangi sumber suara, menduga siapa yang bermain. Benar. Itu adalah Bagas, adik Saivu. Beberapa orang mengerumuninya, terpukau dengan alunan bilolanya. Aku juga bergabung dan terkesima. Dia luar biasa.

Satu lagu selesai ia bawakan. Semua orang bertepuk tangan. Dia menurunkan biolanya dan tersenyum bangga, lalu menyadari kehadiranku. Dia tersenyum lebar, sangat terlihat berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya dulu. Ternyata dalam waktu singkat seseorang bisa berubah.

[BL] Stay With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang