Butir 24

72 9 1
                                    

EGO

"Ketika dunia menolak dan orang-orang membenci kita, aku tak bisa melindungimu. Ketika Tuhan berkata tidak, aku makin mencintaimu. Kini aku sadar betapa egoisnya aku ingin memilikimu."

***

KIN POV

Aku duduk tenang di kursiku. Menyantap masakanku yang cukup baiklah kalau dibilang. Sejak hidup sendiri di New York, aku makin ahli urusan dapur. Bahkan sekarang aku bisa membedakan jahe dan kencur hanya dengan melihat. Meski masakan Indonesia aku tak terlalu ahli karena banyak rempah-rempah, tapi tak apa, aku memasak bukan untuk mengikuti master chef. Aku memasak untukku dan untuknya. Dan sepertinya dia tak terlalu menikmati sarapan kali ini.

Refo sedari tadi tak bergeming, hanya mengercap tanpa ekspresi. Entah apa yang dia pikirkan, biasanya selalu menyebut masakanku enak walau kasinan atau agak hambar. Jarak kami yang hanya di pisahkan meja kecil terasa seperti lapangan bola. Setiap hari dia semakin jauh saja. Dan juga hari ulang tahunku, kami bertengkar hebat, tapi tak pernah membahasnya. Seolah tak terjadi apa-apa. Aku juga tak terlalu mabuk untuk mengingat malam itu. Itu adalah mabuk terparahku setelah sekian lama. Yang bisa kuingat adalah bertemu dengan Saivu dan menangis di lantai. Selebihnya samar. Semoga tak terjadi hal aneh malam itu.

Aku maish menatap Refo yang makan tanpa suara. "Bagaimana? Enak?" tanyaku membuka orbolan.

"Mmm." Dia mengangguk lemah. "Enak."

Aku memainkan sendokku, tak terlalu nafsu makan. "Hari ini aku bakal ke kantor. Kamu nggak apa-apa sendirian di rumah?"

Dia kembali mengangguk. "Pergilah," balasnya dengan mulut penuh makanan. Tak ada yang salah, tapi aku tahu semuanya tidak baik-baik saja. Aku sangat mengenalnya.

Akhirnya kutaruh sendokku dan hanya melihatnya saja. Kadang aku berpikir betapa egoisnya dia.

***

Kumasuki gedung besar ini, aroma khas rumas sakit langsung membelai penciumanku. Aku langsung ke resepsionis yang kemudian langsung menuju ruangan janjiku. Aku kemari untuk menemui dokterku. Berbohong ke Refo kalau berangkat kerja. Aku masih belum menemukan momen yang pas untuk memberitahunya, atau memang aku yang belum siap.

"Hai, Kin," Radit menyapaku.

Aku duduk di depan meja kerja dokter senior yang brewoknya selalu dicukur rapi. Terjadi perbincangan kecil sebelum menagarah ke yang lebih serius. Meski sudah sering, aku tak pernah terbiasa dengan ucapan dokter ini.

"Mas Kin," panggilan serius itu membuatku takut, "Anda berubah banyak sejak kali kita bertemu. Efek kemo sangat berdampak di Anda."

Aku mengangguk. Selain berat badanku yang terus menurun dan fisikku yang lemah, emosiku juga sangat kacau. Sejenak kulirik Radit yang berdiri di samping meja sambil membawa ipad, tatapannya serius padaku.

Dia melirik ipadnya dan berkata, "Kin, kankernya tumbuh lebih cepat dari yang kita duga. Kita harus meningkatkan lagi kemoterapinya."

Seketika tubuhku membeku. Rasa-rasanya aliran darahku berhenti mendadak. Isi kepalaku hilang. Kosong.

"Kami menyarankan untuk melakukan kemoterapi radiasi," dokter brewok kembali bersuara. "Kita harus lebih cepat lagi. Kita tidak boleh menunda-nunda lagi. Tolong perhatikan pola hidup Anda dan rutin menjalani pengobatan ini. Untuk sesi kita selanjutnya mohon bawalah seseorang untuk mendampingi karena itu penting, Mas Kin."

Aku masih menunduk. Semuanya terasa mengabur bagiku. Isi kepalaku mendadak mejadi penuh lagi, membuatku ingin meledak.

"Kin, lo harus ngadih tahu nyokap bokap lo. Ini sudah nggak bisa disembunyikan lagi," cetus Radit.

[BL] Stay With LoveWhere stories live. Discover now