Butir 11

112 11 0
                                    

AKU BENCI DIRIKU

"Jangan membenci diri sendiri, karena itu tugas orang lain.

***

KIN POV

Aku terbangun bersamaan dengan sang fajar. Kutarik lebih naik lagi selimutku. Kutatap kosong jendela unikku yang meloloskan cahaya fajar masuk, kalut akan lembaran sinar lembut itu. Seolah semesta sedang mengejekku. Mengapa aku tak bisa menjadi matahari yang terus mengitari bumi tanpa drama-drama yang membuatku padam? Aku selalu berusaha keras setiap hari, tapi tak ada satu pun ketenangan yang bisa kugapai.

Sinar mentari semakin membentang. Hari membuka lembarannya. Angin membawa kebisingan. Dan, aku tetap bergumul dengan selimut.

Dok dok dok!!! Seseorang mengetuk pintuku.

"Mas, Mas Gatra ada di bawah," itu suara pembantuku.

Kuhembuskan nafas besar dan kutarik lebih naik lagi selimutku hingga menutupi kepala. Sungguh aku masih belum siap untuk menghadapi semuanya. Aku tidak suka perubahan yang tiba-tiba ini. Aku sudah terlalu lelah bahkan untuk pembahasan kecil.

Kuhembuskan nafas jengah dan kusibak selimutku. Kulirik jam weker digital di dekat lampu tidur, sudah pukul tujuh ternyata. Sekali lagi kuhela nafas besar dan bangkit.

Di lantai bawah sudah ada Mama dan Mei yang kerepotan mau berangkat sekolah. Jelas mereka sudah terlambat.

"Kamu belum siap-siap? Papamu sudah berangkat dari tadi, katanya ada meeting penting," kata Mama sambil memasang tas pink Mei.

Kumasukkan tanganku ke saku celana trainingku, tanda gelisah. "Aku mau libur hari ini. Kin agak lelah," balasku agak lesu.

Mei mendekat dan menyalim tanganku, lalu berlari keluar. Mama juga mendekatiku. "Kamu agak pucat, apa karena kehujanan Sabtu kemarin?" lontarnya cemas.

Aku segera memasang senyum. "Kin baik-baik aja, Ma. Cuma..."

"Mama! Ayo, kita udah telat!" teriakan Mei dari luar menggema, menyela omonganku. "Ko, ada Kak Gatra, nih!" teriaknya lagi.

Mama mendesis kesal. "Ya sudah, Mama berangkat dulu," pamitnya yang lalu pergi.

Aku mengekorinya, di halaman rumah, Gatra sudah menunggu di bawah pohon flamboyan yang teduh. Dia menyapa Mama yang bergegas masuk mobil yang kemudian melaju. Ada motor matic terparkir di dekat pot-pot bunga kesayangan Mama, dia tak memakai seragam polisinya Senin ini. Ah, aku lupa kalau dia bilang hari ini akan berangkat ke akademi kepolisian. Kuhampiri dia yang menatap datar padaku.

Kuhempaskan diri di ayunan Mei yang ada di bawah pohon. Gatra juga bergabung ke ayunan di sebelahku, memangku tas hitamnya.

"Lo nggak apa-apa?" lontarnya membuka pembicaran.

Aku mengangguk lemah. Lalu keheningan menganga beberapa menit. Entah harus memulainya dari mana, aku juga bingung.

"Apa tidak ada harapan lagi bagi Refo?" gumamku akhirnya.

Gatra lalu mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya. "Yang rusak adalah saraf optiknya bukan korneanya, jadi tidak ada solusi. Gue tahu ini lelucon yang buruk, tapi kalau lo berniat bunuh diri buat donorin mata lo ke Refo itu nggak ada gunanya," jawabnya sambil memberiku map putih bergambar logo rumah sakit.

Aku menerimanya dengan gelisah, membukanya dengan sedikit gemetar. Ini bukan hanya diagnosis dokter, tapi ada keterangan psikolog juga. Begitu juga jadwal kunjungan.

"Pengobatan matanya sudah dihentikan. Namun, Refo masih harus menemui psikolog. Kondisinya sudah tak separah dulu, tapi masih harus menemui psikolog satu atau dua kali sebulan. Di situ ada jadwalnya," jelas Gatra.

[BL] Stay With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang