Butir 27

76 9 4
                                    

PANTASKAH?

"Terkadang aku merasa aku tidak akan pernah cukup baik untuk siapapun atau apapun."

***

KIN POV

Matahari bersinar terang. Jalanan Bali kami susuri. Tak ada gedung-gedung tinggi, tak ada polusi yang menutupi langit biru, rumah-rumah berhias ukiran cantik. Terakhir kali aku datang ke Bali sewaktu SMP, bahkan aku sudah lupa banyak hal. Pulau ini masih sangat cantik. Namun tak ada waktu bagiku untuk terpesona, aku datang bukan untuk liburan.

Mobil berhenti di pinggir jalan depan minimarket. Lantas aku pun turun, begitu juga Saivu yang selalu mengekoriku.

"Apa orang yang Anda cari pemilik minimarket?" celetuk Saivu heran.

Kembali kuperiksa ponselku, melihat alamat yang pernah di berikan Gatra. "Mungkin rumahnya ada dalam gang," celetukku sambil celingukan mencari gang.

Saivu tiba-tiba menyeretku ke minimarket. "Nanti saja cari alamatnya. Ayo minum dulu. Anda nggak boleh terlalu lelah," cetusnya yang kemudian mendudukanku di kursi pelataran minimarket. Dia segera masuk ke dalam. Aku hanya mendengus kesal. Gara-gara dia ini akan menjadi sangat lama.

Beberapa menit kemudian dia kembali dengan dua botol mineral, sekantung keresek snack dan dua hotdog. Aku melongo.

"Kita kemari bukan untuk nongkrong! Kamu bilang cuman minum," seruku jengkel.

Dia malah nyengir kuda. "Makan sajalah. Anda tadi juga sangat sedikit makan," ucapnya sambil menyodorkanku hotdog.

Aku menatapnya cukup lama. Kesal. Namun, kuambil juga hotdog itu. Dia tersenyum dan duduk di sampingku. Bahkan dia membukakan tutup botol untukku. Segala perhatiannya ini membuatku segan.

Aku makan dengan enggan. Salah satu efek kemo adalah kurangnya nafsu makan. Kemo benar-benar seburuk itu. Kuggigit lagi hotdogku, remah roti berjatuhan di bajuku. Mendadak Saivu menjulurkan tangannya dan mengusap sudut bibirku.

Aku terdiam seketika.

"Pelan-pelan saja. Rumah itu nggak bakal pindah juga," celetuknya yang kemudian memberikan botol minuman.

Dengan ragu aku menenggaknya. Berdebar. Mengapa setiap kali dia melakukan kontak fisik aku selalu gugup?

"Mengapa Anda melakukan ini, Pak Ardiansyah? Sebegitu berartinyakah dia bagi Anda?" gumamnya lembut.

Aku menaruh kembali botolnya di meja. Termenung beberapa detik. "Ya. Dia adalah segalanya bagiku. Aku ingin memastikan dia selalu baik-baik saja bahkan setelah aku mati nantinya."

"Apa nggak capek?"

Pertanyaan itu membuatku terdiam seribu bahasa. Tiba-tiba aku kehilangan kata, bimbang akan perasaan sendiri. Segera kuberpikir cepat dan... "Apa maksud tato itu?" lontarku sambil menuding pergelangan tangan kirinya.

Dia melihatnya sendiri lalu beroh panjang. "Ooohh... Ini semicolon. Artinya mengingatkanku agar bisa mengendalikan dirinya masing-maisng untuk terus mempertimbangkan hidup mereka ketika keinginan untuk menyakiti atau bunuh diri timbul di pikiran."

Aku kembali termenung. Kenapa cowok berbaju merah ini selalu punya sisi yang kelam? Sangat berbeda dengan seperti yang terlihat. "Kamu pernah mencoba bunuh diri?" gumamku pelan.

Dia mengangguk. "Waktu kuliah saat semua orang tahu saya seorang homoseksual. Saya mencampurkan pelembut pakaian dan pengharum lantai dan meminumnya," jawabnya enteng, seolah itu bukanlah hal yang serius.

Aku mendengus lalu kembali memakan hotdogku. "Kamu memang bodoh," celetukku yang sebenarnya amat kasian padanya. Aku tahu bagaimana rasanya.

"Bagaimana dengan Anda, Pak Ardiansyah? Sepertinya kisah Anda lebih menyedihkan dari saya."

[BL] Stay With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang