Butir 22

86 6 3
                                    

TAK BANYAK WAKTU

"Setiap saat tanpamu dalam hidupku seperti momwn waktu berharga yang hilang."
~Anonymous

***

KIN POV

Hari ini aku kembali menjalani kemoterapi. Infus dua warna mengalir bersamaan ke dalam tubuhku. Aku duduk di kelilingi dokter berewok yang waktu itu dan dua perawat, Radit sibuk dengan monitor kecil di sebelahku.

"Bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini?" tanya dokter berewok itu.

"Aku mudah lelah dan nyeri, selain itu aku baik-baik saja," jawabku enteng.

Dokter itu mengangguk mantap. "Oke, kami akan kembali lagi nanti," pamitnya yang kemudian berlalu pergi bersama perawat di belakangnya.

Radit duduk di kursi menghadapku. Tatapannya serius. "Lo masih belum bilang sama Refo dan keluarga lo?"

Aku menggeleng lemah. "Gue takut, Dit. Kemo ini bukan cuman buat gue lemah, tapi juga ngehancurin mental gue. Kalau nyokap bokap gue tahu, pasti mereka bakal khawatir dan maksa gue buat berobat ke Singapura atau ke Amerika, om gue yang dokter kan tinggal di Amerika. Mungkin mereka bakal langsung ngirim gue ke sana. Kalau gue pergi, gimana Refo nantinya?"

Radit menghela napas besar. "Apa dia benar-benar sebatang kara?"

Aku tercenung, tiba-tiba teringat Gatra yang pernah memberiku alamat bokap kandung Refo di Bali.

"Kasian sekali dia. Padalah dulu seorang bintang, gue masih ingat cewek-cewek yang selalu mantengi posternya yang megang bola pasket. Dia kayak model. Dulu terlihat sangat sempurna, tampan, kapten baskes, banyak teman... sekarang dia cuman punya lo."

Aku kembali tercenung. Benar yang Radit bilang, Refo sangat tampan bak model. Aku jadi dapat ide. Tapi bisakah dia jadi model dan hidup mandiri? Kalau aku pergi nanti bukankah ini akan membantu?

"Lo tahu dia bilang apa pas ngadepi traumanya pada hujan? Dia bilang, dia lebih takut kehilangan gue daripada bayangan akan traumanya. Gue pindah... gue kembali untuk melindunginya, tapi jika tahu akan secepat ini hidup gue, gue nggak bakal memegang tangannya," gumamku pilu.

"Seorang pasien pernah bilang ke gue, bahwa setiap kejadian punya alasan kenapa dan apa. Mungkin Tuhan pengen memberitahu lo seseuatu lewat ini semua. Berpikirlah positif, karena harapan dan optimisme kadang membuat lo lebih baik."

Aku tersenyum getir. "Apa Tuhan itu ada? Gue sudah kehilangan harapan."

Radit akhirnya bangkit. Dia menyentuh bahuku dan tersenyum tulus. "Gue harap lo bakal hidup sampai tua." Kemudian berlalu pergi.

Aku termenung. Aku sangat jarang membayangkan hari tuaku. Dalam bayanganku dulu, aku tua dan mati kesepian seorang diri di apartemen. Dan, sekarang semuanya menjadi makin rumit.

***

"Pak Dimas, bisa minta tolong carikan agensi permodelan yang bisa menerima orang buta? Tanyakan pada Saivu, mungkin dia mengerti. Maaf, aku harus meminta hal seperti ini."

"Anda tak perlu sungkan, Pak Ardiansyah. Saya sudah menganggap Anda teman sendiri. Saya akan segera menghubungi begitu dapat info," ujar mantan sekretarisku itu.

"Terima kasih, Pak Dimas," pamitku yang kemudian menutup telepon.

Kukendarai mobil putihku menyusuri jalanan Jakarta yang ramai sambil menyambungkan panggilan lain.

Gatra yang masih ada di akademi kepolisian sana terdengar begitu bersemangat begitu tersambung. Karena dia sangat sibuk, kami jarang bertukar pesan. Kali ini kuceritakan banyak hal padanya, tapi tidak dengan penyakitku.

[BL] Stay With LoveUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum