Butir 25

83 9 1
                                    

MENAHAN SAKIT

"Menahan kesakitan sendirian itu sangat menyedihkan. Memperlihatkan air mata lebih menyedihkan lagi."

***

KIN POV

Hari ini aku memulai sesi kemoterapiku yang padat, mengharuskanku dirawat di rumah sakit. Kamar inapku cukup luas, di lantai 6 dan menghadap langsung ke pemandangan kota Jakarta. Aroma bunga yang dibawa Mama semerbak, beliau menaruhnya di vas. Bukan hanya bunga, tapi juga berbagai keperluanku, bahkan buku bacaanku ia bawakan.

Aku memutuskan untuk keluar selagi Mama menghias kamarku. Kususuri koridor rumah sakit dengan memakai pakaian pasien, kini aku benar-benar terlihat seperti orang sakit. Orang-orang dan perawat terus berseliweran, sibuk sendiri.

"Mau kemana? Lo harus banyak istirahat." Dokter Radit tiba-tiba datang dan menyamai langkahku. Jaz putihnya sangat persih.

"Cuman jalan-jalan," selorohku.

Dia terus menemaniku, hingga kami sampai di taman dan duduk di kursi panjang dekat lampu taman. Langit cerah hari ini, tapi nggak terlalu panas, beberapa pasien juga terlihat sedang menikmati mentari.

"Nyokap lo nggak berubah. Dia masih saja ramah dan hangat kayak dulu," ucap Radit membuka kembali percakapan.

Aku mengangguk setuju. "Mama adalah wanita gaul. Itu julukannya di geng arisan."

Radit tertawa kecil. "Jadi lo udah bilang ke semuanya?"

Sejak aku menjadi kalut. "Gue belum bilang sama Refo. Akhir-akhir ini hubungan kami tidak terlalu menyenangkan. Ada sesuatu yang tak seharusnya kuucapkan malah keluar saat aku mabuk," gumamku murung.

"Apa dia masih takut dan trauma?"

Aku mengangguk. "Gue sudah memaksanya buat mengikuti pelatihan jadi model pemotretan, tapi dia kekeh untuk tetap di rumah. Gue nggak tahu lagi caranya buat dia sadar bahwa dunia tak semenakutkan itu."

"Baginya juga sangat berat. Bayangin lo keluar di malam hari dan tak ada cahaya sedikit pun. Gue bukan dokter mental, tapi Refo pasti sangat frustrasi akan keadaannya."

"Gue ngerti. Tapi mau sampai kapan, Dit? Gue nggak punya banyak waktu."

Radit menatap lekat padaku. "Kamu sedang berjuang menghadapi maut dan kamu masih memikirkanya. Lo terlalu asyik mencintainya, Kin. Sampai-sampai lupa bahwa lo pun punya kehidupan sendiri. Kadang kita harus egois bahkan pada orang yang kita cintai. Seperti Refo yang memalsukan kematiannya ke lo, dia berbuat begitu untuk mengembalikan lo ke asal lo. Mungkin dia telah kehilangan dirinya, tapi dia tak pernah kehilangan dunia. Kembalikanlah dia ke orang-orangnya, pada kebiasaan dan kesehariannya. Lo nggak perlu mengubah apapun buat Refo, cukup kembalikan dia."

Aku menatapnya bingung.

Lalu dia tersenyum tipis. "Lo bilang, lo punya alamat bokap kandungnya. Kembalikanlah dia ke bokapnya. Dia bukan lagi orang yang harus lo tanggung jawab, sekarang lo harus tanggung jawab pada diri lo sendiri, Kin."

***

Hari berganti. Rumah sakit ini tak pernah membuatku nyaman. Langit berbintang malam ini tampak indah dari luar jendela kamar inapku. Bunga yang sudah berganti menjadi mawar kuning tetap semerbak di malam hari. Buku yang kupegang tak lagi kubaca, hanya bisa menatap keluar dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan dengan kata. Hanya duduk tanpa asa. Aku mengalami kebotakan di kepala samping, ini adalah awal rambutku habis. Kuusap kalung puzzle di leherku dan makin kalut.

"Kin? Belum tidur?"

Aku menoleh, mendapati Papa mendekat ke ranjangku. "Kok Papa masih di sini? Ini sudah malam, istirahatlah di rumah, Pa," ucapku.

[BL] Stay With LoveWhere stories live. Discover now