Butir 21

117 8 2
                                    

HARAPAN

"Harapan adalah sarapan yang baik, tapi merupakan makan malam yang bruruk."
~Anonymous

***

KIN POV

Mendung menebal dengan cepat. Kutinggalkan dia di sebelah pot besar di persimpangan terotoar. Aku sebenarnya ingin lebih lama lagi di sini, tapi sepertinya aku terlalu memaksakan diri. Sepanjang hari dia terlihat tegang, kecuali di bilik ganti tadi. Ehe...

Aku menyeberangi jalan, karena mobilku masih terparkir di supermarket tadi. Kutenteng belanjaanku dan berlari kecil, takut hujan turun dengan tiba-tiba. Sepertinya semua orang begitu, di terotoar ini orang-orang juga terburu-buru. Hingga tiba-tiba... bruk! Seseorang menabrakku, membuat barang belanjaanku jatuh berantakan. Aku mendengus, bahkan orang itu tak meminta maaf.

Hingga sepasang tangan ikut membantuku memungut baju baru yang kubeli. Sekonyong-konyong aku kaget saat mendongak, dia adalah...

"Saivu?"

Dia tersenyum dan mengulurkan bajuku yang jatuh. "Kita selalu papasan, ya? Kebetulan yang menarik."

Aku menerimanya dengan ragu dan memassukannya kembali ke tas belanja. "Ngapain kamu di sini?" lontarku cukup terkejut.

Dia lagi-lagi tersenyum. Jaket merah dan celana hitam latexnya membuatnya sangat nyentrik. Senorak apapun baju yang ia pakai, dia akan selalu kelihatan ganteng. "Cuman jalan-jalan," sahutnya.

"Ah." Aku sejenak terdiam, berpikir. Benar katanya, kami selalu saja berpapasan. Seolah semesta sengaja mempertemukan kami. "Kalau gitu lanjutkan. Aku pergi dulu," pamitku yang tiba-tiba menjadi gugup.

"Kin!" Dia berseru agak kencang. Mendadak aku terhenti. Tiap kali dia memanggil nama depanku terasa agak aneh yang membuatku terdiam, seperti mantra sihir. "Kenapa Anda tiba-tiba berhenti dari perusahaan? Apa aku benar-benar mengganggu?"

Aku mendongak, menatap wajahnya yang lebih tinggi dariku. "Resign-ku nggak ada hubungannya sama kamu, Saivu."

"Maaf, bisa nggak sih kalian ngobrol nggak ngalangin jalan?" Seseorang yang hendak lewat tiba-tiba berceletuk.

"Maaf," ucap Saivu yang lalu menarik tanganku pergi.

Dia membawaku cukup jauh dari trotoar tadi. Kami berdiri berhadapan di bawah pohon. Di sini agak sepi. Matanya menatap lurus padaku dan tas selempang besarnya itu terlihat berat, entah apa yang dibawanya.

"Kalau bukan karena aku, lalu kenapa? Sejak aku nyatain perasaan, kamu menjauh dan sekarang tiba-tiba saja berhenti bekerja. Setidaknya beri aku penjelasan jika itu bukan karena aku," ucapnya menggebu.

"Sudah kubilang ini nggak ada hubungannya sama sekali denganmu, Saivu."

Dia menelan ludahnya berat. "Apa ini karena penyakitmu?"

Seketika aku tercenung. Penyakitku? Apa dia tahu? Jantungku seketika berdetak lebih kencang. Kutatap lekat matanya.

"Waktu kamu jatuh pingsan... Kamu menyuruhku pulang dari rumah sakit. Tapi aku khawatir, jadi aku menunggumu." Dia berhenti sejenak. Gelisah. Lalu... "Aku melihatmu menangis di ruang tunggu. Apa benar kamu..." Dia tak melanjutkan ucapannya.

Aku mengangguk berat. "Benar. Gue sakit kanker. Karena itu aku resign. Karena aku akan segera mati."

Hening. Kami saling menatap lama.

"Apa pimpinan sudah tahu hal ini?" lontarnya.

Aku menunduk sejenak. Sedih. Lalu menggeleng. "Aku nggak tahu caranya memberi tahu orangtuaku. Sepanjang hidup, aku hanyalah sebuah kekecewaan. Aku tak ingin lebih mengecewakan lagi."

[BL] Stay With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang