Butir 28

113 9 1
                                    

HUJAN DAN PAYUNG

"Bertemu denganmu adalah takdirku, jatuh cinta padamu adalah pilihanku, berjodoh denganmu bukan lagi harapanku. Aku sudah cukup lelah mengejarmu."

***

SAIVU POV

Ombak bergulung. Aku datang kepada pantai bersamanya di waktu senja yang mulai memerah, menikmati sajian alam tiada bandingnya. Kudengar suara gelombang menjadi hancur di bibir pantai. Pasir-pasir ringsut seolah ingin ikut. Mega-mega terbakar oleh mentari yang jatuh dalam lautan. Angin laut menerpa wajah, membuat pria di sampingku mrmrluk lututnya sendiri. Kulepas jaket kulitku dan menyampirkannya ke bahu Pak Ardiansyah. Dia yang selalu tampak rapuh lebih rapuh hari ini.

Kami sedang duduk di Pantai Kuta, beralaskan pasir putih yang halus, memandang kalut senja di Selat Bali. Orang-orang berseliweran, pantai indah ini sangatlah termasyur. Lihat saja langit yang kemerahan itu. Sungguh anugerah yang menakjubkan. Pak Ardiansyah tak banyak bicara setelah menemui orang yang dicarinya. Bukan tak berjalan lancar, hanya saja bingung akan semua hal.

Aku merapatkan diri padanya, membiarkan celanaku tertempeli butiran pasir. "Dingin? Haruskah kita balik ke hotel?" tanyaku lembut.

Dia mengangguk. "Tapi aku pengen di sini. Kapan lagi aku bisa menemui sunset seindah ini?" balasnya tanpa berpaling dari matahari di ufuk barat.

Namun bagiku ada yang lebih indah dari sunset di Bali, pria di sampingku ini begitu menawan. Aku tak bisa berpaling darinya.

"Saivu, menurutmu mengapa orang seperti kita dilahirkan ke dunia ini?" lontarnya suram.

"Entahlah. Mungkin Tuhan ingin menunjukan sesuatu yang berbeda, sisi lain dunia."

Dia tersenyum getir. "Tuhan? Kamu percaya Tuhan itu ada?"

Sejenak aku terdiam. Entah apa yang dipikirannya sekarang, itu membuatku merinding. "Sesuatu yang tidak tampak bukan berarti tidak ada."

"Jika memang ada, mengapa dunia begitu kejam dan tidak adil?"

Aku terdiam, hilang kata seketika. Akhirnya kupalingkan pandangan. Matahari sudah separuh tenggelam.

"Kin..." Kupanggil namanya dengan cinta. "Apa kamu tidak bahagia?"

Dia mengatupkan bibirnya, menarik jaket yang kusampirkan padanya lebih erat lagi. "Apa itu bahagia? Aku masih belum bisa menemukan artinya."

"Apa dia tak bisa membuatmu cukup bahagia?"

Dia melirikku sekilas dan kembali lagi memandang langit yang semakin meredup. "Sebenarnya aku dan Refo tak punya cukup waktu untuk bersama. Waktu SMA kami belum sempat memiliki hubungan romantis sama sekali. Waktu dipertemukan kembali dua tahun lalu pun rasanya sangat menyedihkan. Dan saat ini, ketika kami dipertemu untuk ketiga kalinya rasanya lebih menyedihkan lagi. Dia yang buta dan aku yang mengidap kanker. Bukankah kisah kami seperti novel yang tak happy ending?"

Aku terenyuh. Ternyata dia lebih terluka dari yang kukira. "Apa yang kamu inginkan, Kin?" tanyaku, berharap bisa membantunya meski sedikit saja.

"Aku?" Dia kembali melihatku. "Bagiku... aku hanya butuh satu orang yang mengerti. Memelukku saat aku kesulitan, mendengarkanku saat berkeluh kesah, dan membawaku ke tempat-tempat indah."

"Bukankah itu adalah aku?" gumamku lirih.

Dia menatap dalam padaku. Garis senyumnya mengendur. Tidakkah dia sadar bahwa akulah yang dia butuhkan selama ini?

"Aku pernah memelukmu saat kamu merasa kesulitan. Saat ini bukankah aku sedang mendengarkan keluh kesahmu? Di tempat yang indah pula." Pandangan kami terkunci. Larut dalam perasaan masing-masing. "Kenapa bukan aku? Kenapa orang yang kusukai selalu melihat orang lain? Tidak bisakah kamu melihatku saja? Kumohon... cintai aku."

[BL] Stay With LoveWhere stories live. Discover now