Part 38 - Kembalinya

5.6K 559 66
                                    

Tendangan bertubi-tubi terus dilancarkan Skylar ke pintu besi berkaratnya, dentuman mengilukan telinga terus menggema. Ingin rasanya semua telinga yang berada di dalam ruangan itu lepas dan tak mendengarkan dentuman keras dari Skylar berulang kali.

Tak kunjung hentinya ia berharap dengan menendang pintu besi tebal, nantinya akan rusak dan hancur dengan kekuatan kaki miliknya.

"Buka!!" sekali lagi ia menendang dengan kuat kali ini dengan kaki kanannya.

"Hey! keluakan kami!!" jerit Skylar, nadanya begitu keras layaknya seseorang yang kerasukan.

"Tidak ada yang bisa kau lakukan Skylar, pintunya terkontrol oleh listrik. Satu-satunya yang dapat membukanya hanya dari luar," ujar Will di sela-sela Skylar menendang penuh kemurkaan.

"Arrrrrgggghhhh!!" hingga tangan Skylar kini mengepal dan meninju pintu besinya penuh kekuatan.

Rasa sakit memar di tangannya tak sebanding dengan rasa amarah dan dendam pada semua orang yang terlibat. Bahkan masih kalah dengan rasa pedih hatinya setelah mendengar Bianca tentang Aleena yang akan dimasukkan ke bunker enam.

Skylar meghempaskan tubuhnya di sebelah box kayu tempat Bianca duduk, ia melipat kedua kakinya kemudian memeluk keduanya, layaknya ia memeluk seorang Aleena.

Isakannya mulai terdengar, hanya Skylarlah yang paling ricuh di dalam ruangan itu. Menyemarakkan sunyinya ruangan selain suara hujan deras di atas mereka.

Bianca menatap ironi sang kakak, dengan teratur ia menjalar ke bawah ikut duduk di samping bersama sang kakak. Lengannya membelai begitu dewasa pundak kekar Skylar, memberikan rasa hangat keluarga satu-satunya yang Skylar miliki di dunia ini.

Skylar bukannya semakin tenang, ia lebih terisak begitu kencang hingga terdengar semua orang yang menatap haru dirinya yang merasa kehilangan. Pundaknya sudah bergetar hingga kepalanya menyandar di pundak Bianca.

Bianca tak dapat berlisan, hanya dapat merasakan cengkraman lengan sang kakak yang terus menggenggam penuh kekuatan pilu. Seakan tangan yang digenggam adalah milik Aleena yang begitu hangat dan lembut di kulitnya.

"Mengapa aku harus percaya dengan Dan? Seharusnya aku tahu dia seorang pengkhianat," tukas Skylar parau.

"Dia melakukannya secara terpaksa, ia diancam Matilda untuk dibunuh," balas Cadance berani.

Skylar kini terdiam, tak tahu lagi siapa yang harus ia salahkan. Tak tahu lagi siapa yang salah dan siapa yang benar. Satu-satunya yang ia harapkan adalah ia dapat keluar dari tempat mengerikan itu dan menjemput Aleena.

"Dia benar, satu-satunya harapan kita ada padanya. Hanya dia yang tahu tentang ini dan sempat melawan tindakan Matilda," gubris Gustavo gelisah.

"Apa yang kau harapkan dari Upper itu? Apa kau mempercayainya?" tambah Cadance sarkatik.

Gustavo masih menimbangi apa yang pernah terjadi antara dirinya dan pria itu, walau pun lawannya itu sangat keras dan licik. Dia hanyalah kaki tangan Matilda yang diperbudak dengan cambuk yang mencekik lehernya.

Hujan di luar semakin deras sampai-sampai tak dapat membedakan waktu kali ini, apakah pagi, siang, ataukah sore. Semuanya sama saja, tak ada yang berubah.

Setiap orang merasakan kecemasan yang mulai meninggi. Beberapa orang yang menganggur hanya dapat duduk termenung membicarakan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

Gustavo yang tiba-tiba tak mereka lihat bagaikan ditelan bumi, tak ada yang pernah melihatnya atau bahkan mencarinya.

Semuanya ada di tangan asisten Gustavo Zedd, menunggu atasannya memunculkan wajah bengis namun akan tampan bila sedikit polesan.

The FortlessWhere stories live. Discover now