Suara besi yang bersentuhan dengan sesama jenis terus menderu di sepanjang lantai dasar, banyaknya orang-orang yang akan mempertaruhkan nyawa di luar disibukkan dengan peralatan masing-masing. Setiap langkah menumbuhkan perasaan cemas, memperlihatkan kesiapan yang belum terlalu matang secara menyeluruh.
Namun dedikasi yang diberi tak cuma-cuma, mereka melakukannya juga demi satu alasan. Alasan yang sama ditujukan oleh seorang wanita dari inti ini semua. Semua percaya padanya, semua orang yang mengikuti bertaruh hingga tetes darah terakhir sampai ajal menyentuh masing-masing.
Dari lantai atas ia memandang dingin dengan kerutan samar rombongan kelompoknya di lantai bawah, seperti menekan satu per satu balok piano yang melantunkan simfoni yang menegangkan. Mata hijau sebersih gelas kacanya tak pernah mengedip menatap orang-orang di bawah, kerumunan itu seperti sebuah ransel bagi Aleena. Setiap ia membawanya beban yang ia rasakan semakin berat, satu demi satu menjadi pemberat yang tetap harus ia bawa.
Aleena menarik satu tarikan nafas panjang dan matanya tertutup, beberapa detik kemudian ia menghembuskan kembali dari bibir merah tipisnya. Azzura perlahan datang dari balik gelap ruangan di belakang Aleena, ia menatap tajam pundak Aleena yang bergerak saat bernafas.
"Kau masih bisa merubah keputusanmu," gumam Aleena mengetahui Azzura di belakangnya berdiri bagaikan bayangan, tanpa suara dan tanpa gerakan.
"Sampai akhir hayat," gumam Azzura dingin.
Aleena yang mendengar hanya dapat meneguk satu saliva ketegangan, dengan teratur ia berbalik dan menatap cemas Azzura yang terlihat cukup siap dengan sebuah pisau yang ia selipkan di samping saku celananya. Benda itu pun dilirik Aleena sekilas dan berpaling menuju mata coklat sahabatnya itu.
"Aku harap kau tak pernah menggunakannya," ujar Aleena dingin.
"Aku harus bila terjadi sesuatu terhadapmu," balas Azzura nyaman.
"Tetap berada di belakangku, jangan pergi selangkah lebih jauh," ujar Aleena dan acap berlenggok pergi, Azzura pun mengekori ia pergi.
Setiap langkah dan dentuman kaki itu bagaikan genderang yang menggetarkan jantung, ini saatnya mereka keluar. Meninggalkan beberapa orang di sini sendirian dan menunggu keajaiban terjadi, musnahnya organisme Ghroan.
Aleena menuruni tangganya cepat dan tak dapat memalingkan perhatiannya dengan 57 orang yang akan membantunya. Ia mendapatkan dua pasang mata yang tak asing, mata abu-abu tajam dan selalu dingin membalas tatapan setiap orang. Aleena menyadari apa makna apa yang tersirat di pasang-pasang mata, sebuah intuisi yang Aleena pahami.
"Connor, kau mengambil alih Tarnom," ujar Gustavo pada pria di kanannya.
Connor hanya mengangguk patuh. "Apakah ini akan menjadi sangat lama?" tanyanya gelisah.
"Ini akan menjadi perjalanan yang cukup singkat dan berat," sahut Gustavo sambil memasukkan beberapa senjata di ranselnya.
"Pastikan mereka siap siaga 2x24 jam, serangan dapat datang kapan saja. Patikan Tent yang bertugas di menara mengawasi 360 derajat, bunuh setiap makhluk yang mendekat," perintah Gustavo pada orang yang ia beri kepercayaan kali ini.
"Aku tenggelam dalam lautan kesiapan," gumam Connor berapi-api.
"Bagus, gudang senjata harus sepenuhnya siap untuk di gunakan. Dan jangan lupakan satu hal ini, bila tempat ini terserang dalam skala besar dan kalian kewalahan, tembakan cahaya itu setinggi mungkin," balas Gustavo kembali dan mengangkat ranselnya sendiri.
"Aku harap aku tak akan melakukan itu," balas Connor cukup percaya diri.
"Jaga dirimu," tambah Connor pada Gustavo dan dibalas anggukan kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fortless
ActionThe Fort, sebuah benteng tua termegah yang pernah ditemukan ini terbuat dari besi tebal mengelilingi, menjadi satu-satunya tempat teraman di kota. Telah ada sejak puluhan abad silam dan kembali menjadi tempat tinggal semua orang untuk berlindung. K...