Prolog: Wening

4 0 0
                                    

"Enggak bisa, ya?" Nada suara Wening melemah kala melihat ekspresi tiga teman yang berjalan beriringan dengannya. Wening sadar rencananya untuk mentraktir mereka makan siang bersama ditolak.

"Maaf," ucap perempuan yang berdiri paling dekat dengan Wening. "Suami aku pulang cepat, aku belum masak."

"Anakku lagi rewel karena sakit."

"Kalau aku hamil besar gini bikin cepat lelah."

Penyebutan alasan dari dua teman lainnya membuat Wening hanya sanggup menghela napas. "Ya udah, nggak apa-apa. Next time aja kita ngumpul. Tapi aku izin kirim mentahannya ke nomor kalian, ya."

"Eh?" Tiga perempuan itu tampak gelagapan.

Wening tersenyum. "Aku mau syukuran, baru selesai UAS dan kemarin omset dagangan meningkat. Jadi, plis mau terima, ya?"

Setelah melihat anggukan mereka, Wening mengotak-atik ponsel, lalu pamit. Meninggalkan ketiganya yang masih berada di sekitaran gerbang, menunggu jemputan dari pasangan masing-masing. Sementara Wening berjalan cepat, sendirian.

Pikiran Wening bercabang. Kadang dia mupeng saat teman-temannya memperlihatkan keromantisan dengan pasangan, tetapi lebih seringnya ngeri mendengar keribetan mereka dengan segala urusan rumah tangga.

"Enggak mau dulu, deh," gumam Wening dengan badan bergidik.

Tadinya Wening memang suka jelalatan cuci mata mempehatikan laki-laki tampan. Namun, akhir-akhir ini sejak teman dekatnya banyak yang menikah muda dan sering bercerita padanya, Wening jadi mulai enggan memperhatikan apalagi mencari perhatian dari sembarang--bahkan semua--lelaki kecuali ayah dan adiknya.

Ketika melewati sebuah warung, Wening mampir untuk mengambil hasil titipan jualan keripiknya. Semenjak semester empat dia memang memulai usaha dengan makanan favoritnya. Melihat hasilnya yang lumayan, Wening pun semringah, langkahnya kian ringan.

Bibirnya makin mantap mengucap, "Enggak usah nikah dulu, kan bisa mandiri."

Wening sering mendengar alasan teman-temannya menikah adalah untuk memliki sosok yang memberi nafkah. Wening kurang sepaham dengan mereka, karena menurutnya perkara memenuhi kebutuhan materi untuk usia sekarang bisa diusahakan sendiri.

Tiba di kosan, Wening melepas sepatu dan tas sembarangan. Setelahnya dia rebahan di lantai tanpa alas. Sengaja mencari yang dingin untuk menetralkan tubuh yang gerah setelah berjalan di bawah terik matahari. Terlebih dengan pakaian longgarnya yang membuatnya keringatan.

Sejak kembali dari mudik tahun lalu, Wening sudah terbiasa untuk berpakaian syar'i. Namun, tetap saja kala cuaca panas, sedikit keluhan masih sering melewati bibirnya.

"Kalau panas gini jadi kangen es campur Bunda." Wening menerawang, membayangkan wajah perempuan yang melahirkannya.

Ikatan batin, tak lama kemudian ponsel Wening begetar menampilkan panggilan video dari Bunda. Wening cepat mengangkatnya. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Bunda."

Terdengar balasan salam dari seberang dilengkapi senyum wanita paruh baya. "Sudah pulang kuliah, Kak?"

Wening mengangguk. "Alhamdulillah udah. Ini di kosan, lagi ngadem, di sini panas banget. Pasti di rumah sejuk, ya. Eh, ayah mana?"

"Iya, di sini banyak angin. Kalau Ayah lagi nerima tamu. Kakak jadi mudik awal puasa, kan?"

Wening menggigit bibir. "Maaf, Bun, tapi kayaknya nggak jadi awal, soalnya sekarang kan aku gabung organisasi keagamaan, bakal ada acara sambut Ramadhan gitu."

"Yes, es campur Bunda berarti buat aku semua!" Tiba-tiba bocah laki-laki nimbrung di layar.

"Ragil ...!" Wening meneriaki sang adik. "Awas nggak Kakak kasih THR kamu!"

Ragil malah memeletkan lidah. "Aku bisa dapat dari kakak baru, kok."

Wening mengernyit. "Siapa?"

"Kak Tio," sahut Ragil sembari meninggalkan layar.

Wening menggaruk kepala. "Kenapa Ragil nyebut kakaknya Tifanny kakak baru, Bun?"

Bunda tersenyum. "Barusan Tio melamar kamu ke ayah."

Bola mata Wening melebar. "Terus ayah terima?"

"Ayah menyerahkan keputusan ke kamu. Jadi, kami nunggu jawaban kamu."

Tangan Wening melemas, bahkan ponselnya sampai jatuh menimpa wajah. "Aku nggak siap nikah di usia 20," jeritnya tertahan.

•••

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now