16. Kelalaian Fadil

0 0 0
                                    

"Fan, bisa minta tolong buatin ibu bubur sama air hangat nggak?" Fadil bersuara ketika sampai di dapur.

Tifanny yang baru saja menyelesaikan cucian piringnya, menoleh. Guratan lelah di wajah perempuan itu sebetulnya telah tampak. Akan tetapi, demi untuk membantu sang suami merawat ibunya, Tifanny menutupi semua kelelahan yang rasakan.

"Bisa, Mas. Tunggu sebentar, ya?" Demikian jawaban yang Tifanny berikan.

Mendapat balasan dari sang isteri, Fadil meninggalkan Tifanny sendiri di dapur. Biasanya, ada Agam dan Nindi yang akan membantu Tifanny untuk mengurusi kegiatan di rumah, tetapi kedua anak itu sekarang sedang mengerjakan tugas di halaman belakang. Sehingga, mau tak mau Tifanny harus mengerjakan semuanya sendiri.

Selama kurang lebih tiga hari ini, tepatnya di hari puasa yang ke-15, Tifanny tinggal di rumah mertuanya. Itu sudah permintaan Hana sendiri ketika mereka berdua mampir untuk menjenguk. Sebetulnya, Tifanny tidak keberatan. Perempuan itu justru sangat senang merawat Hana. Mengingat, orang tua Tifanny telah tiada, maka Hana sudah Tifanny anggap seperti ibu kandungnya sendiri.

Saat dirinya tengah memasak air, kaki Tifanny tiba-tiba keram. Ia kemudian duduk pelan-pelan. Memang, kondisi kakinya itu belum begitu membaik karena masih tahap pemulihan. Namun, walau ia sering kali mondar-mandir tak tentu arah dengan kondisi yang seperti itu, Tifanny berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia akan baik-baik saja.

"Ayo, dong jangan sakit sekarang. Ibu mau air hangat, nanti kalau kelamaan Mas Fadil bisa ke dapur. Jangan sampai Mas Fadil tahu," ujar Tifanny pada dirinya sendiri.

Setelah beberapa menit ia memijat pelan kakinya, Tifanny kemudian bangkit. Memaksakan kondisinya untuk terus melanjutkan pinta sang suami. Namun, sayangnya perempuan itu kembali dilanda kesakitan. Tamu bulanan yang mampir sekitar empat hari ini, ternyata membuat pergerakan Tifanny terganggu. Perutnya keram, melilit bukan main.

Namun, tak peduli dengan rasa sakit yang tengah melanda, Tifanny terus melanjutkan aktivitasnya. Sampai sekitar sepuluh menit berlalu, semua pesanan Fadil telah siap di atas meja. Ketika Tifanny ingin mengantarkan bubur dan air hangat itu ke kamar Ibu Hana, seluruh tubuhnya meriang. Agaknya beberapa hari ini energinya cukup terkuras, belum lagi selama dua hari ini Tifanny tak nafsu makan. Itupun tanpa sepengetahuan Fadil.

Tak kuasa menahan diri, Tifanny akhirnya terduduk di lantai. Ia memegang perut serta menahan rasa tak enak di tubuhnya. Suara Fadil yang menggema di ruang dapur itu pun, tak mampu untuk Tifanny balas.

"Fan? Bubur sama air hangatnya mana— Oh ini, ya?" Melihat pesanannya telah tersedia di atas meja dapur, Fadil tak banyak cakap. Ia langsung saja mengambil alih nampan itu dan dibawanya ke kamar Ibu Hana.

Posisi Tifanny yang meringkuk dekat meja dan tertutupi beberapa kursi di depannya, membuat sang suami tak melihat keberadaan isterinya. Bahkan, ingin meminta pertolongan pun Tifanny tak sanggup.

Sampai Fadil telah meninggalkan ruang dapur, Tifanny hanya mampu menjerit di dalam hati. Mas, tolong Fanny!

•••

"Buburnya udah jadi, dimakan ya, Bu." Fadil berujar sambil menyuapi sang ibu.

Hana memakannya dengan lahap, sesekali ia tersenyum hangat karena hasil masakan tersebut sangat cocok di lidahnya. "Buburnya enak, Dil! Fanny yang buat, ya?"

"Iya dong, Bu! Masakan Tifanny emang enak. Fadil aja selalu suka sama semua masakannya," balas Fadil dengan bangga.

"Bersyukur kamu punya dia, Nak."

"Iya, Bu. Fadil bersyukur banget punya Tifanny. Nggak sia-sia Fadil nunggu dari SMA kemarin," ungkapnya.

Hana tersenyum. "Terus, sekarang Fanny di mana? Kok nggak kelihatan?" tanya Hana

"Nggak tahu, Bu. Tadi ketika Fadil di dapur, nggak lihat Fanny. Mungkin lagi di kamar mandi, ganti pembalut mungkin? Kan Fanny lagi haid, Bu," balas lelaki itu.

Raut wajah Hana berubah khawatir. "Loh, kalau Fanny lagi haid, kenapa kamu suruh dia, Dil? Kamu gimana sih! Pasti perutnya lagi sakit banget itu, mana kakinya kan lagi masa pemulihan. Kasihan dia capek, Dil. Kamu keterlaluan!"

"Fadil nyuruh Fanny, karena Fanny juga mau menerimanya, Bu. Fadil pikir dia nggak akan keberatan buat bantu rawat Ibu di sini. Biasanya kalau dia capek atau kenapa-kenapa juga bilang kok sama Fadil. Ibu tenang aja, Tifanny nggak akan kenapa-kenapa, Bu." Fadil mencoba menyakinkan.

"Astaghfirullah, Fadil. Saat ini, dia nggak akan mau ngomong dia capek atau nggak, Nak. Karena dia pasti takut kamu khawatir, apalagi sekarang Ibu sakit. Nggak mungkin Fanny nggak capek. Apalagi tiga hari ini dia semua yang mengurus kegiatan rumah, walaupun sesekali dibantu sama Agam dan Nindi, tapi tetap aja kasihan dia, Nak. Sekarang, kamu susul dia di dapur, lihat Fanny. Ibu khawatir dia kenapa-kenapa, Dil!"

"Tapi, Ibu belum—"

"Ibu bisa makan sendiri! Kamu boleh rawat dan jaga Ibu, tapi kamu juga harus perhatikan isterimu, Nak. Dia juga nggak kalah penting untuk hidup kamu."

Tersadar dengan ucapan ibunya barusan, Fadil merenung sejenak. Selama mereka tinggal di rumah Hana, Fadil memang tidak pernah menanyakan bagaimana kondisinya. Malah, Tifanny yang terus menanyakan kabar Hana tanpa memedulikan kesehatannya sendiri.

"Ya udah, Fadil cari Fanny di dapur dulu ya, Bu." Fadil bangkit, tetapi suara teriakan dari kedua adiknya menambah rasa khawatir dalam dirinya dan Hana.

"Kak Fadil, Mbak Tifanny pingsan!"

•••

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now