25. Lampu Hijau Ayah

1 0 0
                                    

"Ngapain di luar?" Tio menodong sang adik ipar dengan mata memicing. Begitu turun dari motornya setelah pulang bekerja dia heran melihat Fadil berdiri di ujung teras. "Kamu biarin Tifanny sendirian?" Nada bicaranya menaik.

Fadil gelagapan. Dia menggerak-gerakkan tangan. "Tenang, Kak. Tifanny belum lama kok sendiriannya." Meski masih takut dengan sang kakak ipar, tetapi sisi tengil Fadil membuatnya berusaha tampak santai. "Tadi dia dijenguk Wening dan bundanya. Barusan"

Tio menghela napas. Sembari membuka resleting jaket, dia mendekati Fadil yang langsung mundur. Namun, begiitu mendekati pintu dia malah lesehan di ubin.

Fadil yang sudah melewati ambang pintu kembali dengan mengangkat sebelah alis. "Nggak jadi masuk, Kak?"

Tio tak menjawab. Hanya mendongak memandang langit tengah hari yang biru. Tanpa melihat Fadil, dia menyuarakan pertanyaan dengan lirih. "Gimana caranya mengembalikan lamaran?"

"Hah? Maaf, Kak, gimana?"

Tio menyelonjorkan kaki, punggungnya menyandar pada kusen. "Aku mau kembali melamar Wening, tapi bingung caranya."

Fadil menghilangkan raut jenaka. Sambil berdeham untuk menunjukkan keseriusan, dia bersila di depan Tio. "Kakak udah ditolak Wening, terus mau nyoba melamar lagi?"

Tio menggeleng. Dia ceritakan kejadian kemarin. Mulai dari ajakannya bicara berdua pada Wening untuk menarik lamaran, sampai kepergian Wening yang meninggalkan Tio dengan penyesalan.

"Berarti sebenarnya Wening itu mau ngasih Kakak lampu hijau, ya." Fadil diam sebentar, mengusap dagu untuk bisa memberi saran. "Karena Kakak belum secara resmi memutuskan ke orang tuanya Wening ... mendingan Kakak ke sana aja buat meralat."

"Mereka pasti udah tahu," sahut Tio tak bergairah. Seharian ini dia galau memikirkan si gadis barbar.

"Mengingat karakter si Wening yang berisik, emang pasti dia langsung cerita kejadian kemarin ke ortunya. Tapi kita kan nggak tahu reaksi dan pikiran ortu Wening kayak gimana. Tadi aja bunda Wening masih nanya kamu ke mana dan bilang nitip salam. Eh, dia juga minta kamu ke rumahnya, deh, buat urusan anak kucing."

Tio menegakkan punggung. Benar, dia punya hal yang dilupakan. "Kalau saat aku ambil anak kucing ortu Wening nggak seramah biasanya berarti mereka setuju dengan pemutusan, tapi kalau masih welcome tandanya aku masih punya kesempatan." Tio bergumam sendiri sambil merekahkan senyum. Akhirnya dia dapat pencerahan. Terima kasih kucing.

Ikut senang melihat ekspresi Tio, Fadil refleks menceletuk, "Mau aku temani melamar ulangnya, Kak?"

Namun, Tio mendengkus dengan tatapan tajam. "Urus Tifanny!"

***

Malamnya, setelah pulang tarawih Tio berpamitan pada Tifanny dan Fadil. Di teras dia meminta doa pada dua adiknya sebelum mengendarai motornya menuju rumah Wening.

Tiba di depan rumah Wening, Tio memarkirkan motornya di dekat pagar. Dia turun lalu mengucap salam.

Tak lama ayah Wening keluar. "Eh, Nak Tio, ayo masuk," sambut ayah Wening sembari membuka pagar.

Tio mengikutinya sampai masuk ke ruang tamu dan duduk berhadapan. "Wening sudah cerita dari sudut pandang dia yang merasa diputuskan. Sekarang Ayah tanya dari sudut kamu? Apa alasan kamu melakukan itu?"

Tio menelan ludah. Satu pertanyaannya tentang asal mula Wening blak-blakan terjawab. Ternyata itu faktor turunan, dari ayahnya. "Saya .... Kemarin saya terlalu malu dengan sikap saya yang kekanakan, Yah. Saya malu terlihat posesif dan keras kepala di hadapan Wening yang ternyata bijaksana."

"Tapi kamu masih tertarik pada Wening?"

"Sangat!" Tanpa sadar Tio berteriak, saking semangatnya. Setelahnya dia mengusap tengkuk. Malu.

Ayah melipat tangan di dada. "Tidak bisa dipungkiri, Ayah memang kecewa dengan apa yang kamu lakukan pada putri Ayah. Kamu memutuskannya sepihak tanpa menghadap Ayah, padahal sebelumnya kamu memulai dengan Ayah."

Tio tertunduk. "Maaf, Yah."

Ayah mengembuskan napas panjang. "Jadi, yang benar, kamu mau lanjut atau berhenti?"

"La-lanjut."

"Yang tegas!"

Tio mendongak. "Lanjut, Yah!"

Ayah tersenyum miring. "Sebenarnya Ayah tak rela mengakui ini, tapi ... Ayah lihat Wening sudah menyukaimu."

Tio tertegun.

"Ayah tak pernah memaksakan tentang lamaran kamu padanya. Namun, akhir-akhir ini dia mulai membahas tentangmu pada bundanya ke arah positif. Sampai kamu melakukan tindakan kemarin, dia pun kembali mendingin."

"Maaf." Hanya itu yang bisa Tio gumamkan. Dia sangat menyesal.

"Ayah mendidik Wening menjadi perempuan mandiri. Maka, dia begitu tangguh menjalani kesendiriannya di tempat merantau. Namun, saking mandirinya dia jadi tak memikirkan pernikahan. Sekarang, saat dia mulai membuka hati, Ayah tak mau dia sakit. Jadi, jika kamu serius tolong tunjukkan. Jika masih ragu-ragu, sudahi, jangan temui Wening lagi."

"Saya ingin serius!" Suara  Tio mantap.

"Buktikan! Sekarang malam ke-18 Ramadan. Kesepakatan kita sebelumnya sampai tanggal 23. Masih ada 5 hari. Jika selama itu kamu bisa meyakinkan Wening, maka Syawal langsung kita urus pernikahan."

Tio membola. "Syawal?" Bulan depan? Berapa minggu lagi? Ah, lebih utama dari itu. Bagaimana caranya meluluhkan Wening yang sudah dibuatnya marah?

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now