12. Keberatan Wening

0 0 0
                                    

"Tapi ... aku penasaran sama cerita kamu. Katanya kamu bakal cerita kalau aku udah ceritain masalah aku. Ayo, aku ingin dengar!" Tifanny duduk berhadapan, ekspresinya begitu antusias.

Wening membenarkan kacamatanya yang sedikit turun. "Jadi ... sebenarnya aku itu—"

Kring!

Notifikasi ponsel itu membuat fokus Tifanny teralihkan. Ia kemudian memeriksa panggilan tersebut dan ternyata nama Fadil tertera di layar ponselnya.

"Maaf, Wening, Mas Fadil nelpon. Aku izin menerima panggilannya dulu, ya?"

Dengan malas Wening menjawab, "Hem. Ngeselin si Fadil emang. Orang mau cerita juga malah ganggu!"

"Sabar, jangan marah-marah nanti cantiknya hilang." Tifanny berusaha menghibur.

"Assalamualaikum, Mas," sapa Tifanny ketika telah menerima panggilan tersebut.

"Waalaikumsalam. Fanny mainnya masih lama kan?" tanyanya di seberang telepon.

"Kemungkinan iya, Mas. Ada apa, Mas? Ada yang mau dibantu atau Mas perlu sesuatu?" Perempuan itu bertanya beruntun.

"Nggak ada, Sayang. Mas cuma mastiin aja, kalau Fanny masih lama di sana, kemungkinan Mas jemput sorean, ya? Karena sekarang lagi bantu Kak Tio ngurus masjid. Nggak apa, kan?"

"Oh gitu, iya ndak apa, Mas. Fanny aman kok kalau udah di rumah Wening. Mas Fadil di sana hati-hati, ya."

"Sip. Fanny juga. Kalau perutnya sakit, jangan lupa kasih minyak kayu putih atau minyak angin, ya."

"Iya, Mas."

"Oke itu aja. Assalamualaikum, Cantik."

Spontan kedua pipi Tifanny bersemu. "Waalaikumsalam, Mas."

"Tolong ya kamar aku itu bukan tempat bermesraan kalian, telinga aku ternodai tahu!" Wening menyahut, ekspresinya tampak sebal.

"Nanti kamu juga akan ngerasain, Wening."

Mendengar itu, Wening kembali dilema. Sekarang pikirannya kalut. Keraguan yang ia tampung sekitar dua mingguan ini, belum juga membuahkan hasil.

"Sebenarnya ... aku tuh ragu buat nikah," ungkap Wening serius.

"Alasannya?"

"Banyak yang dipertimbangkan, Fan. Aku masih kuliah, aku ingin berkarir walau dengan cara buka bisnis kecil-kecilan, aku juga belum siap menjadi seorang isteri, terlebih ilmu agama aku juga belum begitu mumpuni. Aku masih suka marah-marah, walau perlahan sesekali bisa  dikontrol. Tapi ... argh intinya aku belum siap, Fan!"

"Kan semua itu bisa diperbaiki ketika kita sudah menjalin hubungan. Percaya deh, perlahan sikap kita bisa lebih baik dari sebelumnya," balas Tifanny.

"Kenapa kamu bisa bilang gitu?"

"Karena aku merasakannya, Wening. Kalau kita menikah dengan tujuan yang sama, maka hasil pernikahan itu akan membuahkan hasil. Mulai dari segi ibadah, cara kita berprilaku dan berbicara, perlahan itu semua bisa membaik seiring berjalannya waktu." Tifanny menjelaskan.

"Tapi itu nggak jamin kalau kita bisa berkarir, kan? Menurutku, nikah itu buat kita nggak bebas seperti sekarang ini. Pasti nggak cuma kita aja yang dipikirin, harus suami juga. Belum lagi kalau punya anak, gimana kalau aku nggak bisa ngurusnya? Atau ... ternyata dia lebih dekat sama ayahnya? Aku juga ingin peranku sebagai ibu ada di sisinya, Fan. Tapi, kembali aku ngerasa aku belum pantas berada di posisi itu." Wening bingung. Raut wajahnya betul-betul mendeskripsikan perasaannya saat ini.

"Loh, bukannya kamu yang bilang kalau menikah itu tergantung komitmen dari kedua belah pihak. Contohnya aku sama Mas Fadil. Kamu ingat kan malam takbiran itu dia mau melamar aku, tapi aku sedikit keberatan karena kuliahku belum rampung. Dan kamu juga dengar sendiri jawabannya apa. Percaya deh, kalau laki-laki itu udah serius sama kita, kebutuhan kita insyaallah akan dipenuhi sama dia, Wening."

"Tapi nikah nggak akan bisa sebebas masa sekarang, Fan. Aku masih pengen bebas, aku juga bisa ngerjain semuanya sendiri, kok!" Gadis itu begitu percaya diri dengan apa yang ia ucapkan. Walaupun sebenarnya, hatinya sedikit bertolak belakang.

"Aku tahu, kamu orang yang mandiri. Bisa melakukan semuanya tanpa merepotkan orang lain, tapi alangkah lebih baik jika ada orang yang memang bisa bantu kamu tiap waktunya? Seengaknya beban yang kamu pikul ndak begitu berat seperti sebelumnya. Atau jangan-jangan ... kamu keberatan karena mata pencahariannya?" tebak Tifanny.

Dengan cepat Wening menjawab, "Nggak, Fanny! Nggak sama sekali. Permasalahan aku cuma satu, aku takut nikah. Kamu tahu? Teman kuliahku banyak yang udah nikah, tapi ... kehidupannya banyak juga yang nggak seindah yang diharapkan. Aku cuma takut hal itu terjadi sama aku juga."

"Istighfar, Wening. Kebahagian itu akan lahir ketika dua insan berkomitmen untuk mencapai tujuan bersama dan mau berproses bersama. Memang, di sebuah pernikahan itu akan ada masalah, tapi pandai-pandai kita untuk bisa mengatasinya sama-sama. Itulah sebabnya diperlukan komunikasi, agar satu sama lain ndak salah paham." Tifanny menasihati.

"Keraguan kamu itu hanya perlu diperbaiki lagi. Kamu harus buka hati dan pikiran kamu kalau nikah bukanlah suatu hal yang buruk untuk kita jalani, justru akan mendatangkan pahala apabila kita melakukannya untuk ibadah. Bukannya kamu tadi bilang, jangan berpikir yang ndak baik kalau belum tentu terjadi," lanjut Tifanny.

Wening menghela napas pelan. "Tapi, Fan, waktu itu aku lihat seorang ibu-ibu lagi marahin anaknya karena nggak salat di masjid. Bukankah nikah itu berat? Aku belum bisa, Fan!"

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang