6. Sandal Tifanny

0 0 0
                                    

"Jadi bener Kak Tio melamar Wening, Fan?" Fadil bertanya.

Sepasang pasutri itu kini berjalan beriringan menuju masjid, hendak salat tarawih berjamaah. Proses berjalan Tifanny yang masih membutuhkan bantuan, membuat lelaki itu sigap untuk terus berada di sampingnya.

"Iya, Mas. Kak Tio melamar Wening sebelum bulan puasa kemarin. Tapi, sampai sekarang Wening belum memberikan jawaban yang pasti," balas Tifanny.

"Ya ... perempuan butuh waktu untuk menjawabnya. Kayak Mas nungguin Fanny waktu itu," ujar Fadil sambil menatap isterinya dengan lekat.

Tifanny tersenyum. "Fanny kangen Wening, Mas."

"Kenapa nggak telponan?"

"Takut ganggu aktivitasnya. Terakhir itu sekitar dua atau tiga bulan yang lalu, ketika Wening cerita kalau dia lagi buka usaha kayak bisnis kecil-kecilan. Fanny juga waktu itu ndak bisa merespon begitu cepat karena kemarin ponsel Fanny sempat drop." Tifanny menjelaskan.

"Ya sesekali kasih kabar, Fan. Jangan sampai kalian berdua nggak komunikasi sama sekali. Seengaknya tukar kabar cukup untuk melepas rindu kalian berdua. Apalagi lusa nanti kita pulang, Fanny nggak mau kasih kabar ke dia?"

Tifanny tampak berpikir. "Sebenarnya mau sih, Mas. Tapi ... takut ganggu. Fanny ndak enak kalau sampai ganggu aktivitasnya di sana."

"Ya udah nggak apa-apa. Gimana baiknya aja, kalau Fanny mau kasih surprise ke Wening juga bisa. Nanti kalian bisa ketemuan di masjid, kan?"

"Ide bagus, Mas! Nanti jangan lupa beliin dia oleh-oleh, ya?"

Fadil mengacungkan jempol tangannya. "Sip!"

"Kak Fadil!" sapa seorang gadis bersama teman-temannya.

Fadil hanya menoleh, tak begitu merespon lebih pada gerombolan gadis-gadis yang tidak membawa manfaat bagi dirinya. Justru lelaki itu merasa risih dengan kehadiran mereka.

"Nggak usah didenger," tegur Fadil ketika melihat tatapan Tifanny yang berbeda.

"Fanny ndak apa-apa kok, Mas."

"Sorot mata Fanny nggak bisa bohong."

"Ck, Mas Fadil curang semua gerak-gerik Fanny Mas Fadil tahu!" Tiffany berekpresi sedikit cemberut, menambah kesan lucu di mata Fadil.

"Mas ini suami Fanny kalau lupa! Mas udah hapal gerak-gerik Fanny dari bangku SMA. Bahkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang Fanny lakuin Mas tahu."

"Aaa, Mas! Jangan nyubit hidung dong!" Tifanny kesal, gara-gara Fadil hidungnya menjadi merah. Mirip sekali seperti hidung badut.

"Gemes, pengen gigit!"

"Ngawur! Eh, Mas, kira-kira Fanny bisa jalan tanpa dituntun ndak, ya?"

"Mau coba?" Fadil menawarkan.

"Emang kita ndak telat pergi ke masjidnya?"

Fadil melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi. "Masih, kok. Ayo!"

"Tapi, kalau dilihat orang gimana, Mas?"

"Nggak usah pedulikan orang lain, Sayang. Fokus sama diri Fanny sendiri aja. Udah anggap aja nggak ada orang dan cuma ada Mas sama Fanny di sini." Fadil memberi semangat.

Perlahan, tapi pasti Fadil mencoba melepaskan pegangan Tifanny. Walau ada rasa ragu yang menjalar, tetapi lelaki itu berusaha meyakinkan dirinya bahwa sang isteri bisa melakukannya.

Dengan penuh hati-hati Tifanny berjalan tanpa pegangan apa pun. Langkah demi langkah ia lalui dengan baik. Fadil tersenyum melihat kemajuan sang isteri. Artinya pengobatan yang mereka jalani tidak sia-sia dan membawa perubahan pada diri Tifanny.

Sampai tak sadar keduanya telah sampai ke tujuan. Tifanny tersenyum senang tatkala berhasil melakukannya. Sampai-sampai ia memukul lengan Fadil cukup kuat untuk menyalurkan rasa gembiranya.

"Alhamdulillah, Masya Allah. Selamat, ya, udah bisa jalan sendiri," ucap Fadil seraya mengelus pipi isterinya dengan lembut.

"Ini berkat usaha Mas juga!"

"Mas hanya sebagai pendukung, kunci dari keberhasilan ini ada di diri Fanny sendiri."

"Makasih ya, Mas."

Fadil tersenyum. "Ya udah, Mas ke shaf laki-laki, ya. Fanny jalannya pelan-pelan aja, apalagi kalau mau wudhu. Nggak usah buru-buru."

"Oke, Mas!"

•••

"Sandalku ke mana, ya? Perasaan waktu Mas Fadil pamitan, sandalnya aku letakkan dekat dinding, deh." Tifanny kebingungan, matanya menelisik ke berbagai sudut. Barangkali sandalnya terpental jauh akibat ada anak kecil yang sedang bermain.

"Permisi, Nak," tegur seorang ibu hendak mengambil sandalnya.

Tifanny menepi, ia mempersilahkan jamaah perempuan di sana untuk mengambil alas kakinya masing-masing. Siapa tahu dengan seperti ini, Tifanny mendapatkan sandalnya. Cukup lelah menunggu, perempuan yang berusia dua puluh satu tahun itu duduk di pinggiran masjid.

"Eh, kamu isterinya Kak Fadil, ya?" Tiba-tiba seorang perempuan bertanya.

Tifanny menoleh. Ini kan perempuan yang nyapa Mas Fadil tadi?

"Iya. Kenapa emangnya?" tanya Tifanny pelan.

"Kok bisa ya, kamu jadi isteri Kak Fadil?"

Tifanny diam sekaligus bingung. Bagaimana mungkin perempuan ini melontarkan pertanyaan seperti itu. Secara logika mengapa ia bisa menjadi isteri Fadil tentunya sudah jodoh yang telah diatur sama Allah SWT.

"Secara Kak Fadil kan orangnya ganteng, ya. Mapan juga. Aku kira dia pulang kampung kemarin cuma liburan, ternyata bawa isteri," lanjut perempuan itu. Matanya tampak tajam memandang Tifanny, menunjukkan ketidaksukaannya.

"Emangnya salah kalau dia pulang ke sini bawa isteri?"

"Salah! Karena aku tuh suka sama Kak Fadil! Lagian kenapa sih Kak Fadil cari isteri yang modelan gini? Kayaknya masih sempurna aku deh!"

"Jaga ucapan kamu!"

Kedua perempuan itu menoleh tatkala suara Fadil menggema di sekitar teras masjid. Lelaki yang dikenal dengan ketenangannya, kini terlihat menyeramkan. Sorot mata tajam, berhasil membuat lawan bicaranya tertunduk takut.

"Kalau kamu ke sini cuma mau menyakiti hati isteri saya, mending pergi!" titah Fadil.

"Tapi, Kak, Ranti tuh suka sama Kakak!"

"Apa peduli saya —"

"Mas," tegur Tifanny pelan.

"Kakak jahat!" Perempuan bernama Ranti itu kemudian pergi meninggalkan Tifanny dan Fadil. Perlahan, masjid sudah mulai sepi. Sehingga, kejadian barusan tak banyak orang tahu.

"Istighfar, Mas."

"Astagfirullahaladzim. Mas nggak terima Fanny diperlakukan kayak gitu!"

"Kita lanjut di rumah aja, ya? Ini ... sandal Fanny hilang. Fanny bisa minta tolong bantu cari ndak? Kayaknya tadi ada anak kecil yang mainin sandalnya deh," ungkap Tifanny.

"Ya udah pakai sandal Mas aja."

"Jalan menuju rumah kita kerikil semua, Mas. Nanti berdarah kalau kena kerikil yang tajam," tolak Tifanny secara halus.

"Seenggaknya bukan Fanny yang kena. Udah pakai sandal Mas aja, ya? Sayang tahu, kaki udah tertutup gini tapi nggak ada alasanya."

"Ucapannya ndak pernah berubah." Tifanny tersenyum. Ia masih ingat betul ketika momen ini terjadi satu tahun yang lalu, ketika ia masih bersama Wening.

Hari itu Wening sedang marah besar dengan teman satu kelas dulu yang sedang membully Tifanny. Sandal Tifanny hilang, dan Fadil menawarkan sandalnya. Ini de Javu, Tifanny merasakan hal romantis lagi yang Fadil lakukan. Bedanya, kali ini bukan Wening yang memakainya, tetapi Fadil langsung.

Tentu saja, pembelaan yang dilakukan Fadil membuatnya teringat pada Wening. Setahun yang lalu, ketika Tifanny selalu dirundung, Wening menjadi garda terdepan untuk melindunginya. Kini gardanya tergantikan oleh Fadil.

"Udah nih. Ayo, pulang!"

Tifanny mengangguk.

Wening, kamu apa kabar? Aku kangen.

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now