10. Mengurai Kesalahpahaman

0 0 0
                                    

"Bentar, maksudnya gimana?" Wening bertanya. Mendadak gadis itu kebingungan.

"Sebenarnya aku mau cerita sama kamu udah lama, Wening. Tapi ... aku takut ganggu waktu kuliah kamu. Apalagi, terakhir kamu bilang sedang membangun usaha kecil-kecilan. Jadi, mau cerita mikir beberapa kali," ungkap Tifanny.

Gadis itu menatap Tifanny sebal, sedikit merajuk. "Kamu tahu nggak, yang seharusnya bilang itu, aku! Aku yang terus-terusan nggak enak, karena kamu suka bales chat aku lama! Aku pikir, Fadil udah rebut sahabat aku seutuhnya sampai-sampai aku nggak bisa cerita-cerita lagi sama kamu." Raut sedih menghiasi wajah Wening saat ini. Bohong, jika ia tidak rindu pada sahabatnya.

Mendengar itu, Tifanny cepat-cepat mengklarifikasi. "Eh, ndak begitu, Wening. Sepertinya kamu salah paham." Tifanny tersenyum kecil.

"Hah? Salah paham? Salah paham gimana maksudnya?"

"Anu, aku kemarin balasnya lama karena ... ponselku sedang tidak baik. Prosesnya lambat, dan butuh waktu untuk diperbaiki. Makanya, aku selalu telat membalas pesanmu waktu itu. Hehe. Jangan marah, ya."

"Tifanny!" Wening geram. Selama ini ia berburuk sangka pada sahabatku sendiri, terutama Fadil. "Kenapa kamu baru bilang sekarang?"

"Kan baru ketemu, aku mau kirim pesan takut ganggu kamu. Maaf ya jadi bikin kamu kepikiran. Aku ndak bermaksud seperti itu. Bahkan, bukan kamu aja kok, aku juga sebenarnya ingin bercerita banyak hal, apalagi tentang kehidupanku setelah menikah. Cuma ya tadi, aku takut ganggu kamu, Wening." Tifanny berbicara tulus.

"Bahkan, Mas Fadil sebenarnya ndak melarang aku buat komunikasi sama kamu. Beliau justru mendukung aku biar terus interaksi walau kita hanya saling berbalas pesan."

Tanpa aba-aba Wening langsung memeluk sahabatnya dengan erat. Sedari tadi ia menahan untuk melakukannya, tetapi ketika Tifanny mengutarakan yang sebenarnya dan itu tidak seperti yang Wening pikiran, gadis itu langsung mengambil aksi.

"Waktuku sama sekali nggak terganggu kalau pesan itu berasal dari keluargaku dan kamu, Tifanny. Jujur, aku kesepian di kost, biasanya aku bakal chat random kamu atau bahkan ajak kamu buat hal-hal aneh. Tapi, karena pikiran burukku, aku jadi menuduhmu yang tidak-tidak. Maafkan aku juga, ya." Kedua matanya berkaca-kaca, renjana yang ia bendung sekitar dua sampai tiga bulan terakhir ini, akhirnya bisa terobati dengan baik.

Tifanny tersenyum. Ia melepaskan pelukan lebih dulu, kemudian menghapus sisa air mata di wajah sahabatnya itu. "Sudah jangan menangis, kamu jelek kalau kayak gini. Alhamdulillah dengan kita dipertemukan lagi, kita berdua bisa sama-sama tahu alasan masing-masing. Satu hal yang harus kita tahu—"

"Jangan menuduh orang lain sembarangan!"

"Terus—"

"Jangan berpikir buruk, dan jika merasa ada yang ganjal perbaiki itu semua dengan cara berkomunikasi!"

Tifanny tersenyum bangga. "Masya Allah! Kamu sekarang udah pandai memaknai sesuatu, ya? Udah hijrah banget kayaknya."

Wening kemudian menyengir, baru menyadari aksinya barusan yang terlihat antusias. "Itu semua kan berkat ajaran kamu setahun yang lalu. Dan ketika aku amalkan hampir setahun terakhir ini, aku merasa dalam diri aku tuh kayak damai gitu. Setenang itu. Kecuali yang kepikiran kamu!"

"Sama, aku juga gitu." Tifanny kemudian melepaskan kedua kaos kakinya, lalu berbaring di kasur kesayangan Wening.

"Kamu lelah banget, ya? Harusnya nanti aja mampirnya, apalagi kamu masih tahap proses berjalan. Nanti kalau ada apa-apa, aku lagi yang diomelin si Fadil." Wening ikut berbaring di sampingnya. Makanan yang berserakan ia singkirkan lebih dulu.

Tifanny menoleh, kali ini wajahnya terlihat sedih. Seolah ada sesuatu yang ia ungkapkan pada Wening. "Ndak, kok. Semalam aku sudah istirahat di rumah Kakak. Cuma—"

"Mau cerita?"

"Tapi, aku pengen denger cerita kamu dulu."

"Em, kayaknya ceritaku akan nyambung kalau aku dengerin cerita kamu dulu deh, Fan."

"Kenapa bisa gitu?"

"Gimana, ya? Intinya aku harus dengerin kamu dulu, biar ketika aku bercerita bisa nyambung."

Perempuan berkerudung hitam itu mengangguk paham. "Setelah menikah, kehidupanku memang ada yang berbeda. Jika pada awalnya aku berusaha untuk melakukan sesuatu sendiri, sekarang ada Mas Fadil yang menemaniku setiap waktu. Entah itu dari segi ibadah, pekerjaan rumah tangga, beliau berusaha menyempatkan waktunya untuk membantuku walau dirinya sedang lelah karena pulang kerja."

"Wening, aku benar-benar bersyukur atas kehadirannya. Selama hampir satu tahun pernikahan kami, aku ndak pernah mendengar Mas Fadil mengeluh perihal kekuranganku ataupun tentang lainnya. Caranya memperlakukanku juga sama sekali tidak seperti merendahkan, katakanlah aku selalu dimuliakan olehnya."  Tifanny menunduk sejenak.

"Akan tetapi ..., ada satu hal yang sering kali mengusik pikiran dan hatiku, Wening," ungkap Tifanny.

"Apa itu? Apa ada orang ketiga di antara kalian? Atau Fadil ternyata genit dengan perempuan lain di sana? Ayo katakan padaku, Fanny," jawab Wening cepat.

Tifanny tertawa pelan. "Ndak, ndak seperti itu. Tapi ... ini perihal keturunan."

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now