5. Kebimbangan Wening

1 0 0
                                    

Selepas salat subuh tadi, Wening tak lagi langsung tidur. Gadis itu sudah membiasakan diri untuk tadarus walau hanya beberapa ayat. Kebiasaan ini baru dijalankan kurang lebih selama dua bulan terakhir ini. Mengingat, tahun lalu sahabat karibnya pernah memberikannya wejangan perihal kegiatan setelah subuh.

Lima belas menit berlalu, Wening baru ingat jika ia harus mengembalikan motor Tio. Sekaligus ... Wening ingin menetapkan keputusan. Setelah mendengarkan nasihat ayah semalam, pintu hati gadis itu perlahan terbuka. Menurutnya, Tio pantas untuk ia terima. Tentunya dengan menaruh harapan agar Tio bisa membimbing dan meyakinkan dirinya bahwa menikah bukanlah suatu hal yang menyeramkan, tetapi untuk membangun komitmen dan meraih tujuan yang sama.

Siap, Wening berpamitan kepada Bunda walau tak semulus yang ia harapkan. Perempuan paruh baya itu melontarkan beberapa pertanyaan yang tentu saja membuat Wening kebingungan.

"Bunda ..., Kakak mau balikin motor Kak Tio." Wening terpaksa memotong ucapan bundanya.

"Harus pagi ini?" Bunda merasa heran.

"Jam segini Kak Tio baru pulang dari masjid, salat subuh berjamaah. Kalau mau nanti pagi, keburu dia mau kerja. Masa iya dia kerja jalan kaki, Bun?" Wening berusaha menjelaskan.

"Aaa, ekhem! Ternyata Kakak perhatian juga ya sama, Nak Tio. Sampai-sampai nggak rela calon mantu Mama pergi kerja jalan kaki." Bunda meledek seraya menyenggol tubuh Wening.

Gadis itu malu. Padahal niat awalnya agar sang bunda mengizinkannya ke luar. Akan tetapi, malah salah kaprah. Wening menunduk sejenak karena pipinya bersemu, sebisa mungkin ia menutupi semua itu dari bundanya.

"Ya sudah kalau begitu, pulangin gih motornya. Eh, tapi Kakak nanti pulangnya gimana?"

"Jalan kaki, Bunda. Sekalian jalan pagi."

"Oke. Hati-hati ya, Kak."

"Baik, Bunda. Kakak pergi, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

•••

Wening telah sampai di persimpangan masjid, ternyata lelaki yang ia tunggu-tunggu belum juga menampakkan wajahnya. Entahlah, apakah Wening yang pergi terlalu pagi atau wiritan Tio yang begitu panjang?

Sampai akhirnya, Wening tidak sengaja melihat seorang ibu paruh baya berdiri tak jauh dari masjid sambil memarahi anaknya yang kurang lebih umurnya sekitar empat tahun. Tak perlu mendekat, suara dari ibu dan anak itu masih terdengar jelas di telinga Wening.

"Astaghfirullah, Geo! Ibu kan udah bilang, kalau ke masjid itu buat salat, Nak. Jangan main-main keluyuran apalagi ganggu ketenangan orang lain," ujar ibu itu menegur anaknya.

Sang anak menunduk, lalu menjawab, "Maaf, Ibu, tadi Geo ikut temen."

"Nak, kalau mau ikut teman, lihat dulu. Dia mau melakukan apa, jangan asal ikut aja. Ibu izinin kamu ke luar pagi-pagi kayak gini karena niat kamu mau ke masjid dan salat berjamaah, bukan untuk bermain."

"Maaf, Bu."

Sang ibu menghela napas. "Jadi sekarang belum salat subuh?"

Geo menggeleng pelan. "Belum."

"Ya udah, pergi ke masjid, ambil wudhu terus salat. Ibu tungguin di luar."

"Ibu nggak salat juga?" tanya Geo.

"Ibu udah salat di rumah."

Melihat adegan tersebut, Wening berpikir jauh. Menurutnya, kalau sudah menikah, artinya akan ada keturunan yang diharapakan orang tua dari kedua belah pihak. Dengan usia yang masih terbilang muda, jujur Wening belum siap dengan semua itu. Banyak pertimbangan ketika sepasang pasutri memutuskan untuk memiliki anak. Pastinya keduanya tidak boleh egois, berusaha bersikap adil dan bisa mengontrol semuanya dengan baik.

Wening memindai diri sendiri, untuk membenahi dirinya saja ia masih kalang kabut, bagaimana nantinya ia akan mengurus seorang anak? Baiklah jika Tio menyanggupi, tetapi ... apakah rasanya kurang klop jika Tio seorang diri yang mendidik? Wening juga ingin perannya dibutuhkan. Akan tetapi ..., gadis itu sepertinya belum sanggup.

Hal ini membuat keputusannya menjadi goyah. Akankah ia akan menerima Tio atau tidak? Bagaimana jika dirinya tidak bisa menjadi sosok isteri atau ibu yang diharapkan? Terlebih, Wening juga masih butuh belajar agama.

"Aku terima nggak, ya?" Wening menimang keputusannya. Padahal masih pagi, tetapi pikirannya sudah penuh dengan serabut dan bikin kalang kabut.

"Melamun apa sih pagi-pagi?" tegur Tio membuat Wening tersadar.

"Astaghfirullah, Kak Tio! Ngagetin! Salam dulu, Kak!" Refleks Wening mengomel. Agaknya jiwa bar-bar gadis itu belum sepenuhnya hilang.

"Iya-iya. Assalamualaikum, Wening," sapa Tio sambil tersenyum.

"Waalaikumsalam."

"Ngapain pagi-pagi ke sini? Nungguin Kakak, ya?"

"Dih, pede banget! Wening itu ke sini mau balikin motor Kakak!"

"Ya sama aja dong, mau balikin motor masih mau nunggu Kakak juga kan?"

"Ya ... mau nggak mau." Wening memalingkan wajahnya ke arah lain. Lagi-lagi ia harus menutupi bahwa pipinya bersemu merah. Apalagi sekarang kondisi jantungnya sedang tidak aman.

Tak ingin berlama-lama, Wening segera turun dari motor itu. Mengambil kunci lalu ia serahkan pada Tio. "Ini, Kak, makasih ya kemarin malam udah mau meminjamkan motornya. Walau pada akhirnya Kakak yang harus jalan kaki sih."

Tio tersenyum kecil. "Iya, sama-sama. Buat calon isteri, kuusahakan sebisa yang Kakak mampu."

Wening menggaruk kepalanya sebentar. Ada rasa tak enak ketika Tio mengutarakan kalimat terakhirnya. Terlebih, lelaki itu sedang menunggu jawaban dari Wening.

"Em, Kak, maaf aku belum bisa kasih jawaban sekarang. Kalau Kakak nggak mau nunggu, Kakak bisa—"

"Nggak masalah. Selagi yang Kakak tunggu itu kamu, akan Kakak tunggu sampai kamu mengutarakan jawaban."

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now