9. Sambutan Wening

1 0 0
                                    

"Kak buka, Kak!"

"Arggh!" Wening menggeram dengan tangan yang meremas bantal di bawah dagunya. Di tengah posisinya telungkup itu dia merutuki Ragil yang dirasa begitu mengganggu.

"Kak ada orang di depan, Kak!" Ragil tampaknya tak mau menyerah begitu saja. Kini bocah laki-laki itu malah menggedor-gedor pintu kamar Wening.

Wening mengeraskan volume suara vidio yang tengah ditontonnya. Dia tak akan tertipu lagi. Satu hari ini Ragil sudah lebih dari dua kali melakukan modus yang mengerjai Wening sampai harus bolak-balik ke luar.

Mulanya Ragil berpura-pura mengatakan Wening disuruh Bunda, padahal sebenarnya tidak. Lalu Wening seolah mendapat panggilan dari telepon rumah, dan masih ada lagi kejahilan Ragil. Padahal Wening hanya ingin istirahat, meresapi keistimewaannya sebagai perempuan.

"Ini serius, Kak!"

Wening masih tak menyahut.

Sampai saat Ragil berteriak, "Maaf Kak Tifanny, Kak Weningnya nggak mau keluar."

Barulah Wening bangkit dari kasurnya. Benarkah sahabatnya ada di luar sana?

Terpengaruh, akhirnya Wening menyambar kerudung instannya dan berjalan tergesa ke luar kamar. Tanpa mengacuhkan Ragil yang sibuk mengomel di ambang pintunya, Wening meneruskan langkah.

Saat tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu utama, Wening diam terpaku. Tangannya bahkan sampai naik untuk mengucek mata. "Tifanny," ucapnya gamang.

Wening ragu orang sedang mengobrol dengan Bunda itu adalah sahabatnya. Memang secara postur dia sangat Tifanny. Namun, secara posisi .... Wening menelengkan kepala. "Sejak kapan bisa berdiri?"

Tanpa Wening sadari, ternyata suaranya dapat terdengar oeh dua perempuan itu. Mereka menoleh pada Wening. Sementara Bunda memberikan senyum singkat lantas pamit akan ke area samping halaman, sosok yang masih Wening ragukan siapa itu malah melambaikan tangannya.

"Assalamualaikum, Wening."

Wening mengerjap. Suara itu .... Benar, itu adalah Tifanny. Tak ingin membuang waktu, Wening berlari memangkas jarak. Namun, saat tangannya terulur ingin memeluk, dia kembali ragu.

Hati Wening bercabang. Satu sisi ingin langsung memeluk Tifanny. Namun, sisi lain mengingatkan bahwa hubungan mereka kan sedang merenggang. Pantaskah Wening menyambut Tifanny dengan kontak fisik?

"Jawab, Wening." Suara Tifanny yang renyah diiringi kekeham, membuyarkan lamunan Wening.

Wening membalas salam dengan agak tergagap. Setelahnya, dia memindai tubuh Tifanny dari ujung kepala ke bawah. "Kamu ...."

"Alhamdulillah sudah bisa berjalan, sedikit." Tifanny menyahut cepat karena gemas dengan Wening yang tampak begitu cengo.

Wening turut berhamdalah bahkan sampai mengusap muka. Dia amat bahagia. Tadinya dia pikir Tifanny akan selamanya tergantung pada kursi roda, tetapi ternyata kini di depannya Tifanny terlihat bisa berdiri dengan kakinya sendiri.

"Kapan mudik?" Suaranya lebih netral. Kini dia sudah lebih dapat menguasai diri. Meski merasa hubungan mereka sedang tak baik-baik saja, tetapi Wening tak mau membahasnya sekarang. Dia akan mementingkan dulu euforia kebahagiaanya.

"Kemarin sore. Tapi, maaf baru bisa ke sini siang ini, aku sama Mas Fadil kelelahan."

"Oh, iya." Wening memicing. "Di mana suamimu sekarang. Jangan bilang dia nelantarin kamu ke rumah aku sendiri?"

"Ndak ...." Tifanny menggeleng, lalu memutar kepalanya dan menunjuk seseorang yang duduk di motor yang terparkir di ujung halaman rumah Wening. "Itu Mas Fadil antar aku pake motor Kak Tio."

Wening berdeham. Malu terlihat posesif pada Tifanny di hadapan orang yang lebih berhak untuk posesif pada sahabatnya itu.

"Nggak sekalian mampir, Dil?" ujar Wening datar. Sekadar formalitas, basa-basi. Sebenarnya dia tak berniat beramah tamah dengan sosok yang membuatnya merasa kehilangan sang sahabat.

"Maaf, nggak dulu, aku harus balikin motornya Kak Tio. Pamit, ya?" Setelah mendapat balasan dari Tifanny, Fadil berlalu.

Saat Wening sedang sibuk mendumel dalam hati, Tifanny menepuk pundaknya. "Eh, maaf, Fan. Yuk masuk!"

"Tapi ...," Tifanny menjeda kalimatnya sejenak, "boleh bantu gandeng tanganku? Soalnya aku masih suka agak oleng, apalagi kalau kelamaan berdirinya."

"Oh, ya?" Wening gelagapan, lantas mengapit lengan Tifanny yang terbalut gamis yang ternyata saat Wening teliti adalah gamis samaan mereka saat lebaran tahun lalu.

"Makasih." Tifanny tersenyum saat mulai melangkah bersama melewati ruang keluarga Wening.

"Kita ke kamar aku aja, ya. Biar kamu lebih nyaman mengistirahatkan kaki. Terus biar nggak diganggu si Ragil tengil." Wening memeletkan lidah kala berpapasan dengan sang adik yang sedang berlarian mengejar mobil remot kontrol.

Tifany menurut saja. Begitu menjauh dari Ragil, dia berbisik, "Tadi Kak Tio nitip salam dan harap."

"Harap." Wening melirik Tifanny dengan sebelah alis terangkat.

Tifanny menyengir. "Semoga kamu mau menerimanya."

Bola mata Wening melebar. "Kamu tahu tentang lamaran dia?"

"Ya iyalah, dia kan kakakku, mesti cerita." Tifanny menggerak-gerakkan alis. "Gimana? Sudah punya jawabannya?"

Wening mengalihkan pandangan dan bergumam, "Aku masih belum kepikiran nikah."

Tifanny tak menyahut, meski ingin membantu sang kakak, tetapi dia tak ingin memaksa terburu-buru. Terlebih mereka juga baru kembali bertemu. Tak bisa dipungkiri, Tifanny juga merasa canggung.

"Silakan masuk." Wening mendorong pintu kamarnya.

"Eh, kamu lagi halangan?" tanya Tifanny saat mengedarkan pandangan ke seisi ruangan dan melihat bungkus makanan ringan bertebaran.

Wening menyengir, lalu mempersilakan Tifanny duduk di ranjang.

Sembari melemaskan kaki, Tifanny menghela napas. "Aku juga."

Wening mengernyit melihat ekspresi Tifanny yang tampak begitu sendu. "Kamu ... sedih karena nggak bisa puasa?"

"Iya," balas Tifanny parau. "Sedih juga karena tandanya gagal  hamil."

"Eh?" Wening terbelalak.

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now