27. Dilema

0 0 0
                                    

Tok. Tok. Tok.

"Kak ...," panggil Bunda dari luar kamar.

"Masuk aja, Bunda. Kakak nggak gigit, kok." Wening menjawab sambil sedikit bercanda. Gadis itu kini duduk di tepian ranjang sembari membuka jilbab pasmina-nya.

Kepala bunda menyembul di balik pintu. Wanita paruh baya itu tampak hati-hati memasuki kamar putri tercintanya.

"Ada yang mau diomongin, Bun?" tanya Wening tampaknya dapat membaca kehadiran bundanya di kamar ini.

"Iya, ada. Ini tentang ... Tio, Kak."

Sejenak Wening menghentikan aktivitasnya. Entahlah setiap kali ia mendengar nama lelaki itu ada rasa jengkel tatkala mengingat keputusan sepihak yang Tio lakukan tempo hari.

"Aku gerah, Bun, dari pasar. Ingin istirahat bentar, deh. Nanti aja gimana bahas Kak Tio? Lagian apa yang mau dibahas lagi? Kan dia udah memutuskan lamaran." Sesekali gadis itu memalingkan wajah agar sang bunda tak dapat membaca ekspresinya saat ini.

Bunda bersandar di kepala ranjang, ia tampak berpikir. "Emang sih, tapi semalam Tio datang menemui ayah, lho."

Ungkapan Bunda membuat Wening kaget. Gadis itu membalikkan tubuhnya menghadap bunda. "Yang benar? Kok aku nggak tahu?"

Bunda tertawa pelan. "Kakak pulang tarawihnya lebih dulu, terus masuk kamar langsung tidur. Jadinya nggak sadar kalau ada tamu semalam."

Wening kembali menetralkan ekspresinya untuk biasa-biasa saja. Ia tidak mau ketangkap basah karena penasaran apa yang dilakukan Tio semalam di rumahnya. "Terus ... ngapain Kak Tio ke rumah? Oh iya, kucingnya masih nyangkut di rumah ini, ya? Nggak mungkin dia mau—"

"Bentar ...." Bunda menyela ucapan Wening. "Kakak ...."

"Bunda, kayaknya aku mau tidur deh. Ceritanya nanti aja, ya? Hoam. Tuh kan udah ngantuk banget. Nanti kita lanjut deh, abis asar. Hehe." Wening sengaja memotong ucapan bundanya. Ia tahu, jika bundanya ini suka sekali menebak-nebak. Tidak, saat ini Wening tidak ingin perasaannya ditebak. Cukup ia yang tahu bagaimana perasaannya sekarang.

Bunda memicingkan matanya sejenak. Seolah tahu apa yang sedang putrinya rasakan, bunda memberikan Wening waktu sejenak sebelum membicarakan hal yang serius.

"Oh iya, ya. Kakak udah capek bantu Bunda bawa belanjaan di pasar tadi. Ya udah, kamu istirahat gih. Nanti sore jangan lupa masak ya, Kak," pesan bunda sebelum meninggalkan tempat.

"Oke, Bunda! Beres mah!"

"Yang enak!"

"Tenang, masakan aku akan selalu enak di lidah kalian," ujar Wening percaya diri.

"Iya deh iya."

Setelah bunda pergi dari kamar Wening, gadis itu menutup pintunya pelan-pelan. Ia terduduk di balik pintu. "Maaf, Bunda, aku belum bisa diajak ngobrol tentang Kak Tio. Walaupun sebenarnya penasaran banget, tapi ... argh! Sialan emang!"

•••

"Ini sandal aku ke mana, sih? Perasaan aku letakkan di paling ujung tadi. Kok sekarang nggak ada, ya?" Wening kebingungan. Diletakkannya perlengkapan salat itu di atas kursi, depan teras masjid. Kemudian ia sibuk mondar-mandir mencari keberadaan sandal tersayangnya. "Ck, nggak ada. Ke mana sih?!"

"Wen, cari apa?" Tifanny tiba-tiba muncul. Sahabatnya itu ikut kebingungan melihat aksi Wening yang tak bisa diam.

"Ini loh, sandalku hilang. Sebel banget deh! Bocil-bocil di sini kalau main sandal suka nggak dikembalikan lagi ke tempat semula. Nggak tanggung jawab!" sungutnya dengan ekspresi kesal. Gadis itu terduduk di lantai sembarangan, frustasi karena sandal kesayangan tak kunjung ditemukan.

"Sabar, Wening. Istighfar." Tifanny mengingatkan. Perempuan itu duduk di samping Wening, membantu menenangkan.

"Kehilangan yang kamu alami ini mungkin musibah. Namun, kamu jangan menanggapinya sambil emosian apalagi marah-marah. Ingat, salah satu jalan untuk kita belajar bersabar adalah saat sedang menghadapi musibah. Mungkin Allah sedang ingin menguji sebelum memberikan sesuatu yang lebih baik." Tifanny mengucapkannya dengan lembut.

Seketika Wening menoleh. Ia berteriak histeris. "Tifanny!"

"Eh, ada apa? Aku ... ada salah ucap, ya? Kalau iya, maaf untuk itu—"

"Nggak sama sekali! Kamu sadar nggak sih, ucapan kamu barusan itu sama persis dengan ucapan satu tahun yang lalu. Nggak ada yang beda. Aku hapal betul yang udah kamu ucapkan, Fanny!" potong Wening cepat.

Gadis itu memegang kedua bahu Tifanny cukup erat. "Fan, jujur aku kangen dengerin ucapan kamu yang kayak gini. Aku bisa hijrah, itu karena kamu. Peran kamu cukup besar bisa rubah aku sampai seperti ini. Tolong, kalau aku melenceng, diingatkan lagi, ya?"

Tifanny tersenyum haru. "Makasih Wening, kamu udah mengingat ucapan aku. Aku seneng kamu udah lebih baik sekarang. Walau ya ... sifat bar-bar nya masih nyangkut dikit. Hehe."

Wening membebaskan tangannya ke udara. Ekspresinya kini lebih bersahabat. "Itu mah sulit buat dihilangkan, Fan. Tapi, perlahan dicoba deh. Oh, ya. Aku juga ingat pesan kamu waktu itu."

"Apa emangnya?" tanya Tifanny antusias.

"Kamu pernah bilang bahwa, mengikhlaskan bukan berarti udah nggak sayang. Namun, lebih ke memasrahkan. Segala sesuatu 'kan milik Allah. Jadi, ya, kalau Sang Pemilik sudah mengambilnya, kita harus sabar dan ikhlas. Huh, walaupun sebenarnya aku belum benar-benar ikhlas kehilangan sandal lagi, Fan." Seketika Wening menunduk.

Apalagi sandal itu pemberian dia tahun lalu. Argh, dia lagi! Emang aku bisa ikhlasin dia sekarang?

Tifanny tersenyum sembari mengelus bahu sahabatnya dengan pelan. "Semoga ada penggantinya yang lebih baik, ya?"

Pengganti? Emang ada yang bisa gantiin dia?

"Ini, sandalnya. Ada di pintu samping, kayaknya tadi ada yang pakai, tapi lupa dikembalikan."

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now