23. Kedatangan Mertua

0 0 0
                                    

"Nak, gimana keadaan kamu sekarang?" Hana bertanya. Setelah mendapat kabar bahwa Tifanny bisa dibawa pulang, Hana meminta suaminya untuk segera menengok mantu di rumah Tio. Perempuan paruh baya itu begitu khawatir dengan kondisi Tifanny.

Tifanny tersenyum kecil. "Alhamdulillah, sedikit demi sedikit mulai membaik, Bu. Tinggal lemesnya aja masih kerasa."

Hana terdiam sejenak. Ia pandang Tifanny dalam-dalam, tersirat ada rasa bersalah dalam dirinya. Mengabaikan sang mantu bekerja sendirian dalam kondisi yang tidak memungkinkan, membuatnya terus kepikiran selama Tifanny masuk rumah sakit. Salah satu tangannya mengelus kepala Tifanny dengan lembut. Menyalurkan kasih sayang yang begitu mendalam tanpa mampu diungkapkan lewat kata.

"Fan, Ibu minta maaf atas kelalaian Fadil, ya, Nak? Padahal Ibu sudah mengingatkan anak itu, tapi ... ternyata Fadil tidak begitu mendengar ucapan Ibu." Begitu yang Hana ucapkan.

"Iya, ndak apa-apa Ibu. Lagian ini ndak sepenuhnya salah Mas Fadil, kok. Tifanny juga kurang introspeksi diri, harusnya Tifanny tahu keadaan Tifanny kemarin ndak memungkinkan untuk melakukan semuanya sendiri. Ibu jangan merasa bersalah terus, ya? Biarkan ini menjadi pelajaran untuk kami berdua, Bu. Fanny minta doa terbaik aja dari Ibu," balas Tifanny dengan senyuman terbaiknya.

Terharu mendengar respon dari sang mantu, Hana lantas memeluk Tifanny dengan pelan. Sesekali ia usap punggung Tifanny dengan lembut, tanpa bicara ia seolah mengatakan bahwa Hana benar-benar bersyukur memiliki seorang mantu seperti Tifanny. Tanpa mereka berdua sadari pun, setitik air jatuh dari kelopak mata. Terharu satu sama lain.

Tifanny melepas pelukan lebih dulu. kemudian ia bertanya, "Ibu sendiri bagaimana keadaannya? Sudah membaik?"

"Alhamdulillah. Ibu perlahan sudah membaik, ini berkat kamu, Nak. Makasih ya sudah merawat dan menjaga Ibu selama tiga hari kemarin, kamu benar-benar tulus. Rasa ikhlas kamu ketika merawat Ibu benar-benar terasa sampai ke hati Ibu. Ibu doakan, semoga ke depannya baik kamu dan Fadil bisa menjalani pernikahan ini dengan baik, ya? Segala bentuk ujian yang kalian terima nantinya semoga akan cepat diberikan solusi serta dimudahkan dalam mengambil keputusan. Dan khususnya semoga Fadil nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Dia yang seharusnya menjadikan hal ini sebuah pelajaran. Karena dia pemimpin keluarga." Demikian Hana mendoakan.

"Aamiin Allahumma aamiin. Makasih buat doanya, ya, Bu."

Hana mengangguk. "Iya, sama-sama. Oh ya, ini Ibu bawa bubur ayam. Nindi tadi bilang kalau kamu suka banget sama bubur ayam. Jadi, tadi Ibu sama Nindi yang masak."

Hana memberikan satu kantong plastik berukuran sedang itu pada Tifanny. Perempuan itu menerimanya dengan senang hati. "Ibu jadi repot-repot. Emang, Nindi bisa masak, Bu?"

Hana berbicara mendekati telinga mantunya. "Sebenarnya nggak bisa sih, kamu tahu sendiri kalau Nindi masak pasti kebanyakan makanannya gosong. Cuma tadi karena mau masak untuk kamu, ternyata Nindi masaknya berhasil. Aneh emang adiknya Fadil yang satu itu."

Tifanny tertawa kecil. "Walau aneh, tapi Nindi emang unik, Bu. Makasih ya, Bu. Tolong bilangin sama Nindi makasih sudah repot-repot masak untuk Mbak iparnya. Hehe."

"Iya, sama-sama. Tadinya Agam sama Nindi tuh mau ikut, tapi karena mereka pulangnya bakal telat jadinya batal. Mungkin nanti mereka berdua nyusul ke sini."

"Iya, Bu. Ndak apa-apa. Salam buat mereka berdua ya, Bu. Maaf juga untuk sementara ini, Tifanny tinggal di rumah Kak Tio dulu."

"Santai aja, Nak. Biarkan kamu di sini dulu, lebih aman karena ada Nak Tio. Sesekali Fadil juga diberi pelajaran oleh Tio nggak apa-apa."

"Ibu bisa aja."

•••

"Aaaa!" Jadwal Tifanny makan telah tiba. Belajar dari kesalahan kemarin, kali ini Fadil berusaha untuk tidak telat memberikan makan sang isteri. Bahkan, di ponsel lelaki itu dibuat alarm jika sewaktu-waktu ia lupa.

"Mas Fadil nyuapin buburnya kebanyakan. Mulut Fanny penuh, Mas." Tifanny protes. Bibirnya sedikit manyun akibat terlalu banyak bubur yang masuk dalam mulutnya hingga kedua pipinya mengembung. Terlepas itu, Tifanny menikmati bubur buatan mertuanya. Rasanya sangat enak dan begitu pas di lidah Tifanny.

Fadil ingin tertawa, tetapi ia tahan sejenak. "Maaf, Mas kelebihan nyendoknya, ya?"

Tifanny mengangguk dengan wajahnya sedikit cemberut. "Bibir Fanny kecil, Mas. Ndak muat buat menampung bubur sebanyak itu."

"Tapi buat menampung bibir Mas muat tuh," sahutnya tanpa beban.

"Ih Mas Fadil mesum!" Refleks perempuan bermata sipit itu mencubit lengan suami dengan kuat. Fadil hampir saja terperanjat akibat ulah isterinya.

"Aduh! Sakit, Sayang!"

"Biarin!"

"Jangan marah-marah dong, nanti cantiknya isteri Mas ini hilang."

"Ndak usah gombal!"

Sampai tiba-tiba suara ketukan dari luar, memecahkan fokus mereka.

Tok. Tok. Tok.

"Assalamualaikum, Tifanny."

"Itu ... suara Bunda!"

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang