3. Ketakutan Wening

1 0 0
                                    

"Kak!" Seruan Bunda menyambut kedatangan Wening ke halaman rumah. Perempuan paruh baya itu mendekati Wening dengan wajah yang dipenuhi gurat khawatir, dan langsung menelisik tubuh sang anak. "Kamu nggak apa-apa? Kenapa malam sampainya?"

Wening mencium tangan Bunda. "Aku baik-baik aja, Bun. Tadi macet."

"Alhamdulillah kalau gitu." Bunda mengembuskan napas lega.

"Maaf karena bikin Bunda risau sampai nungguin aku di teras." Wening melepas helm dan hendak merangkul Bunda untuk masuk bersama.

Namun, Bunda malah bergeming. "Kamu masuk aja duluan. Bunda masih mau nunggu Tio yang mau nganter pesanan roti."

"Barusan aku ketemu sama dia." Wening menggosok-gosok tangan.

"Dia siapa?" Bunda mengernyit. "Nak Tio?"

Wening mengangguk pelan. "Pas aku jalan dari pertigaan desa, Kak Tio menghampiri aku. Terus ngasih motornya."

Bunda menoleh pada motor metik yang tadi Wening parkirkan. "Pantesan kayak nggak asing. Bunda kira tadi itu motor baru kamu. Ternyata punya calon mantu Bunda." Sembari terkekeh, Bunda menggiring Wening ke dalam rumah.

Wening mencebikkan bibir. "Belum tentu, Bun."

"Lho, kamu mau nolak Tio?" Bunda menyelidik wajah Wening.

Wening jadi gelagapan. "Itu ...."

"Bun, nanti dulu bahasnya."  Interupsi Ayah yang menyambut kedatangan dua perempun itu di ruang keluarga.

Wening tersenyum lega, cepat mencium tangan Ayah yang sudah menjadi penyelamatnya dari cercaan.

"Sana salat dan makan dulu. Udah buka kan, Kak?" Tatapan Ayah begitu teduh.

"Sudah, Yah. Tadi mampir beli donat." Wening melepas tas ranselnya dan mengeluarkan kotak donat dan beberapa oleh-oleh yang dibawanya dari rantauan, termasuk keripik buatannya. "Maaf hanya bawa ini."

Ayah mengusap kepala Wening. "Yang penting buat kami bukan makanan-makanan itu, tapi kamu. Lihat kamu sampai dengan selamat, itu yang paling kami tunggu."

Wening menyengir, menikmati afirmasi orang tuanya. Namun, tak bisa lama, karena tiba-tiba Ragil berteriak dari ruang makan.

"Es campurnya aku habiskan, ya!"

Wening berdecak. Segera mengambil ancang-ancang untuk menyambut ajakan perang dari sang adik.

"Salat dulu, Kak!" Bunda menyemarakan keramaian.

***

Wening mengelus perutnya yang telah terisi banyak amunisi. Kini ruang makan telah hening karena Ragil sudah berangkat duluan ke masjid.

"Untung nggak ada yang ambil." Datang-datang Bunda langsung mengomel.

Mata Wening menyipit. "Kenapa, Bun?"

Bunda mendesis. "Ini, lho, pesanan Bunda, ternyata ngegantung di motor yang tadi kamu bawa, tapi kamu nggak bilang. Untung barusan Tio ngirim pesan."

Wening menggaruk pipi. Mana dia tahu. Tio tak ada bicara. Wening pun tak sempat memperhatikan kendaraan yang ditumpanginya karena terlalu sibuk memikirkan Tifanny.

Menghidu aroma roti yang begitu menggugah, tangan Wening terulur hendak mengambil plastik yang Bunda letakkan di tengah-tengah meja makan. Meski tak menerima Tio, tetapi Wening tak mungkin tak menerima roti yang disuguhkan di depan mata.

Baru juga Wening menggigit ujung bungkusnya, Bunda menahannya. "Istighfar, Kak. Perut kamu udah buncit gitu, jangan berlebihan ditambah lagi." Tanpa tedeng alling-aling Bunda merebut roti dan mengamankannya ke lemari.

Tak lama, Bunda kembali menghampiri Wening dan menuntunnya untuk berdiri. "Ayah mau bicara."

Wening hanya bisa menghela napas selama perjalanannya menuju ruang keluarga.

"Tadi kata Bunda kamu sepertinya akan menolak Tio, benar?" Ayah langsung membuka pembahasan begitu Wening duduk di sofa seberangnya.

Wening mengangguk ragu. Kepalanya langsung tertunduk dengan tangan saling meremas di pangkuan.

"Kenapa? Kamu nggak suka Tio? Atau kamu sudah punya calon yang lain?"

"Enggak!" Wening mendongak. Namun, kembali tercekat. Dia bingung dengan perasaanya sendiri.

"Enggak apa? Enggak suka Tio? Berarti kamu udah punya calon sendiri?"

Wening menghela napas. "Aku nggak punya calon, tapi aku nggak tahu aku suka Kak Tio atau nggak."

Ayah dan Bunda saling melirik dengan senyum penuh arti. Dasar anak muda! Bisik Bunda tanpa suara.

Ayah mengembalikan atensi pada Wening. "Terus kenapa kamu mau nolak Tio?"

Wening menggigit bibir. "Aku belum siap nikah."

"Takut kuliah kamu keganggu?"

"Itu ... salah satunya, tapi lebih dari itu, aku masih belum siap mental buat bangu rumah tangga. Kayaknya nikah itu terlalu berat buat aku sekarang."

"Kenapa kamu merasa begitu?"

"Karena teman-teman kuliah aku yang udah nikah menunjukkan dan menceritakan banyak tantangan yang mereka harus hadapi."

Bunda beralih ke sisi Wening dan meraih tangannya. "Nikah emang berat tanggung jawabnya, Kak. Nikah juga pasti ada masalahnya. Namun, bukan berarti kamu boleh menakuti diri sendiri dengan pikiran negatif seperti itu."

Karena Wening hanya diam, Bunda melanjutkan. "Ini bukan berarti Bunda hanya pro pada Tio. Namun, semuanya. Andai orang yang pertama melamar kamu bukan dia, Bunda akan tetap mengingatkan kamu untuk tak bersikap seperti ini.

"Wajar, sangat, kalau kamu merasa tak siap. Namun, jangan karena takut sesuatu yang belum tentu, ya." Bunda memeluk dan menepuk punggung Wening. "Bunda nggak akan memaksa. Kamu berhak menolak. Namun, kamu pertimbangkan alasannya."

Setelah pelukannya terurai, barulah Wening bersuara. "Memang menurut Ayah dan Bunda apa alasan buat aku nerima Kak Tio?"

"Dia serius dan tahu cara memuliakan perempuan," sahut Ayah.

"Hah?" Wening mengernyit.

"Kalau dia cuman mau nge-ghosting kamu, dia nggak akan menghadap Ayah, dia pasti langsung hubungi kamu bersama gombalan receh atau ajakan pacaran. Namun, dia menunjukkan keseriusan untuk pernikahan."

Ayah menjeda sejenak, memperhatikan pipi Wening yang mulai memerah,  "Terus tadi, bisa aja dia sembarangan bonceng kamu, tapi dia memilih ninggalin motornya aja, karena dia menghormati kamu sebagai perempuan. Dia tahu batasan sesuai syariat agama kita."

Bunda menyenggol Wening. "Alasan yang baik, tuh."

"Entahlah." Wening menutup wajahnya.

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang