11. Kegemasan

0 0 0
                                    

Wening menelan ludah susah. "Fadil ngebet punya anak?"

Tifanny menghela napas. "Sebenarnya ndak, sih. Mas Fadil malah cenderung santai urusan ini. Tapi aku kepikiran sendiri. Berasa ndak bisa membahagiakan dia aja karena belum bisa memberikan anak."

Wening menoleh, memperhatikan wajah Tifanny dari samping. Tampak gurat halus di kening perempuan bermata sipit itu. Entah berapa banyak beban yang Tifanny jejalkan ke kepalanya sendiri.

Wening menaikkan kacamata ke dahi, lantas turut menghela napas. Wening sudah mengenal Tifanny dari kecil, dan dia tahu bahwa kini sahabatnya itu pasti sedang dikuasai overthinking atas ketakutan yang belum tentu terjadi.

"Jadi, kamu yang pengen banget ada yang manggil bunda?" Suara Wening masih terdengar netral, walau batinnya sudah geram ingin berteriak gemas.

"Itu ...."

"Kamu juga belum ngebet." Tanpa menunggu lanjutan kalimat Tifanny, Wening menyela sambil mengulas senyum geli. "Terus kenapa sampai segitunya kepikiran?"

"Aku cuman takut Mas Fadil ndak bahagia." Tifanny menggeser memutar tubuhnya memunggungi Wening, tak mau memperlihatkan bulir bening yang seenaknya menggenang di sudut matanya.

Tepat. Sesuai dugaan Wening, Tifanny memang menyimpan ketakutan pada hal yang belum tentu. Meski Wening tak terlalu mengenal dekat Fadil, tetapi Wening cukup menjadi saksi bagaimana perjuangan Fadil demi mempersunting Tifanny. Wening yakin Fadil bukan orang egois yang hanya mementingkan kebahagiaanya daripada kenyamanan orang yang dicintainya.

Tak mau langsung menghakimi. Wening biarkan saja Tifanny puas menangis untuk mengeluarkan emosi negatifnya, agar nanti dapat diajak mengobrol dengan tenang.

Beberapa menit berlalu. Bahu Tifanny tak lagi bergetar. Wening bangkit, sembari membenahi kacamatanya dia mendekati dispenser dan mengambil segelas air.

Saat Wening kembali ke ranjang, Tifanny pun sudah duduk bersandar. "Maaf aku nangis," ucapnya parau sembari menerima sodoran gelas dari Wening.

"Dih!" Wening duduk di depan Tifanny dengan bahu yang dibuat-buat bergidig. "Kamu yang capek ngeluarin air mata, kok malah minta maaf sama aku. Harusnya minta maaf tuh sama kepala kamu sendiri. Udah berapa lama dah kamu bebani berat banget gitu."

Untung dua perempuan itu sedang sama-sama kena palang merah. Jadi, bebas untuk menangis, minum, dan marah-marah.

Tak tersinggung. Tifanny yang sudah terbiasa dengan sikap Wening yang blak-blakan malah mengulas senyum. "Makasih." Dikembalikannya gelas pada Wening.

Wening menyimpannya di dekat kaki ranjang. Setelahnya dia bersila dengan pandangan lurus pada Tifanny. Gurat wajahnya lebih serius. "Sudah siap ngobrol?"

Tifanny mengangguk mantap.

"Tadi kata kamu Fadil nggak pernah ngeluh dengan kekurangan kamu, kan?" Wening membuka pembahasan dengan pertanyaan retoris. "Berarti dia nggak menderita sama kamu, kan? Maksudku, selama ini pasti ada momen kalian saling berbagi senyum dan tawa. Aku ingat dulu kamu sering nyerita Fadil tuh suka kelihatan senang tiap habis makan masakan kamu. Bukankah ... itu artinya kamu udah bisa membahagiakan dia?"

Tifanny tertegun. Perkataan Wening yang benar adanya. Dia dan sang suami sudah memang sudah bahagia, tetapi .... "Rasanya masih ndak lengkap tanpa anak."

"Fadil bilang gitu?"

"Bukan."

"Terus, siapa yang bilang? Mertuamu?" Mata Wening memicing.

Tifanny menggeleng sambil menggigit bibir bawah. "Tetanggaku di Kalimantan. Mereka bilang aku cuman jadi benalu buat Fadil kalau ndak ngasih anak," cicitnya.

Wening mengusap wajah. "Astaghfirullah, Tifanny! Kamu itu kan biasanya lebih dewasa daripada aku. Kenapa sekarang jadi gemesin gini, sih?"

"Hah?" Tifanny cengo.

Wening mendengkus. "Kamu pasti lebih tahu dari aku, bahwa yang utama dalam pernikahan itu komitmen antara kamu dan suami kamu. Harusnya yang jadi fokusnya, ya, kalian berdua yang menjalaninya. Tetangga itu faktor nomor sekian."

"Tapi kami hidup bermasyarakat, Wening!"

"Ya, tahu." Wening memutar bola mata. "Bahkan meski aku masih single pun, aku tetap bagian masyarakat. Tapi, kita kan nggak harus mengamini semua yang orang sekitar katakan. Apalagi kalau perkataannya belum tentu benar. Kita harus punya filter buat memilih apa yang harus disimpan di kepala dan apa yang harus dibuang."

Wening menghirup napas dalam-dalam. Mencerocos itu melelahkan. Namun, dia tak akan berhenti bicara sampai Tifanny membuang sampah di kepalanya.

Setelah beberapa saat hening, Tifanny meraih tangan Wening dan mengusapnya. "Makasih, ya, sudah menampar aku."

Wening tersentak. Perasaannya tak enak. Apakah dia sudah terlalu jauh ikut campur urusan pernikahan padahal dia sendiri belum menikah. "Maaf-maaf, bukan maksud aku," ucapnya gelagapan.

Tifanny tersenyum. "Tenang, tamparan kamu menjadi baik, kok. Aku lebih sadar sekarang. Salahku yang kebiasaan ovt."

Wening masih tak tenang. "Maaf pokoknya. Enggak mau bahas tentang pernikahan lagi, deh."

"Heh, jangan gitu." Tifanny mencubit pipi Wening. "Kita harus tetap bahas pernikahan. Pernikahan kamu dengan Kak Tio."

"Enggak...!"

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now