17. Kegoyahan Wening

0 0 0
                                    

"Katanya kalau nikah pasti sayang."

Wening berdecak melihat Ragil yang menunjukkan sengiran. Dengan tangan yang berkacak di pinggang, Wening berucap ketus, "Tadi kamu bilang Kak Tio udah sayang Kakak, sekarang sayangnya jadi nanti. Nipu banget kamu, bocil."

"Enggak atuh, aku mah nggak bilang gitu." Dengan santainya Ragil mengayun-ayunkan kaki. "Tapi beneran, Kak. Kalau nikah sama Kak Tio pasti Kakak disayang."

"Pret!" Wening memasang muka ngeri. "Nggak ada jaminan."

Kening Ragil mengerut. "Jadi, Kakak nggak mau nikah sama Kak Tio? Padahal dia suka sama Kakak, lho. Kalau aku cerita dia suka merhatiin banget, terus akhirnya nanya-nanya tentang Kakak sambil senyam-senyum."

"Bentar!" Wening mencondongkan wajah ke arah Ragil yang duduk di seberangnya terhalangi meja ruang keluarga. "Ngapain kamu ngomongin Kakak ke dia, hah?!" Wajahnya sangar. Perasaannya tak enak.

Ragil menggaruk rambutnya. "Aku curhat soalnya Kakak nyebelin banget."

Bola mata Wening melebar. "Harusnya kan dia ilfeel tahu Kakak nyebelin, kok malah jadi suka?"

"Itu ... aku juga suka curhat pas kangen atau senang karena Kakak bikinin sesuatu. Terus Kak Tio tiba-tiba nanya mau nggak jadi adiknya. Ya aku mau, jadi aku jawabin pertanyaan dia tentang Kakak."

Gila! batin Wening. Jadi, ternyata Tio sudah tahu banyak hal tentangnya, termasuk kekurangannya yang nakal ke sang adik. Namun, Tio tetap nekad melamarnya? Benarkah sesuka itu Tio pada Wening?

Melihat sang Kakak bengong, Ragil melanjutkan. "Aku yakin Kak Tio suka Kakak kok, dan pasti sayang juga. Cuman kata Kak Tio sayang nggak boleh dinyatakan sebelum nikah. Jadi, sana nikah!"

"Sialan!"

"Kak!" Bunda melengking.

***

Namun, tiba-tiba seruan Bunda saat itu berubah jadi suara si anak laki-laki.

Wening mengerjap. Tersadar dari lamunannya karena suara gedoran di pintu kamar yang begitu brutal.

Sambil menggerutu, Wening bangkit dari meja belajarnya dan menemui orang yang mengganggu ingatannya tentang obrolan beberapa malam lalu.

"Hayu!" Begitu pintu terbuka, Ragil langsung berseru penuh semangat. "Kakak kan udah janji mau nemenin aku ngabuburit."

Wening mengela napas. Beginilah resikonya ngotot ingin menjadi kakak yang baik, akhirnya malah dimanfaatkan. Sejak melarang Ragil mendekati Tio, Wening jadi kerepotan sendiri karena Ragil begitu manja dan tengil. Dia banyak minta makanan juga ditemani bepergian.

"Buruan, Kak!" Ragil menggusur tangan Wening.

Decakan Wening terdengar keras. "Bentar, siap-siap dulu!" sentaknya sembari memutar tubuh kembali ke dalam kamar.

Tanpa dapat dicegah Ragil mengekori. Dia duduk di ranjang, memperhatikan sang kakak yang sibuk memasang peniti di kerudungnya pashmina-nya. Jika dulu Wening anti pakai kerudung tak instan, kini dia malah lebih prefer ke kerudung yang bisa dibentuk bebas. Lebih klop dengan watang kotak yang menyangga kacamatanya.

"Aku makin nggak sabar Kakak nikah sama Kak Tio, deh," gumam Ragil yang terdengar jelas.

Wening memicing. "Kenapa kamu suka banget dia, sih?"

"Soalnya Kak Tio itu baik. Dia sangat perhatian, kalau aku ngomong selalu disimak. Kalau aku kesepian, dia mau aku ganggu. Kerjanya juga rajin banget. Terus pinter ngaji, suka ngajarin aku." Selama bicara tangan Ragil bergerak-gerak. Ada jiwa sales pada bocah itu, suka banget promosi.

"Terus kenapa kamu pikir dia cocok sama Kakak?" Wening duduk di sebelah Ragil untuk mengenakan kaos kaki.

Ragil mengetuk-ngetuk dagu sebentar. "Soalnya ... Kakak kan kayak aku, suka ngomong dan nggak suka kesepian. Jadi, bakal cocok sama Kak Tio."

Wening tertegun. Benar. Dia dan Ragil memang sangat mirip. Bahkan bisa dibilang Ragil ini duplikatnya semasa kecil, hanya versi beda gender. Jika Tio bisa membuat Ragil nyaman, itu artinya dia juga mungkin bisa membuat Wening nyaman?

Sebelum Tifanny nikah kan Wening sering berkunjung ke rumahnya dan bertemu dengan Tio, dan saat itu Wening nyaman. Tio memang pendiam, tapi dia sering memberikan bantuan. Tio cukup ramah dan sopan, senyumnya juga manis.

Eh! Wening berdeham, lekas bangkit. "Hayu!" ajaknya pada Ragil yang malah senyam-senyum.

"Kakak mikirin Kak Tio, ya?" Ragil menebak dengan telunjuk diarahkan ke wajah Wening. "Pipi Kakak merah!"'

Wening mendengkus. "Nggak jadi, nih."

Ragil gelagapan. "Hayu, hayu!"

Wening diseret ke luar ramah. Berjalan di tengah cerahnya sore. Ragil ingin ngabuburit ke pertigaan desa.

Saat hampir tiba di keramaian pedagang, Wening menghentikan langkah karena melihat seseorang berjongkok di pinggir jalan.

"Ka---"

Wening membekap mulut Ragil. Dengan tatapan tajam dia menyuruh Ragil tak menyapa orang yang sedang memasukkan anak-anak kucing ke sebuah kardus.

Namun, terlambat. Yang menjadi objek perhatian mereka sudah menoleh. "Ragil," sapa Tio sambil berdiri.

Wening segera menarik tangannya.

"Kucingnya mau dikasih rumah, ya, Kak?" Ragil antusias.

Tio mengangguk dan tersenyum. "Besok Kakak antar ke tempatnya. Kamu mau ikut."

"Ma ... u." Ragil tak jadi melengking, dia melirik sang kakak. Ragil sudah berjanji akan dekat dengan kakaknya di sisa Ramadan ini. Namun, dia juga tak tahan untuk menolak ajakan pergi ke tempat penampungan kucing yang dibuat Tio bersama teman-temannya.

"Kamu mau ikut?"

Wening tergemap. Tak mengira akan dilibatkan dalam obrolan.

"Eh, maaf, kan kamu takut kucing, ya."

Ucapan Tio membuat Wening yakin adiknya memang banyak menceritakannya pada pemuda itu. "Aku antar aja," putusnya. Wening memang takut kucing, tetapi bukam berarti dia tak suka. Wening suka jika melihatnya dari kejauhan.

"Besok aku jemput," sahut Tio teramat cepat.

Wening mengernyit. Kenapa Tio seantusias itu? "Jalan kaki?"

Tio mengusap tengkuk. "Agak jauh tempatnya. Tapi ada motor .... Eh, masing-masing bawa motor, deh."

Wening mengulum senyum. Tio yang kikuk begitu lucu untuknya. Wening tahu Tio ingin pergi bersama, tapi tak mau berbocengan. "Bisa bawa mobil?"

Tio tampak bingung dengan pertanyaan random Wening. Namun, dia mengangguk. Di tempatnya bekerja kadang dia melakukan pengantaran dengan kendaraan roda empat.

"Besok kita naik mobil ortuku." Ucapan Wening agak impulsif. Barusan dia tiba-tiba memutuskan untuk memberi Tio kesempatan. Wening mempertimbangkan akan menerima Tio, tentunya dengan persyaratan yang masih dia pikirkan.

Tio masih terlihat tak percaya. Saat dia ingin meyakinkan diri, dering terdengar. Tio mengeluarkan ponsel dari sakunya dan langsung mendekatkannya ke telinga. "Kenapa, Dil?"

Wening hendak merangkul Ragil untuk melanjutkan perjalanan, tak mau kepo dengan urusan keluarga orang.

Namun, belum ada lima langkah, Tio menghentikan mereka.

"Ragil boleh minta tolong bawain kucing-kucing ini?"

"Kenapa?" Malah Wening yang menyahut.

"Tifanny masuk rumah sakit. Aku harus ke sana."

Wening terbelalak. "Dia kenapa?"

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now