1. Kepulangan Wening

5 0 0
                                    

"Hati-hati di jalan, Nak."

Wening mendongak setelah mendengarkan voice note dari ibunya. Embusan napas lelah lolos bersamaan dengan punggungnya yang jatuh ke sandaran kursi bus. Biasanya, Wening akan sangat menikmati perjalanan pulang karena keantusiasan untuk bertemu keluarga. Namun, kali ini lain, Wening malah tak bersemangat, karena bayangan todongan yang menantinya.

Saat bus melaju perlahan, Wening meresapi debaran jantungnya. Dia gugup campur takut memikirkan tentang kepulangannya di hari ke tujuh Ramadan ini tak hanya ditunggu keluarganya, tetapi juga oleh seorang pemuda yang sedang menunggu jawabannya, Tio.

Saat mendengar lamaran Tio yang terlalu tiba-tiba, Wening langsung memberikan keputusan. Sampai dia meminta waktu sebulan untuk mempertimbangkan. Cukup lama, Wening pikir itu akan membuat Tio mundur, tetapi ternyata pemuda itu begitu saja menyanggupi tanpa tapi.

Kini, waktu untuk Wening memikirkan tinggal enam 16 hari. Wening malah masih bimbang. Mengingat cerita teman-teman kuliahnya tentang tantangan dan kesulitan dalam pernikahan di usia muda, membuatnya berpikir untuk menolak Tio mentah-mentah. Namun, hatinya gundah, menyadari bahwa Tio adalah salah satu bagian cinta monyetnya, Wening jadi segan melepaskan pemuda itu dari jangkauannya.

Badan Wening terlonjak ketika bus mengerem tiba-tiba. Seketika para penumpang ribut. Samar-samar terdengar kabar bahwa di depan mereka terjadi kecelakaan. Wening menoleh pada jendela di sisinya, jalanan begitu ramai di tengah matahari yang mulai condong ke Barat. Wening menghela napas. Agak menyesal karena tak jadi pulang dengan motoran sendirian.

Penanganan kecelakaan berjalan alot, sampai-sampai bus yang Wening tumpangi baru tiba di desanya bersamaan dengan terdengarnya suara mengaji mendekati azan Magrib. Wening turun dari bus dengan langka pelan karena kakinya sedikit kesemutan. Dia kemudian menuju kumpulan pedagang yang membuka tenda di sepanjang pinggiran kantor desa.

Wening secara acak mengantri di barisan pembeli tenda paling ujung. Pikirnya yang penting bisa cepat mendapatkan makanan untuk berbuka, apa saja. Karena rumahnya masih jauh, perlu 20 menit dengan berjalan kaki. Maka, mau tidak mau Wening harus berbuka di sekitar penjual itu agar memilih energi untuk melangkah.

Begitu tiba gilirannya memesan, Wening baru menyadari bahwa yang dijajakan di tenda itu adalah aneka donat dengan hiasan warna-warni. Wening tertegun sampai hanya bisa memesan rasa bebas. Begitu menerimanya, Wening langsung mencari tempat duduk.

Sembari menunggu detik-detik azan berkumandang, Wening memandangi dua kotak makanan di tangannya. Tidak, dia tidak selapar itu sampai ngiler ingin cepat makan. Sebaliknya, dia justru merasa seret, karena makanan manis berbentuk bulat itu mengingatkannya pada seseorang.

Tifanny, sahabat kecilnya. Orang yang menuntunnya dalam hijrah, setahun lalu. Yang sayangnya beberapa bulan ini tak lagi banyak Wening hubungi karena kesibukannya di perkuliahan dan usahanya. Selain itu, yang paling membuat Wening segan menghubungi Tifanny adalah karena sahabatnya itu sudah menikah.

Wening pikir balasan chat Tifanny yang sering lama datang merupakan pertanda bahwa dia tak bisa sesedia dulu untuk bertukar obrolan dengannya. Menurut Wening, sekarang yang menjadi prioritas Tifanny pasti Fadil, suami perempuan itu.

Namun, bolehkah Wening kembali menghubungi Tifanny untuk membicarakan kegalauan yang sedang dihadapinya? Terlebih Tio adalah kakak Tifanny, mungkinkah Wening bisa meminta bahan pertimbangan dari sahabatnya?

Setelah memakan tiga donat dengan perasaan tak keruan. Wening menutup kotaknya, lalu bangkit. Setelah menepuk-nepuk belakang gamis, memperbaiki posisi tali ransel, dan menggenggam ponsel sebagai persiapkan penerangan, Wening memulai langkahnya.

Namun, baru beberapa meter Wening berjalan, sebuah motor tiba-tiba berhenti di sisinya. Wening mundur dengan pandangan awas dan tangan yang ditarik ke belakang, menyembunyikan ponselnya.

"Bisa bawa motor jenis ini, nggak?"

Suara rendah laki-laki terdengar. Wening merasa familiar. "Kamu ...."

"Eh, maaf." Pengendara itu menaikkan visor helmnya, dan terlihatlah sosok berkumis tipis dengan kulit sawo matang.

Wening terbeliak. Mulutnya agak menganga. Ternyata orang yang sedari tadi mengganggu pikirannya sedang ada di depannya. Ya, pengendara itu adalah Tio. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan?

"Wening!"

Seruan Tio menyadarkan gadis itu. Wening mengerjap, lantas berdeham. "Iya, Kak."

"Ya udah, ini." Tiba-tiba Tio menyetandarkan motor, lalu turun, dan menyerahkan helm pada Wening.

"Eh?" Wening gelagapan. "Apa ini, Kak?" Dia tak paham. Ini maksudnya Tio tengah menawarinya pulang bersama diboncengnya, atau bagaimana?

"Kata kamu bisa bawa motor jenis ini, jadi ya udah bawa." Tio makin memajukan helmnya.

Wening tersadar. Jadi, Tio sedang menyuruhnya mengambil alih kendaraannya. "Terus Kakak gima ...."

Belum selesai pertanyaan Wening, Tio main ngacir. Tubuh tegapnya yang terbalut kemeja seragam pabrik menembus dinginnya malam ke arah yang berbeda dengan rumah Wening.

Dengan diselimuti kebingungan, Wening mengenakan helm dan menaiki motor Tio. Meski tak mau, tetapi dia terpaksa melakukannya karena tak mungkin meninggalkan barang orang sembarangan.

Sambil menarik stang gas, Wening kembali memikirkan Tifanny. Perempuan itu pasti bisa membantunya menemukan jawaban atas sikap Tio ini. Wening sungguh tak sabar ingin kembali mengobrol, tetapi dia bingung memikirkan awalannya. Haruskah Wening berbasa-basi?

•••

Ada apa dengan persahabatan Wening dan Tifanny? Nantikan kelanjutannya, insyaAllah dipublikasikan setiap hari selama Ramadan.

Salam Salwariamah & toetikhdhyh_

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang