15. Kecemburuan Wening

0 0 0
                                    

"Itu si Ragil jalan ke masjid sendirian gitu apa nggak serem, ya?" Wening berguman sendiri dengan bahu bergidik kala memperhatikan sang adik yang telah meninggalkan halaman rumah. Padahal waktu masih jauh dari Isya, tetapi Ragil sudah akan pergi untuk Salat Tarawih, meninggalkan Ayah yang masih menikmati acara berita di televisi ruang keluarga.

"Nggak sendirian, kok." Tiba-tiba Bunda menyahut.

Wening menoleh, melihat Bunda yang berdiri di ambang pintu dengan tangan yang memegang baki berisi toples dan gelas air. Wening lekas mendekati Bunda dan mengambil alih bawaannya. Setelahnya mereka duduk bersebelahan di kursi teras.

"Enak, Bun?" tanya Wening dengan pandangan wajah yang condong memperhatikan Bunda yang mulai mencicipi isi toples berupa keripik buatan Wening yang dibawa sebagai oleh-oleh.

Bunda mengangkat dua jempol tangannya. "Enak, Kak. Apalagi yang bumbu rujak, seger, cuman agak lengket aja."

Wening menghela napas. "Iya, aku masih trial error yang versi itu."

"Senang menjalankan usaha?"

"Senang, dong!" Wening menyahut cepat dengan sengirannya. "Bisa megang uang sendiri, hehe."

"Alhamdulillah. Semoga makin berkembang." Bunda mengusap kepala Wening dengan tangannya yang bersih.

"Aamiin." Wening mengusap wajah. Setelahnya, dia teringat hal yang tadi mengganggunya. "Jadi, si Ragil ke masjid bareng temannya? Ada gitu anak cowok seumuran dia?" Seingat Wening Ragil adalah anak tertampan di rukunnya, karena memang hanya dia satu-satunya laki-laki berusia sembilan tahun. Yang seangkatan Ragil perempuan semua. Itu alasannya kalau mau main dengan teman cowok, Ragil harus ke dusun tetangga.

"Kejauhan, sih, umurnya kalau dikatain teman. Dia lebih ke kakaknya Ragil. Kakak angkat yang mau jadi kakak ipar."

"Hah?" Mulut Wening menganga. "Kak Tio? Ragil main sama dia?"

"Iya. Ragil tuh lengket banget ke Tio. Kalau Tio pulang cepat atau libur, udah aja Ragil nempelin dia. Tapi Tio tuh nggak pernah ngeluh. Bunda sampai nggak enak dan sempat melarang Ragil ketemu dia. Eh. malah disusulin ke sini. Jadi, ya, gitulah adikmu menemukan kakak baru pengganti kamu."

"Lha, nggak bisa gitu!" Wening menjerit. Meski dia tak akur dengan sang adik, tetapi dia tak rela jika ada yang seenaknya menggantikan tempatnya. Dulu saat Ragil bilang tak lagi butuh THR darinya karena ada Tio saja Wening sudah cemburu, apalagi sekarang setelah mengetahui kedekatan mereka. Wening jadi kesal pada Tio.

Bunda terkekeh. "Kamu tetap jadi kakak tersayangnya Ragil, kok. Tio nggak akan bisa membuat Ragil melupakan kamu sepenuhnya. Tio hanya mengisi kekosongan saat kamu lagi jauh."

Wening bangkit dari duduknya.

"Mau ke mana, Kak?" Bunda heran kala melihat Wening yang tergesa-gesa menurunkan sandal dari rak sepatu.

"Nungguin Ragil," sahutnya dilengkapi salam sebelum melesat ke arah masjid.

Dengan kekuatan cemburu yang menggebu, Wening sanggup duduk sendirian di pondok dekat masjid meski dikerubungi nyamuk. Matanya awas memperhatikan lawang masjid. Andai sedang tak halangan, Wening pasti sudah menyerbu ke dalam sana. Namun, kini yang bisa dia lakukan hanya menunggu, bersiap merebut Ragil sebelum makin terjatuh dalam pesona sang calon suami, eh calon mantan, eh ....

"Argh!" Wening mengacak kerudung. Apalah statusnya dengan Tio, yang jelas dia sebal.

Tak lama terdengar salawat khas pengiring salaman, tanda Tarawih sudah selesai. Wening bangkit, siap mengambil ancang-ancang. Namun, belum satu langkah dia lakukan, Wening mematung, lalu berjongkok. Dilihatnya Tio yang merangkul Ragil sambil tertawa.

Wening menelan ludahnya. Selama menjadi kakak, jarang sekali Wening melihat raut segembira itu di wajah Ragil. Akhirnya setelah mereka menjauh, Wening pun memutuskan membuntuti mereka.

"Iya Kak Wening ...."

Wening menajamkan telinganya saat samar-samar mendengar namanya disebut. Namun, saat menyadari langkah mereka terhenti di dekat rumah Tio, Wening hendak bersembunyi. Namun, naas, Wening malah tersandung rok sendiri dan terjatuh sambil mengaduh.

"Kakak?" Ragil menyadari suara sang kakak, lantas mendekatinya. "Sakit?"

Wening menggeleng. Cepat-cepat bangkit. "Kakak oke."

Tanpa aba-aba Ragil menyelipkan jemari kecilnya di lekukan sikut Wening. "Ayo pulang." Sebelum menjauh, Ragil melambai pada Tio yang sejak tadi terdiam menonton.

"Nggak jadi main sama dia?" tanya Wening menekan egonya, sampai rela terlihat kepo.

"Aku libur dulu main sama Kak Tio."

"Kenapa?"

"Kan ada Kakak." Saat mengatakan itu Ragil menunduk.

Wening bisa melihat telinga adiknya memerah. Ragil malu terlihat perhatian pada Wening?

Wening tersenyum. "Makanya, lupakan aja dia. Kakak akan jadi kakak yang lebih baik mulai sekarang."

Namun, Ragil malah menggeleng cepat. "Aku tetap mau Kak Tio jadi kakakku. Kakak kalau mau boleh kok barengan aku jadi adiknya Kak Tio. Soalnya Kak Tio juga bilang sayang Kakak."

Bola mata Wening melebar. Apa saja yang sudah Tio jejalkan ke kepala adiknya?

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now