26. Love Language

1 0 0
                                    


"Masuk, Sayang."

Tifanny terkesiap karena rangkulan Fadil. Dia mengangguk, mengikuti langkah suaminya untuk memasuki rumah. "Semoga Kak Tio dapat kabar baik, ya."

Fadil mengangguk. "Aamiin. Kasihan dia, udah bucin kayaknya ke sahabatmu."

Tifanny terkekeh. "Mas mau langsung tidur?"

Fadil malah menghentikan langkah, tepat di depan pintu kamar. "Kita bicara sebentar, ya."

Kening Tifanny berkerut. "Perlu Fanny buatkan minum untuk teman ngobrol?"

Fadil berdecak. "Sayang masih penyembuhan. Sudah, ayo langsung ke kasur saja."

"Eh?" Tifanny terkesiap ketika dipangku Fadil sampai didudukkan di bibir ranjang. "Mas mau bahas apa?"

Fadil mengunci kamar, lalu duduk bersila di hadapan Tifanny. Tangannya terulur mengambil jemari Tifanny untuk diusap lembut. "Tentang anak."

Tifanny menelan ludah susah. Pikiran negatifnya bercabang. "Mas mau menceraikan Fanny? Atau mau poligami?"

"Astaghfirullah, Tifanny!" Fadil berseru keras. Diremasnya tangan Tifanny. "Apa yang Fanny bicarakan?! Itu sama sekali nggak ada dalam pikiran Mas. Mas hanya mau Fanny dalam pernikahan ini. Hanya itu."

Tifanny tergemap. Dia tak terbiasa dengan nada Fadil yang menanjak. Sebab, selama ini dia selalu mendapat kelembutan dari sang suami. Namun, Tifanny sadar, dia yang memancing sendiri. "Tapi Fanny belum bisa ngasih Mas anak."

Fadil mengusap wajah sebentar sambil beristighfar beberapa kali. Membicarakan perkara krusial seperti ini harus dengan ketenangan. Terlebih istrinya itu teramat polos, tetapi menggemaskan.

"Itu yang mau Mas bahas." Fadil membuka kembali suara setelah merasa lebih dingin. "Maaf sebelumnya, tapi tadi Mas tak sengaja mendengar obrolan Fanny dengan Wening dan bundanya. Mas nggak sengaja nguping, ya. Tadi hanya tak sengaja mendengar saat lewat."

Tifanny mengangguk. "Jadi?" Nadanya kembali lembut. Tak parau. Dia tak seemosional sebelumnya.

Fadil menghirup napas dalam-dalam. "Tentang ketakutan Fanny yang belum bisa melahirkan anak, tolong hilangkan, ya. Anak memang salah satu hal yang diharapkan dalam pernikahan, bisa menjadi pelengkap hubungan. Namun, alasan Mas menikahi Fanny bukan hanya karena anak."

"Jadi, karena?"

Fadil tersenyum. Tangannya naik mengusap pipi Tifanny. "Karena Fanny. Mas mau hidup bersama Fanny. Fanny yang terpenting untuk Mas. Terlepas dari akan ada atau tidaknya anak, itu bukan yang utama untuk Mas. Fanny yang utama, kesediaan Fanny untuk selalu berada di sisi Mas yang Mas inginkan."

Tifanny menunduk. "Tapi Mas sering menyebut Fanny 'madrasah anak-anakku'. Itu artinya Mas sudah sangat ingin punya anak, kan?"

"Itu doa, Sayang. Bukan paksaan. Mas memang ingin punya anak. Namun, bukan berarti Mas memaksa harus ada, apalagi secepatnya. Nggak, Sayang, Mas nggak seperti itu." Fadil menangkup wajah Tifanny dengan kedua tangan, lantas mencium keningnya. "Niat Mas sering mengatakan itu adalah untuk berdoa, mendoakan Fanny agar suatu saat Allah ridai untuk menjadi ibu dari anak-anak, Mas."

Tifanny tergugu. Dengan air mata yang membasahi pipi, dia jatuh dalam pelukan Fadil. "Maaf karena Fanny salah mengira."

Fadil mengusap belakang kepala Tifanny. "Mas juga salah, Sayang. Mas nggak ngasih penjelasan lengkap ke Fanny."

Sesaat keduanya tenggelam dalam keharuan. Sampai beberapa menit kemudian tangis Tifanny reda. Kini keduanya sudah duduk bersisian sambil bersandar pada kepala ranjang.

"Sepertinya kita masih belum saling mengenal kebutuhan love language masing-masing, ya, Sayang." Fadil menyisir rambut Tifanny dengan jari-jari tangannya. Kini Tifanny sudah melepaskan kerudungnya.

"Iya, Mas. Padahal kita nikah udah hampir setahun."

"Itulah kenapa ada yang bilang belajar dalam pernikahan itu seumur hidup. Makin banyak hari yang kita lalui bersama, bisa jadi makin banyak hal yang nggak kita tahu, dan pas tahu sama-sama kaget."

"Jadi, kita mau kenalan ulang, Mas?"

Fadil terkekeh. Tangan kanannya terulur. "Aku Fadil, dan aku suka dengan sentuhan."

Bola mata Tifanny melebar. "Mas!" jeritnya tertahan.

Fadil mengerling. "Serius, Sayang. Love language yang Mas butuhkan itu sentuhan. Mas butuh pegang-pegang dan peluk Sayang. Makin banyak kita lakukan itu, Mas makin bahagia. Fanny nggak keberatan kan dengan itu?"

Awalnya Tifanny bergidik. Pantas saja tangan suaminya itu jarang diam. Namun, kemudian dia menggeleng. "Fanny nyaman, kok. Sebelum Ayah pergi, beliau selalu ngelus Fanny, sebelum tidur, sebelum pergi. Jadi, Fanny merasa menemukan kembali kasih sayang seperti yang Ayah berikan."

Fadil termenung. Dia sempat mengenal mertuanya saat masih kecil. Pria itu sosok yang tegap dengan aura bijaksana. Mertuanya juga sering jadi muazin dan mengajar ngaji anak-anak. Fadil dulu muridnya.

Namun, Fadil segera mengambil alih suasana. Tak mau terlalu kelabu. "Terus, Fanny mau Mas gimanain?"

Tifanny mengulum senyum. Pipinya merona. "Fanny hanya mau Mas banyak bicara."

"Hah? Selama ini emang Mas pendiam?"

Tifanny menggeleng-geleng. "Ndak. Bukan begitu maksud Fanny. Mas selalu bicara, kok. Tapi kadang-kadang pakai kalimat yang implisit. Fanny ndak selalu bisa memahami kalimat seperti itu. Jadinya malah nebak-nebak dan over thinking sendiri. Jadi, Fanny berharap Mas kalau bicara itu lebih jelas, lebih detail, biar Fanny lebih tenang."

Fadil tergelak. "Ah, oke! Tapi ...."

Alis Tifanny bertaut. "Apa, Mas?"

"Sekarang sudah malam, bukan waktunya memenuhi kebutuhan love language Fanny. Skip dulu bicaranya." Fadil seenaknya mengubah posisi Tifanny menjadi telentang. "Ini udah waktunya memenuhi kebutuhan love language Mas. Mari pelukan!"

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now