19. Menengok

0 0 0
                                    

"Aaa!" Wening menjerit merasakan sesuatu berbulu di dekat kakinya. Begitu menyadari bahwa itu adalah anak kucing dia berjinjit dengan tangan berpegangan pada wastafel.

"Ada apa, Kak?" Bunda datang tergopoh-gopoh ke dapur.

Wening bergidik dengan mata setengah tertutup. "Kucing, Bun!" Tangannya mengarah ke bawah gamisnya yang digesek-gesek si anabul.

Bunda menggeleng-geleng, lantas mengambil kucing dalam gendongannya. "Tio udah ngabarin kapan kucingnya mau diambil?"

Wening menggeleng. Dia tak pernah lagi berkirim pesan dengan pemuda itu semenjak Tifanny menikah. Dulu pun berkirim pesan hanya sebatas menanyakan saat Tifanny tak bisa dihubungi. Wening bahkan tak ingat sudah memindahkan nomor Tio ke HP barunya atau belum.

"Tifanny sakitnya parah, ya, sampai harus dibawa ke rumah sakit?" Bunda kembali bertanya setelah agak menjauh dari Wening. Kini dia duduk di bangku dekat pintu belakang sembari membelai kepala kucing.

"Belum tahu, Bun. Tapi semoga aja, nggak. Nanti habis Dhuha aku mau ke nengok ke rumah sakit. Bunda mau ikut?" Wening mencuci tangan, siap melanjutkan acara memasaknya.

Bunda tampak menghela napas. "Sebenarnya mau. Bunda khawatir banget sama dia. Tapi Bunda telanjur punya janji mau ketemu teman."

"Iya, nggak apa-apa, Bun. Nanti aku berangkat sendiri aja naik ojek." Wening memasukkan sayuran ke dalam panci berisi air mendidih. Pagi itu dia berniat membuat sop ayam sesuai request pangeran kecil, Ragil.

"Pake mobil aja," sela Bunda. "Ayah ke kantornya mau pake motor, kok."

"Bunda? Mau berangkat naik apa ke tempat temannya?"

"Dijemput teman. Kamu bawa aja mobil, siapa tahu Tiffany bisa pulang hari ini, biar nggak repot nyari transport."

"Siap, Bun!" Wening menjawab tergesa di tengah ketegangan memasukkan lauk pindang ke wajan berisi minyak panas. Kalau yang ini sesuai request hatinya, makanan favorit Wening, pindang tongkol goreng.

"Eh, kata Ragil kamu mau ngantar kucing ini ke tempat penangkaran yang dibuat Tio?"

"Iya." Wening berbalik menuju meja untuk membuat susu. Jika sudah di dapur dia memang tak bisa diam. Sigap membuat banyak hal dalam satu waktu. Wening senang memasak, maka selama di rumah dia melarang Bunda bertempur di dapur, karena dia yang mengambil alih semuanya.

"Mau naik mobil? Bertiga?"

"Hehe." Wening menghentikan sejenak adukannya. "Boleh, kan?"

Bunda terkekeh melihat Wening yang kikuk. Sesuatu yang tak biasa. Mengingat Wening adalah sosok blak-blakan dan kadang tak tahu malu. Bunda menyadari ada sesuatu yang berubah di hati Wening. "Jadi, kamu mau menerima Nak Tio?"

"Mungkin. Duh, Bun, tolong nanti aja interogasinya. Masakanku bisa kacau."

Bunda makin tertawa. Dia bangkit dan berjalan meninggalkan dapur. "Latihan memasak untuk suami, ya, Kak."

"Bunda ...."

***

Pukul delapan Wening tiba di pelataran rumah sakit yang kemarin Tio beritahukan sebelum menitipkan kucing. Wening turun dari kursi kemudi. Setelah mengunci mobil, Wening bersiap menuju koridor, tetapi langkahnya terhenti kala melihat sesosok yang dikenalnya terduduk di taman.

Wening memutar arah. Didekatinya seorang laki-laki yang tampak kuyu, menyandarkan tubuh dengan wajah yang tertutup lengan. "Fadil!" panggil Wening setelah berhasil memangkas jarak.

Fadil terkesiap. Dia mengalihkan tangan dan menegakkan tubuh. "Eh, Wening," ucapnya parau setelah beberapa detik mengerjap-kerjap.

"Ngapain di sini? Tifanny udah mau pulang? Sakitnya dia nggak parah, kan?" Wening langsung memberondong. Aneh untuknya melihat sosok suami tak berada di dekat istri yang sedang sakit.

Fadil berdeham. "Dia masih didalam. Pemulihan dari dehidrasi."

Wening mengernyit. "Lha, terus kamu ngapain di sini? Nggak mau nemenin? Apa Tifanny yang nggak mau ditemenin?"

Fadil menghela napas berat. "Kak Tio yang nggak ngasih izin. Aku dilarang mendekati Tiffany."

"Lha? Kamu kan suaminya? Halal dekat-dekat, dong."

"Tapi perilakuku kayak suami baik."

Wening memicing. "Kamu KDRT Tifanny? Apa selingkuh?" Kakinya mengentak.

"Aku ... nggak memperhatikan keadaan Tifanny yang nggak bagus karena lagi haid. Kemarin-kemarin fokusku ke ibuku. Aku jadi kelewatan nyuruh-nyuruh Tifanny buat bantu ngurus."

"Brengsek!" Wening kelepasan mengumpat. "Jadi cowok tuh yang tahu diri. Kalau udah nikah keluarga kamu bukan lagi hanya orang tua atau adik kamu, tapi ya istri kamu. Perhatian kamu harus adil buat semuanya. Kalau belum siap bagi-bagi jangan nikah! Terus aja jadi anak mama!"

Wening memalingkan muka. Kesal sekali. Membayangkan Tifanny dengan tubuh ringkihnya harus disuruh ke sana-sini, tanpa mendapat perhatian sungguh menjengkelkan.

"Tapi, aku nggak mau pisah sama Tifanny." Fadil menangkup tangan di dada. "Kamu boleh mengarah aku. Tapi tolong bantu aku buat bujuk Kak Tio. Bilangin sama Kak Tio, aku rela dihajar lagi asal bisa ketemu Tifanny. Aku mau minta maaf dan memperbaiki keadaan."

Wening mengepalkan tangan. Ingin kembali mengumpati Fadil yang tak tahu malu. Namun, saat melihat wajah Fadil yang bonyok, Wening sadar Fadil sudah menerima hukuman. Wening pikir jika kekerasannya sudah dilakukan, bukankah saatnya melakukan kelembutan? Bicara? Menyatakan maaf?

Wening berbalik. "Aku coba tanya Tifanny dulu. Berdoa saja semoga istrimu masih lembut."

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now