21. Ungkapan Tifanny

0 0 0
                                    

Senyum Fadil merekah. "Terima kasih, Wening, Kak Tio." Setelah mengangguk santun pada sang ipar, Fadil langsung ngacir.

Tanpa menunggu balasan dari mereka berdua, Fadil kemudian masuk dengan hati cukup bergetar. Pria itu tidak bohong, hatinya ikut tersayat tatkala melihat tubuh ringkih istrinya terduduk lemah di atas brankar. Air mata yang sedari malam ia tahan, pada akhirnya juga jatuh tanpa aba-aba.

"Assalamualaikum, Sayang," sapa Fadil ketika telah menutup pintu. Ia duduk di samping Tifanny, memandang istrinya dengan pipi yang basah. Meskipun terlihat cengeng, tetapi Fadil hanya ingin mengeluarkan kelegaannya bisa bertemu kembali.

Bahagia bisa kembali melihat sang suami, Tifanny tersenyum hangat. Ia mengambil tangan kanan Fadil yang terulur, lalu menciumnya dengan khidmat. "Waalaikumsalam, Mas Sayang."

"Sayang, kamu ... nggak marah?"

Di tengah matanya yang turut berkaca, Tifanny berpura-pura manyun. "Aku marah sama Mas. Kenapa ndak ngotot ke Kak Tio buat bisa ketemu?"

Tanpa aba-aba, Fadil merengkuh Tifanny. Tak terlalu erat karena dia takut tubuh istrinya masih kesakitan. "Maaf. Maafkan kelalaian Mas. Mas nggak bermaksud buat nyiksa Fanny apalagi sampai sakit seperti ini."

Sesaat keduanya larut dalam temu penuh kerinduan yang disertai sedikit derai air mata. Mereka memang hanya tak bertemu beberapa jam. Namun, karena masalah yang membentengi, rasanya jadi begitu lama dan memupuk rindu.

Beberapa saat kemudian barulah mereka mengurai pelukan sambil saling mengusap bulir di wajah satu sama lain.

"Jangan tinggalin aku, ya. Aku nggak siap pisah sama kamu." Fadil memecah keheningan masih dengan suara sendu.

"Astaghfirullah, Mas. Siapa yang bilang kalau kita mau pisah?" Mata Tifanny yang sembab berusaha melebar.

Fadil terdiam. Dia hanya memandang intesn Tifanny.

Tifanny melanjutkan ucapannya. "Mas Fadil cuman lalai sesaat. Lagian Fanny juga salah karena kemarin ndak introspeksi dengan keadaan Fanny yang masih belum mampu buat melakukan semuanya sendiri. Fanny paham posisi Mas Fadil saat itu."

Fadil mengembuskan napas lega. "Apa pun itu, Mas minta maaf. Mas nggak mau pisah sama Fanny. Tolong jangan tinggalin Mas, ya? Mas akan berusaha memperbaiki semuanya."

"Ya Allah, Mas, Fanny ndak akan ninggalin Mas Fadil, kok. Tifanny maafkan kesalahan Mas kemarin. Sekarang, kita perbaiki semuanya sama-sama, ya. Jadikan semua ini pelajaran. Mungkin di Ramadhan pertama kita bersama ini Allah ingin menguji keimanan kita dalam pernikahan. Semoga saja kita bisa melewati ujian-ujian yang Allah berikan dengan baik."

Fadil mengangguk. Ia benar-benar bersyukur mendapatkan Tifanny yang pemikirannya dewasa dan bisa memaknai semuanya dengan baik. "Jadi, gimana keadaan kamu? Apa yang sakit?" Fadil membantu Tifanny kembali bersandar.

"Alhamdulillah. Sudah membaik. Apalagi karena Mas Fadil sudah ada di sini. Mas Fadil nunggu aku di mana? Kak Tio ngusir Mas sampai mana?"

Fadil tak mau mengungkit lagi sikap Tio. Dia paham itu karena salahnya sendiri. "Semalam Mas nunggu di masjid. Terus tadi ke taman, sampai ketemu Wening."

"Mas puasa?"

Fadil mengangguk. "Iya."

"Kemarin buka di mana? Terus tadi sahur?"

"Mas semalam cuma batal pakai air putih. Tadi nggak makan."

Tifanny terkesiap. "Eh, kok ndak makan? Mas ndak apa-apa? Kuat?"

"Selagi Tifanny nggak makan, Mas juga nggak akan makan."

"Tapi, Mas ...."

"Biarkan, Fan. Ini hukuman buat Mas. Ini nggak sebanding dengan rasa sakit yang Fanny alami sekarang. InsyaAllah Mas tahan kok sampai buka nanti," potong Fadil sambil tersenyum.

Tiba-tiba seorang perawat masuk dengan membawa nampan berisi makanan. "Makan dulu, ya, Mbak," ucapnya sembari mendekati Tifanny.

"Apa boleh saya saja yang menyuapi?" Fadil bertanya.

Perawat itu mengagguk, lantas menyimpan nampan di meja.

"Terima kasih, ya, Mbak," ucap Tifanny setelah perawat itu selesai memberikan intruksi meminum obat.

Setelah itu, perawat pun pergi.

"Mas ngambil nampan cepat-cepat kayak takut diambil orang lain aja." Tifanny tertawa kecil.

Fadil mengedikkan bahu. "Biarin aja. Biar mbaknya cepat-cepat ke luar." Demi berduaan dengan istri tercinta dia rela melakukan apa saja. Meski harus sambil membuang malunya.

"Ngusir dong?"

Fadil hanya tersenyum. "Aaaa!" Tangannya yang sudah menyendok bubur terarah ke bibir Tifanny.

Dengan senang hati Tifanny menerima suapan dari suaminya itu. Ia memakan makanan itu dengan semangat. Sampai Tifanny tersadar, ada yang aneh di wajah Fadil pagi ini.

"Itu ... wajah Mas Fadil kenapa?"

Fadil mengusap bagian yang Tifanny tunjuk. "Tanda kasih dari Kak Tio."

Bola mata Tifanny melebar. "Kak Tio menghajar Mas?"

Fadil melanjutkan suapan pada Tifanny. "Cuman ngasih bogeman sekali."

Tifanny meringis. "Sakit?"

"Ini nggak apa-apa. Udah, ya, jangan dibahas lagi. Apalagi depan Kak Tio. Lupakan aja. Kasihan dia, barusan kena semprot Wening sampai nunduk dalam." Di ujungnya Fadil agak tersenyum geli. Kasihan sekaligus lucu. Tio itu orangnya agak kaku, melihatnya lemas karena perempuan sungguh tak biasa.

Tifanny terkekeh. "Wening emang cocok jadi pawang Kak Tio."

Mengejar Lentera 2Där berättelser lever. Upptäck nu