20. Wening Mendengarkan

1 0 0
                                    

"Assalamualaikum." Wening membuat fokus dua saudara teralihkan. Tifanny langsung menyambut dengan hangat, begitupun dengan Tio.

"Ada Wening, Kakak ke luar, ya? Kalau butuh apa-apa, panggil Kakak," pesan Tio sembari mengelus kepala sang adik dengan lembut. Setelah mendapat anggukan dari sang adik, Tio segera keluar dari ruang tersebut dan mempersilakan kedua sahabat itu mengobrol lebih dekat.

"Tifanny, maaf aku baru sempat ke sini, ya. Soalnya ribet banget sama si Ragil. Dia tuh .... Ah, maaf. Jadi, gimana keadaan kamu? Apa yang sakit?"

Tifanny mengulas senyum. "Ndak apa-apa, Wening. Kamu hadir sekarang pun sudah cukup buat hatiku senang. Lagi pula aku ndak sakit parah, hanya dehidrasi."

"Alhamdulillah." Wening balas tersenyum sembari duduk di kursi sebelah ranjang dan menyimpan sekeranjang buah di meja terdekat. "Ini dari Bunda, beliau titip maaf belum bisa nengok kamu."

"Makasih, ya. Padahal ndak perlu repot-repot, hari ini juga aku akan pulang." Setelahnya Tifanny terdiam.
Raut wajahnya sendu.

"Kangen suami?" celetuk Wening dengan mata mengerling.

Tifanny tergemap, mimiknya kikuk. "Aku ndak tahu dia di mana. Jadi, khawatir."

Wening terkekeh. "Aku tadi nemu dia di taman, kek bocah ilang. Ternyata lagi kehilangan kedekatan dengan istri tercinta."

"Wening!" Tifanny tersipu, tetapi tak menghilangkan kekhawatirannya. "Tapi dia baik-baik aja, kan?"

Wening mengedikkan bahu. "Dia kelihatan kucel. Tapi siapa suruh jadi brengsek. Bisa-bisanya dia lalai memperhatikan kamu yang kondisinya belum terlalu normal."

Mendengar itu, Tifanny menunduk. Perempuan itu sudah menduga bahwa Wening akan marah ketika tahu apa yang tejadi padanya, sama seperti reaksi Kak Tio semalam. Kakaknya itu bahkan sampai melarang Tifanny bertemu suaminya.

"Fan?" Wening menjentikkan jari.

"Eh? Maaf aku ndak fokus."

Wening menghela napas. "Aku emang kesal sama Fadil. Tapi aku nggak berhak ikut memisahkan kamu dari dia. Aku cuman bisa jadi pendengar. Tadi aku udah mendengarkan cerita dia. Kalau sekarang kamu mau cerita juga boleh. Siapa tahu aku bisa bantu kalian."

Tifanny menatap dalam Wening. "Aku akui kali ini Mas Fadil memang lalai menjagaku. Ia lebih memprioritaskan ibunya daripada aku, isterinya. Namun, dia ndak sengaja mau menyakitiku. Mas Fadil cuman punya trauma karena dulu ibunya pernah sakit parah yang sampai udah kayak ndak akan bangun lagi. Jadi, Mas Fadil takut kehilangan ibunya. Aku paham posisi dia, karena aku pernah mengalaminya."

Tifanny mengusap sudut mata yang berair. "Maka, kubiarkan dia fokus sama Ibu. Lagipula, kemarin aku juga yang menawarkan sendiri untuk melakukan segala kegiatan di rumah. Karena kupikir, dengan itu aku bisa melatih kakiku yang masih dalam pemulihan. Namun ..., nyatanya tubuhku belum siap. Aku ndak bisa kelelahan, ditambah lagi haid, dan ndak nafsu makan. Sehingga, hampir dua hari aku ndak makan nasi tanpa sepengetahuan Mas Fadil."

"Tapi ibu mertua kamu baik, kan? Maksudku dia nggak ada nyinyir atau apa gitu? Atau jangan-jangan kemarin dia ikut nyuruh-nyuruh sampai pingsan?"

"Ndak, Wening!" Tifanny menggeleng-geleng. "Alhamdulillah ibu mertuaku baik banget. Dia malah yang perhatian dan sering nyuruh Mas Fadil memperhatikan aku. Cuman kemarin kurang Mas Fadil dengar."

Tifanny meraih tangan Wening. "Aku ndak tahu apa yang sudah Kak Tio lakukan terhadap Mas Fadil, tapi aku ingin sekali bertemu dengannya. Apa ... aku boleh minta tolong sama kamu buat panggil Mas Fadil? Atau bujuk Kak Tio biar kita berdua bisa diizinkan untuk bertemu?" Matanya memancar penuh harap.

Wening terdiam. Sepasang suami istri memintanya menjadi perantara bertemu, dan untuk itu dia harus menghadapi calon suaminya sendiri? Gimana caranya bikin Tio luluh?

"Wen? Kamu mau bantu, kan?" Tifanny menggoyangkan tangan Wening

Wening menarik napas. "Aku coba telpon, deh."

•••

Suara ribut menghentikan gerakan Wening yang sedang membantu Tifanny membenahi bantal. "Kayaknya itu suamimu."

"Iya kayaknya," sahut Tifanny yang kini sudah duduk bersandar. Dia pegal terlalu lama berbaring. "Tolong banget, ya, Wen."

Wening membenahi tasnya. "Aku sekalian nunggu di luar, ya."

"Kamu nggak boleh masuk!"

Begitu tiba di ambang pintu, Wening melihat Tio yang sedang menghadang Fadil.

"Tapi Tifanny manggil aku, Kak," balas Fadil lemah.

"Kapan? Lewat apa?" Tio meraba-raba saku celananya. Memastikan ponsel sang adik masih ada padanya.

"Barusan." Wening langsung nimbrung.

Dua lelaki itu memandangnya. Fadil penuh harap. Tio agak sengit.

"Tifanny yang minta tolong dipertemukan. Aku rasa, mereka memang perlu ngobrol buat meluruskan segalanya. Mau bagaimanapun, Fadil ini suaminya. Tifanny juga masih tanggung jawabnya, kan? Lagi pula Tifanny nggak ujug-ujug benci suaminya karena masalah ini."

"Tapi ...." Tio masih mengeraskan wajah.

Namun, Wening tak gentar. Mengabaikan urusannya tentang lamaran, Wening memilih memasang tatapan tajam pada Tio. Dia tahu pemuda itu sangat menyayangi adiknya. Namun, bukan berarti itu bisa membuat Tio terlalu posesif. "Kakak harus menghargai privasi mereka. Kakak memang harus menjaga Tifanny. Namun, bukan berarti Kakak bisa menjadi pengendali semuanya. Maaf jika aku yang orang luar jadi ikut campur urusan keluarga ini. Namun, jika semuanya main panas, mau gimana selesainya?"

Tio mengusap wajah dengan lirihan istigfar. Dia bergeser, memberi jalan untuk Fadil, lantas terduduk di kursi tunggu dengan kepala tertunduk.

Wening berdecak melihat Fadil yang malah bengong. "Nggak masuk sekarang, nggak usah ketemu selamanya," geramnya dengan tangan terkepal menahan gemas. Dasar pasangan muda!

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang