13. Alasan Tio

0 0 0
                                    

"Gimana, Kak?" Tifanny memandang intens Tio yang sedang menyuap kupat tahu. Makanan berisi potongan ketupat yang disiram bumbu kacang dan dilengkapi potongan tahu Sumedang, tauge, dan kerupuk.

Tio mengangkat dua jempol tangannya. "Mantap. Jadi pengin sering makan ini."

Tifanny mengulum senyum. "Apa itu alasan Kakak melamar Wening?"

"Uhuk!" Tio tersedak.

Tifanny gelagapan, cepat menuang air dan menyodorkannya pada sang kakak. "Maaf bikin kaget, ya, Kak," ucapnya merasa bersalah.

Tio berdeham beberapa kali sembari menepuk dada. Setelah merasa lebih tenang, dia menyandarkan punggung. "Enggak apa-apa, Dek."

Fadil yang sedari tadi memperhatikan interaksi kakak beradik itu, akhirnya ikut bersuara. "Makanya ngajak ngobrolnya nanti, setelah selesai makan."

"Maaf." Tifanny menunduk.

Fadil mengusap punggung Tifanny. "Udah, ayo lanjut makannya, sayang."

"Uhuk!" Tio menutup mulutnya.

Tifanny panik mendengar Tio kembali terbatuk. "Duh, parah sakitnya, ya, Kak? Mau ke dokter aja?"

Tio berdecak. "Tolong, ya, jangan bermesraan di depan singelillah."

"Hah?" Tifanny bingung.

"Ada yang mupeng, Sayang." Fadil terkekeh. "Makanya segera halalin, Kakak Ipar."

Tio mendengkus.

***

Beberapa menit kemudian acara makan buka selesai. Tifanny dan Tio berjalan beriringan dengan tangan bergandengan menuju ruang keluarga, mumpung mudik Tifanny ingin bermanja dengan sang kakak. Sementara Fadil pergi ke kamar untuk menerima panggilan dari adiknya.

"Jadi?"

Tio mengernyit mendengar kata pertama yang Tifanny katakan begitu duduk di sofa.

"Tentang lamaran. Kakak masih belum nyerita ada apa sampai Kakak melakukan lamaran tiba-tiba? Pasti ada sesuatu yang nggak aku ketahui selama di Kalimantan, kan?"

Tio memandang sang adik yang begitu dirindukannya. Diusapnya kepala Tifanny. "Nggak ada kejadian apa-apa. Selama kamu di Kalimantan, Kakak baik-baik saja. Meski memang Kakak ngerasa kehilangan, tapi Kakak senang kamu sudah menemukan pasangan."

"Terima kasih sudah menjadi Kakak terbaik," ucap Tifanny setelah hening melanda cukup lama karena Tio tak melanjutkan bicara. Mata Tifanny berkaca-kaca. Namun, segera di mengusapnya. Sekarang bukan waktunya mellow tentang itu. "Tapi Kakak belum jawab pertanyaan utamanya."

Tio menyengir, rencananya untuk mengalihkan gagal. Kalau sudah begini, dia harus memenuhi rasa penasaran sang adik. "Kakak melamar karena sudah merasa butuh menikah. Kakak butuh orang yang akan menemani hari-hari, yang mau diperhatikan dan memperhatikan Kakak."

Tio menghela napas. "Kamu tahu Kakak kan selalu ingin membagikan apa yang Kakak punya, mau itu pengalaman atau benda, Kakak terbiasa membaginya dengan kamu. Namun, setelah kamu dibawa suami, Kakak nggak bisa lagi melakukan itu. Bagaimanapun kamu sudah punya kehidupan kamu sendiri. Lalu Kakak sadar, bahwa sudah saatnya Kakak mencari orang yang mau melakukan timbal balik perhatian selamanya, dan itu hanya bisa dilakukan dengan pasangan."

"Tapi ... kenapa Wening? Dia melakukan sesuatu yang menarik Kakak?"

Tio menggeleng. "Setelah kamu ke Kalimantan, Kakak nggak ada ketemu sama Wening karena dia juga udah ke tempat kuliahnya lagi. Eh, beberapa hari lalu ketemu, deh, pas dia pulang. Tapi, intinya Kakak nggak ada interaksi langsung sama dia."

"Kakak malah seringnya ketemu adiknya, si Ragil. Dia kalau Kakak antar pesanan ke ibunya suka terus ngintil, main di sini sampai Isya sambil nyeritain kekesalan atau kerinduan dia sama Wening. Kakak jadi tahu banyak hal tentang Wening. Sampai akhirnya kebawa hati, kepengin ... jadi bagian hidupnya." Di akhir kalimatnya suara Tio merendah. Telinganya memerah.

Tifanny tertawa. "Ciee .... Ternyata diam-diam Kakak jadiin Ragil mak comblang."

Tio hanya bisa meringis.

"Terus-terus, gimana reaksi keluarga Wening? Ya, meski tadi aku udah punya tebakan pas ke sana, sih. Tapi aku tetap penasaran cerita dari sudut Kakak. Menurut Kakak mereka welcome?"

"Alhamdulillah, karena kan emang udah kenal lama juga, orang tua kita temenan sama mereka, kamu sama Wening malah sahabatan. Kalau lebaran biasa juga ngumpul di sana. Jadi, ya, mereka menyambut aku dengan baik. Ayahnya juga kayak udah ngasih lampu hijau, tapi karena keputusannya tetap di Wening, aku cuman bisa nunggu."

Tifanny menelengkan kepala, lalu berbisik, "Alot, sih, kayaknya, Kak."

Tio mengernyit. "Apanya?"

"Meyakinkan Wening. Dia sampai tadi masih bimbang. Dia punya banyak ketakutan, nggak siap dengan konsekuensi ribet urus rumah tangga apalagi anak."

Tio tertegun. "Iyakah? Jadi, dia bakal nolak aku?"

"Belum tentu juga. Aku tahu dia pernah bucin ke Kakak. Sekarang dia cuman lagi nyari alasan yang kuat aja buat menerima. Dia perlu mengatasi ketakutannya. Jadi, menurutku Kakak coba susun proposal rencana pembangunan rumah tangga, deh. Buat konsep tentang apa yang diinginkan dari istri, yang akan dibebaskan, dan yang akan dilarang. Jangan lupa kasih bahas tentang kelanjutan posisi masing-masing sekarang, Kakak dengan pekerjaan ke depan mau digimanakan, terus kuliah Wening mau gimana. Nanti, aku yang akan jadi perantara."

Tio manggut-manggut. "Siap. Makasih, Dek."

"Kita harus ke rumah Ayah sekarang, Fanny." Fadil menginterupsi.

Tifanny tergemap melihat pergerakan Fadil yang terburu-buru. "Eh, kenapa, Mas?"

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now