8. Percakapan Fadil dan Tifanny

0 0 0
                                    

"Mas berangkat, ya. Kalau mau prepare nggak usah capek-capek, nanti kita lakuin sama-sama setelah Mas pulang kerja. Okey?" Fadil telah bersiap dengan baju kerjanya. Menjadi seorang mekanik di salah satu kontraktor tambang, membuatnya harus pintar membagi waktu. Terlebih ketika dirinya diminta berganti shif malam secara mendadak, mau tak mau ia harus meninggalkan Tifanny seorang diri.

Perempuan dengan kerudung Moca itu mengangguk. "Iya, Mas. Hati-hati, ya." Tifanny menyalami suaminya dengan khidmat.

Akan tetapi, Fadil tak langsung berangkat. Ia justru menatap isterinya dengan heran. "Bentar, Fanny kok agak aneh pagi ini?"

"Aneh? Aneh kenapa emangnya, Mas? Penampilan Fanny ndak menarik, ya? Atau Fanny—"

"Sayang,  bukan itu," potong Fadil cepat.

"Te-terus ...?"

"Kebiasaan Fanny!" Fadil menatap lurus, menelisik wajah isterinya, mencari sesuatu yang ganjal.

"Kebiasa—"

"Biasanya Fanny itu suka cerewet, selalu nanya 'Mas nanti mau dimasakin apa?', 'Nanti bawakan makanan ini, ya.', 'Hari ini lembur nggak?'. Rasanya aneh Fan, kalau Fanny nggak bilang kayak gitu. Ada apa sama Fanny hari ini?" Fadil bertanya-tanya.

Tifanny bengong. Memang, pagi ini ia tidak begitu semangat, apalagi kejadian semalam membuat hatinya benar-benar terusik. Ucapan demi ucapan yang Ranti lontarkan, terus berputar dalam pikirannya. Bahkan, semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkannya.

"Sayang," tegur Fadil lembut. "Fanny masih mikirin yang semalam, ya?"

Perlahan, Tifanny menganggukkan kepala. "Bohong kalau Fanny nggak sakit hati, Mas. Tapi, mungkin aja ini adalah ujian Fanny di bulan Ramadhan. Ujian yang membuat Fanny bisa lebih sabar dan tegar untuk menghadapi segalanya, terutama perkataan orang-orang yang tidak mengenakkan untuk didengar." Senyum manis terbit dari bibir perempuan asal Jawa itu.

"Mas, nggak usah khawatir. Insyaallah Fanny bisa menjalani ini semua dengan baik, kan udah ada Mas Fadil yang setia nemenin Fanny sekarang." Ia berusaha membuat suaminya tenang.

Namun, Fadil tetaplah Fadil. Sebagai seorang suami ia tak akan terima jika separuh jiwanya diperlakukan tak baik oleh orang lain. Terlebih itu adalah fisik. Sedari awal ia menyukai Tifanny, tak sedikit pun kata tak mengenakkan terucap dari bibirnya. Sebisa mungkin ia menjaganya, karena Fadil tahu bibir seorang manusia amatlah berbisa jika kita tidak bisa dikendalikan dengan baik.

Tertunduk. Fadil memalingkan wajahnya sejenak, berusaha menetralkan perasaannya yang begitu gemuruh sedari semalam. Sebentar, ia mengambil napas lalu dihembuskannya. Mengucapkan istighfar, lalu kembali menatap isteri terbaiknya.

"Fan, dengerin Mas Fadil baik-baik, ya? Nggak ada perempuan di dunia ini yang sempurna, sekalipun dia sempurna perihal fisik, percayalah akan ada cacat di sisi lainnya. Sedari awal, Mas nggak pernah mempermasalahkan apa pun kekurangan Fanny. Kalaupun itu terjadi, bisa jadi sekarang kita bukanlah sepasang suami isteri."

Fadil meraih kedua tangan isterinya dengan lembut, lalu melanjutkan ucapannya. "Mas menikahi Fanny karena kita mempunyai tujuan yang sama, punya visi misi yang sejalan. Karena Mas yakin, bersama Fanny kita bisa melahirkan keturunan yang insyaallah dapat membantu kita di akhirat kelak. Mas juga pilih Fanny, karena Mas tahu Fanny bisa jadi madrasahnya anak-anak."

Tifanny tersenyum. Bohong jika perempuan itu tidak tersipu dengan perkataan Fadil barusan. Akan tetapi ..., ada  sedikit kalimat yang kembali mengusik hatinya.

"Fan?" panggil suaminya lembut.

"Eh iya, Mas."

"Fanny bengong terus. Apa yang bikin Fanny terusik?"

Banyak, Mas.

Tifanny menggeleng pelan. "Ndak apa, Mas. Kayaknya Fanny kecapean aja, jadi suka bengong kalau Mas Fadil ajak omong. Maaf, ya."

Maaf, Mas. Fanny terpaksa bohong.

"Fanny terlalu semangat belajar jalannya, ya? Sayang, boleh banget kok kalau Fanny semangat untuk sesuatu yang baik, tapi jangan lupa istirahat, ya? Jangan terlalu dipaksain. Nggak baik buat kesehatan kamu, apalagi sekarang lagi puasa, besok udah mau mudik. Simpan energi buat besok-besok, ya?" ujar Fadil sambil mengelus kepala isterinya pelan.

"Iya, Mas. Makasih banyak, ya. Gara-gara Fanny, Mas Fadil jadi telat berangkat kerjanya."

Fadil menggeleng kuat. "Nggak, Sayang, nggak telat kok."

"Jadi, Mas mau dimasakin apa?"

"Jadi, Fanny mau dibeliin takjil apa?"

Mereka mengucapkannya secara serempak. Menyadari hal itu, keduanya tertawa ringan akan tingkah konyol yang mereka ciptakan.

"Ya udah, Mas jawab dulu pertanyaan Fanny. Karena kemarin Fanny udah masakin makanan kesukaan Mas, sekarang waktunya Fanny masakin makanan kesukaan Fanny sendiri."

"Loh, kok gitu? Nanti Mas ndak suka gimana?"

"Fanny aja mau makan makanan kesukaan Mas, masa Mas nggak mau?"

"Ya ... itu kan kebetulan Fanny juga suka, Mas."

"Kebetulan selera kita sama, Fan. Jadi apa pun yang Fanny makan, Mas akan makan juga." Fadil tersenyum.

"Sekarang waktunya Fanny jawab pertanyaan Mas Fadil. Em ... di dekat tempat kerja Mas ada jualan donat atau brownies, ndak?"

"Hum ... nggak ada sih, Sayang. Tapi, di sana ada toko roti. Fanny mau dibelikan donat sama brownies?"

"Tapi mahal ndak Mas kalau beli di toko? Maksud Fanny itu beli di pedagang kaki lima aja."

"Hahaha. Di Kalimantan nggak ada, Sayang. Ya udah nggak apa mahal, orang untuk kita sendiri juga. Nanti Mas beliin, ya."

"Makasih loh, Mas." Tifanny menampilkan senyum terbaiknya.

"Iya sama-sama, Sayang. Mas berangkat, ya?"

"Iya. Hati-hati di jalan, Mas. Kalau udah sampai jangan lupa kabari, ya. Jangan lupa salat. Kalau lembur kabari Fanny dan jangan lupa donat sama brownies-nya. Hehe." Ini yang Fadil suka, Tifanny yang cerewet.

"Ini baru isteri Mas Fadil, si cerewet tapi suka ngangenin."

"Pagi-pagi dilarang gombal!"

"Nggak apa, gombalin isteri itu dapat pahala. Apalagi pagi-pagi lihat semburat merah di kedua pipinya. Beuh. Manis banget, Ya Allah."

"Mas Fadil, udah!"

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now