24. Obrolan Perempuan

0 0 0
                                    

Tifanny tersenyum ceria tatkala bunda keduanya datang untuk menjenguknya.

"Assalamualaikum." Bunda Wening menyapa lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan Tifanny, sedangkan Wening duduk di sisi kirinya.

Tifanny meraih tangan perempuan itu, kemudian menyalaminya dengan santun. "Waalaikumsalam, Bunda."

"Gimana kabar kamu, Nak? Maaf, ya, Bunda baru sempat jenguk kamu sekarang."

"Ndak apa-apa, Bunda. Kan udah diwakilkan sama Wening, bahkan Wening juga repot-repot antar Tifanny pulang pakai mobilnya," balas Tifanny dengan lembut.

"Plis deh! Aku tuh sahabat kamu, nggak sama sekali merasa direpotkan, kok!" sahut Wening sembari membenahi jilbabnya yang sedikit berantakan.

Tifanny tersenyum. "Kalau gitu, makasih ya."

"Sayang, Mas tunggu di luar, ya?" Tiba-tiba Fadil berucap.

Tifanny hendak menjawab, tetapi sahabatnya ini lebih dulu berbicara.

"Sayang, sayang, giliran udah baikan aja manis-manis! Udah pergi sana nggak usah di sini!" Wening sewot. Tatapan sinisnya ia layangkan pada lelaki itu. Tak suka jika Fadil bersikap manis di depannya.

"Astaghfirullah, Kakak! Kamu kenapa sih? Wajar dong, Fadil kan suaminya Tifanny." Bunda membela.

Wening masih sengit, moodnya makin tak karuan tatkala sang bunda lebih membela Fadil ketimbang anaknya sendiri.

Fadil kemudian berbisik dekat bunda. "Bun, kayaknya Wening butuh orang buat meredakan emosinya, deh. Contohnya Kak Tio."

"Aku masih bisa dengar ya, Fadil!" Wening menyahut.

"Yang bilang kamu nggak bisa dengar siapa? Kan kamu masih punya telinga."

"Fadil!" Kali ini nadanya naik satu oktaf. Ingin rasanya Wening melempar bantal ke wajah lelaki tengil itu, tetapi Fadil sudah lebih dulu keluar dari kamar.

"Wening, puasa." Tifanny mengingatkan sambil tersenyum kecil.

"Tahu nih si Kakak." Bunda ikut menyahut.

"Suamimu itu loh, nyebelin banget!"

"Mas Fadil kan orangnya emang kayak gitu. Kamu kayak ndak tahu aja."

Wening memalingkan wajah. Menyandarkan tubuhnya di ranjang Tifanny. Sesekali gadis itu beristigfar. "Astaghfirullah. Wening anak baik."

Bunda hanya menggelengkan kepala melihat sikap anaknya barusan, bukan suatu hal yang baru. Kemudian, wanita paruh baya itu menatap Tifanny dalam. Anak dari teman akrabnya ini ternyata sudah tumbuh dewasa bersama Wening. Bahkan, tanpa sadar melihat sikap Tifanny dan Wening mengingatkan pertemanan dirinya bersama bunda Tifanny.

Sekarang, Tifanny sudah lebih dulu menikah. Memulai kehidupan baru bersama orang baru, tanpa ditemani kedua orang tuanya. Akan tetapi, tak sedikit pun Bunda melihat kesedihan ataupun keluhan yang keluar dari bibir perempuan bermata sipit ini. Malah, senyumnya selalu merekah di setiap waktu.

"Gimana pernikahan kamu sama Fadil? Kemarin, Bunda dapat cerita dari Wening, katanya sempat renggang ya? Tapi, sekarang udah nggak, kan?" Bunda bertanya. Sesekali ia mengelus kepala Tifanny pelan-pelan.

"Alhamdulillah udah baikan, Bun. Mungkin ini ujian dari Allah untuk awal pernikahan kami. Semoga aja baik Fanny ataupun Mas Fadil bisa mengambil hikmah dari kejadian ini," balas Tifanny.

"Aamiin. Memang, dalam pernikahan itu kita akan diuji habis-habisan. Karena Allah ingin tahu, seberapa jauh keimanan dan keyakinan kalian berdua untuk mempertahankan pernikahan ini. Akankah kalian goyah hanya karena tiupan angin, atau tetap berdiri seperti pohon beringin? Intinya kalau ada masalah itu, jangan lupa sama Allah aja. Kita minta petunjuknya sama yang di atas," ujar Bunda memberikan nasihat.

Tifanny mengangguk tanda paham. Ia senang sekali mendapatkan nasihat-nasihat seperti ini yang belum sempat ia dapatkan dari ibu kandungnya.

"Berarti, usia pernikahan kamu udah hampir setahun ya?" tanya Bunda antusias.

"Iya, hampir setahun. Tapi ... Fanny belum bisa kasih keturunan ke Mas Fadil, Bun. Waktu di Kalimantan kemarin, banyak tetangga yang nyinyir karena Fanny belum bisa kasih anak ke Mas Fadil. Bahkan, mereka juga tega bilang kalau Fanny cuma benalu di kehidupan Mas Fadil." Tifanny menunduk. Ada perasaan sedih yang menyelimuti hati gadis itu.

Wening, yang sedari tadi hanya mendengarkan percakapan sahabatnya bersama Bunda, kini menyahut. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Mulai, deh! Hal-hal nggak penting itu nggak perlu kamu pikirin dalam-dalam. Selagi Fadil nggak nuntut dan maksa kamu, kamu enjoy aja."

"Bunda setuju sama Wening! Fanny tahu nggak, kalau sebenarnya Bunda sama bunda kamu itu nikahnya nggak jauh beda, lho. Cuma beda dua bulan aja," ungkap Bunda berhasil membuat kedua sahabat itu kaget.

"Eh, beneran?" Keduanya kompak berbicara.

Bunda mengangguk yakin. "Tapi, yang punya anak duluan itu bunda kamu dan lahirlah Tio. Baru, dua tahun kemudian Bunda punya anak yang namanya Wening. Bunda kamu juga punya anak dan lahirlah kamu," ujar Bunda sambil menjawil hidung Tifanny dan Wening bergantian.

"Berarti ... jeda dua tahun ya, Bunda?" Tifanny memberanikan diri untuk bertanya.

"Iya! Bunda lebih lambat dapat keturunan. Mungkin karena Allah masih nyuruh Bunda buat pacaran halal dulu sama ayahnya Wening," balas Bunda dengan bangga.

"Ekhem!" Wening pura-pura tersedak.

"Kenapa, Kak? Pengen, ya?" ledek Bunda.

"Bunda apaan, sih!"

"Apa mungkin Fanny juga mengalami hal yang sama seperti Bunda? Mungkin aja Allah belum bisa kasih keturunan sama Fanny karena biar Fanny fokus sama pengobatan dan kuliah Fanny? Karena kan, punya anak itu tanggung jawabnya besar kan, Bun? Boleh jadi ... Allah belum percaya sama Fanny." Tifanny menyadari.

"Bukan belum percaya, lebih kayak ... Allah pengen kasih waktu ke kamu sama Fadil untuk mengenal lebih dalam. Agar, ketika kalian sudah diberi amanah dengan dikaruniai seorang anak, kalian berdua sudah siap." Bunda menggenggam kedua tangan Tifanny. "Tifanny Sayang, kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Bukan karena kekurangan kamu, jadinya nggak bisa punya anak. Percaya deh, cepat atau lambat nanti ada seorang anak yang panggil kamu Bunda."

Tifanny terharu mendengarnya, ia langsung memeluk bunda Wening dengan erat.

Wening, yang berada di sampingnya pun jadi ikut terharu. Sesekali gadis itu mendongak, tak mau air matanya jatuh.

Bunda menguraikan pelukan lebih dulu. "Udah, jangan nangis lagi, ya? Nanti puasanya rusak."

"Makasih banyak ya, Bunda," ujar Tifanny tulus. Bunda mengangguk dan tersenyum.

"Tenang aja, Fan, nanti bakal ada anak yang panggil kamu Bunda, bahkan tiga anak sekaligus!" sahut Wening tanpa beban.

"Kembar tiga maksud kamu, Kak?"

Wening mengangguk. "Namanya Fifin Fafan dan Fofon."

"Nggak gitu juga, Kak!"

"Wening ngawur ih!"

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now