28. Proposal

0 0 0
                                    

"Ini, sandalnya. Ada di pintu samping, kayaknya tadi ada yang pakai, tapi lupa dikembalikan."

Kedua sahabat itu langsung menoleh ke sumber suara, di sana ada Tio yang sudah berdiri dengan baju bagian lengannya digulung seperempat. Keringatnya bercucuran.

Tak mau berbasa-basi, Wening menyahut. "Terima kasih."

Tio mengangguk. "Sama-sama. Saran, lain kali sandalnya dikasih nama aja. Biar nggak tertukar."

"Kakak kenapa keringetan kayak gitu?" celetuk Tifanny.

"Gerah, Dek."

"Gerah? Perasaan, sekarang udaranya adem deh. Malah mau hujan. Kakak ndak lari sambil mengelilingi masjid ini kan?" tebak Tifanny sambil memicingkan matanya pada sang kakak.

Tio agak gelagapan ketika ingin menjawab. Karena pada kenyataannya, ia berkeringat demi mencari sepasang sandal milik Wening. Ia menelisik satu per satu sandal yang berserakan sembarang arah, sampai ditemukanlah sandal Wening di pintu samping.

"Ya ... nggak lah. Buat apa?"

"Ya siapa tahu karena sibuk cari sandal Wening." Tifanny mengangkat bahu.

Emang bener kalau dia cari sandal ini sampai keringatan kayak gitu? Duh, jangan pede deh,  Wen! Siapa tahu aja ini nggak sengaja dilihat sama dia!

"Wen," panggil Tio.

"Hm." Wening menjawab singkat. Ia mengambil peralatan salatnya dan bersiap-siap untuk pulang.

"Ini." Tio menyerahkan beberapa lembar kertas pada Wening. "Proposal pengajuan lamaran. Aku memutuskan untuk melanjutkan lamaran itu."

Wening memandang Tio sekilas. "Maaf, aku nggak bisa lanjut."

Mendengar itu, Tifanny dan Tio saling melempar pandangan. Dari ekspresi Tio, dapat Tifanny tangkap bahwa lelaki itu menaruh harap pada Wening agar membaca proposal yang telah ia buat. Setidaknya, dengan itu mungkin saja Wening bisa mempertimbangkan kembali.

"Em, Wen. Maaf, aku bukan bermaksud ikut campur atau mungkin memaksamu untuk menerima lamaran kakakku. Tapi ... apa kamu nggak mau coba baca dulu isi pengajuannya? Mungkin kamu bisa pikir-pikir lagi. Perihal keputusan, aku akan serahkan sama kamu. Kamu berhak memutuskan dan memilih jalan hidup kamu sendiri. Dan aku, sebagai sahabat kamu cuma bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik buat kamu," ujar Tifanny pelan. Perempuan itu tersenyum di akhir kalimatnya.

Wening termenung sebentar. Apa yang Tifanny ucapkan ada benarnya. Sepertinya tidak akan salah jika dirinya membaca terlebih dahulu isi pengajuan yang telah dibuat Tio.

"Hem. Ya udah, sini mana proposalnya? Kalau sempat nanti malam aku baca." Wening akhirnya memutuskan.

Dengan cepat Tio menyerahkan proposal itu pada Wening. Lelaki itu berharap besar jika aksinya kali ini akan membuahkan hasil yang baik.

"Kalau gitu, aku pulang duluan ya, Fan? Nanti kemalaman. Makasih kamu udah ingetin dan temenin aku tadi." Wening pamit.

"Iya, sama-sama. Mau diantar?"

"No! Kamu baru sehat, nggak usah aneh-aneh! Mana Fadil? Nggak bener tuh anak kalau masih nelantarin kamu!"

"Mas Fadil masih di dalam kayaknya, ada ngobrol bentar sama ketua masjid," balas Tifanny. "Ya udah, kalau gitu kamu hati-hati, Wening."

Gadis itu mengangguk mantap. "Aku duluan. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

•••

Wening membaringkan tubuhnya sejenak di atas kasur. Menatap langit-langit kamar dan berusaha meredam suara berisik yang ada di kepalanya.

Tak lama kemudian, ia berubah posisi menjadi duduk. Bersandar pada kepala ranjang dan mulai membaca proposal yang Tio berikan padanya tadi.

"Proposal pengajuan lamaran untuk Wening Ekanindya." Berikut Wening membaca judulnya.

Gadis itu kemudian membuka lembaran berikutnya, di sana terlampir biodata lengkap Tio bersama keluarga. Tak hanya itu, di sana juga tertera hobi dan bakat yang lelaki itu punya. Di lembar ketiga, Tio melampirkan tentang personal statement. Itu dimulai dari sifat yang lelaki itu miliki.

"Kepribadian baik perhatian, sabar dan mampu menjaga pandangan. Kepribadian buruk egois dan terlalu posesif. Bagus! Ternyata sadar diri! Emang harus diakui kalau kamu tuh egois!" Wening geram.

Di bawahnya ada kondisi keluarga dan rencana masa depan. Tio menceritakan bahwa kondisi keluarganya berasal dari orang biasa, tidak begitu kaya, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua orang tuanya juga bukan seorang ustadz ataupun ustadzah yang memiliki ilmu agama yang tinggi, tetapi mereka sama-sama belajar untuk memaknai hidup yang lebih kekal dan tentunya untuk mencari rida Allah.

Perihal ekonomi, Tio juga mengungkapkan bahwa dia bukan seorang pengusaha kaya yang mampu memenuhi semua keinginan. Dia hanya lah seorang karyawan pabrik roti yang memiliki penghasilan tak begitu besar. Namun, dia berusaha untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya kelak.

Selanjutnya, Wening fokus pada kalimat rencana masa depan. "Visi, menciptakan sebuah keluarga untuk saling membantu memperbaiki kesalahan, menyempurnakan kekurangan masing-masing, serta untuk mencari ladang pahala sebanyak-banyaknya. Hem ... oke juga."

"Misi, memastikan pendapatan didapat dengan cara yang halal. Menjaga keluarga untuk tetap menjalankan perintah Allah SWT. Belajar introspeksi diri dari kesalahan yang pernah dibuat. Iya, kamu harusnya sering-sering introspeksi diri biar nggak egois!" Wening mengatur napasnya sejenak. Entah kenapa membaca proposal ini malah membuat emosinya tak karuan.

Setelah tenang, ia kembali melanjutkan ke halaman berikutnya. "Hak dan kewajiban isteri? Pokoknya kalau aneh-aneh, aku bakal No!"

"Hak isteri, boleh bekerja selagi kebutuhan rumah tangga tercukupi, dan bisa mengatur waktu. Nah emang harus gini! Nggak mungkin aku harus putus kuliah dan cuma duduk di dapur terus, kan?" Wening bermonolog.

"Kewajiban isteri, melayani suami dan menurut perintah suami. Huh, udah biasa. Di mana-mana isteri harus nurut sama suami. Ya ... kalau nggak aneh-aneh, nggak masalah sih." Wening mengangkat bahunya pelan, acuh tak acuh.

Terakhir, yang membuat Wening terdiam sesaat tatkala melihatnya. "Pesan terakhir Tio ...."

"Aku butuh pasangan yang bisa menegur kesalahanku, karena aku hanyalah manusia biasa  yang kadang juga merasa khilaf. Aku butuh sosok yang cerewet dan bisa mengarahkanku yang lebih baik, karena aku adalah seorang yang pendiam dan kaku. Karena sejatinya, menikah bukan hanya untuk nafsu semata, tetapi untuk bisa melengkapi kekurangan masing-masing dengan cara menyempurnakannya." Wening menjeda sebentar. Ia sempat terdiam setelah membaca paragraf tersebut. Ada yang bergejolak di dalam hatinya. Perasaannya campur aduk.

"Proposal ini dibuat dengan sebenarnya untuk kepentingan proses pengajuan lamaran. Semoga Allah SWT mempermudah dan memberikan jalan yang sesungguhnya. Aaa!" Wening menutup proposal itu dengan cepat. Gadis itu kembali berbaring sembari menutup wajahnya, bingung.

"Dia memang egois dan plin plan, tapi setelah baca proposal tadi, kenapa perasaanku goyah? Apa mungkin aku akan kasih kesempatan buat Kak Tio?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang