7. Kebutuhan Wening

1 0 0
                                    

"Bunda sama Ayah ke mana?" Wening menoel Ragil yang asyik main game di ruang keluarga. Begitu tiba di rumah dia merasakan suasana yang sepi, padahal ini hari libur, seharusnya orang tuanya tak bekerja.

Ragil berdecak, tanpa menoleh dia menyahut, "Taman belakang."

Wening mencebik, kesal karena diabaikan. Dengan senyum miring Wening merebut ponsel Ragil, lalu menyimpannya di atas lemari yang tinggi. Setelahnya dia berlarian ke luar rumah.

"Kenapa nggak bisa akur, sih, Kak?" Bunda menyambut kedatangan Wening dengan tanya gemas. Wanita itu berjongkok di dekat rumpun dengan tangan yang terbungkus sarung khusus berkebun.

Wening menyengir. "Sesekali, Bun. Lagian kan aku nggak tiap hari di rumah."

Bunda menghentikan pekerjaanya memetik daun-daun layu. Dia beralih memandang Wening intens. Setelah helaan napas, dia berkata, "Iya, ya, kamu cuman netap tiap  hari di rumah ini sampai SMA aja, setelah kuliah dan seterusnya kamu nggak akan ke rumah ini lagi." Suaranya terdengar sendu.

Wening memeluk Bunda dari belakang. Agak kebawa mellow, tetapi Wening berusaha menghibur. "Setelah kuliah aku akan netap di sini, kok. Aku nggak niat kerja jauh, mau buka usaha aja di rumah."

Bunda melepas sarung tangannya, lantas mengusap jemari tangan Wening yang melingkar di bahunya. "Kamu kan mau nikah, Kak."

Wening tersentak. Tubuhnya menegang.  "Itu ... emangnya Bunda udah mau aku nikah?" Setelahnya Wening menggigit bibir. Gelisah.

Bunda melepas rangkulan Wening. "Duduk, yuk!" ajaknya sembari menunjuk teras yang dilapisi karpet anyaman.

Wening menurut. Mengikuti langkah Bunda dengan gontai. Sampai akhirnya duduk bersebelahan dengan kepala Wening yang menyandar pada tangan Bunda.

"Jadi ...." Wening memainkan baju Bunda.

Bunda tampak menerawang, memandang lurus tanaman bunganya. "Bukan tentang kemauan Bunda atau Ayah, pernikahan kamu itu tentang kemauan kamu. Namun, jika kamu bertanya tentang restu .... Ya, Bunda dan Ayah sudah merestui kamu menikah di usia sekarang."

Wening mengangkat sebelah alis. "Alasannya?"

"Karena kamu sudah memenuhi persyaratan, baik secara agama maupun negara. Kamu sudah baligh dan sudah lewat usia 19." Bunda menjeda sejenak, melirik Wening sembari mengusap kepaanya.  "Namun, lebih dari itu, Bunda rasa kamu memang sudah membutuhkan pernikahan, Kak."

Bola mata Wening melebar. Dia berpindah ke depan Bunda dan memandangnya nyalang. "Kenapa aku butuh nikah? Aku udah nggak sejelalatan dulu ke cowok, Bun. Aku juga masih bisa apa-apa sendiri. Termasuk ... nyari uang." Suara di akhir kalimatnya melemah.

Bunda mengangguk mantap. "Iya, alhamdulillah, kamu memang sudah menjadi sosok mandiri dan pekerja keras. Namun, Bunda yakin kamu pasti juga pernah merasa butuh partner keseharian, kan? Yang paling sederhananya bisa jadi partner ngobrol kamu, saat Bunda dan Ayah atau teman-teman kamu nggak bisa melakukannya."

Wening terdiam. Batinnya diam-diam  mengiyakan. Dia memang sering kesepian saat sendiri di kosan. Terlebih Wening adalah sosok ekstrovert yang memulihkan energinya dengan berkumpul dengan orang lain.

"Tapi emangnya Kak Tio bisa dijadikan partner ngobrol panjang yang nyaman?" ucapnya spontan. Melihat gerakan alis Bunda, dia jadi gelagapan. "Itu, misalnya aja, Bunda. Kan sekarang baru dia aja calonnya. Apa kami bakal cocok? Soalnya betahun-tahun aku sahabatan sama Tifannya, Kak Tio tuh jarang nimbrung lama. Dia sibuk banget."

"Mungkin lebih tepatnya menyibukkan diri," sanggah Bunda.

"Hah?" Wening menelengkan kepala.

"Ya, Nak Tio mungkin nggak mau ngobrol panjang dengan kamu yang nggak halal buat dia, makanya dia berusaha menghindar dengan nyari kesibukan."

"Benarkah?"

Bunda mengedikkan bahu. "Itu cuman perkiraan Bunda. Enggak tahu kalau mungkin ada kebenaran lain. Cuman ... kebanyakan laki-laki emang gitu, cuek sama yang bukan siapa-siapanya, tapi kalau udah keikat hubungan bisa cerewet."

"Ayah juga?!" Saking terkejut dengan fakta yang didengarnya, Wening sampai agak menjerit.

"Ayah juga apa, Kak?" Tiba-tiba terdengar sahutan dari arah pohon mangga.

Wening mendongak dan melihat Ayah yang bertengger di dahan yang lumayan tinggi dengan menenteng kantong jaring. "Ayah sejak kapan di sana?"

"Sejak bundamu berkebun. Ayah takut Bunda kesepian jadi ditemani. Eh, kamu datang."

Wening manyun. "Bucin," bisiknya  lirih.

Bunda menyenggol Wening. "Tuh kan cerewet banget sekarang. Padahal dulu awal ketemu ayahmu itu kayak bedug, baru keluar bunyi kalau dipukul." Bunda ikut berbisik.

Ayah tak lagi nimbrung, kembali sibuk memetik buah.

"Tapi sekarang perkembangan digital pesat, Bun. Aku bisa ngobrol sama siapa aja di sosmed. Selama sendirian di kosan aku suka gitu kalau lagi bosan." Wening masih berusaha mencari penyangkalan.

"Tapi mereka nggak akan bisa kamu peluk langsung."

Wening terbatuk. Frontal sekali Bunda.

Mengabaikan reaksi Wening, Bunda melanjutkan dengan nada yang lebih serius. "Namun, yang paling jadi pertimbangan Ayah dan Bunda adalah karena kamu butuh penjaga. Ya, memang kamu tangguh dan bisa dipercaya untuk tinggal jauh di rantauan sana. Namun, kami juga tetap mengkhawatirkan kamu. Jadi, tolong mulai pikirkan kebutuhan kamu, ya."

Wening membisu,

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now