4. Rencana Tifanny

1 0 0
                                    

"Tifanny Sayang, Mas belum coba lho masakan kamu itu. Jadi, Mas belum bisa simpulkan kemasinan atau nggak. Lagian, kamu jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Positif thinking aja kalau masakan kamu enak. Biasanya kan juga enak."

"Ya ... siapa tahu karena lagi puasa jadinya agak aneh gitu." Tifanny beralibi.

"Kemarin-kemarin nggak tuh, tetap enak aja. Kamu lagi capek, ya? Jangan mikir yang aneh-aneh, Sayang," tebak Fadil membuat Tiffany bungkam dan menunduk.

Belum sampai satu menit, Fadil menarik tubuh istrinya itu dalam dekapan hangat. "Fan, nggak apa kamu belum bisa ceritain masalah kamu sekarang, tapi tolong diingat, kamu di sini nggak sendiri, ada Mas yang selalu siap dengerin keluh kesah kamu. Kapanpun kamu butuh, insyaallah Mas siap. Okey, My wife?"

Tifanny melepaskan pelukannya, kemudian menatap Fadil dengan sok garangnya. "Gombal!"

"Mas nggak gombal, kok. Mas itu bilang apa adanya. Gengsinya diturunin, dong!" Fadil meledek.

"Jangan ngomel mulu! Mas mandi dulu sana, busuk tahu! Kayak kambing!" Tifanny pura-pura menutup hidung.

"Oh ... udah berani ya bilang kayak gitu ke Mas? Awas aja!"

"Ndak, Mas. Ampun, Tifanny cuma bercanda aja. Udah sana gih mandi!"

"Mandiin, dong!"

"Mas!"

"Dalem, Sayang."

"Udah ih sana!"

"Cerita dulu."

"Ndak mau kalau Mas belum mandi!"

"Oke, berarti habis mandi harus cerita, ya? Oke titik nggak ada penolakan!"

***

"Enak, Sayang."

Tifanny mengembuskan napas panjang mendengar kalimat pertama yang suaminya ucapkan setelah beberapa saat terdiam meresapi masakan yang dibuatnya. Ternyata tumis tempe kecap dan sayur katuk yang dibuatnya tanpa dicicipi itu bisa diterima lidah Fadil yang memang cukup pemakan segala.

Makanan itu pula yang menyelamatkannya dari cercaan Fadil. Setelahnya azan magrib berkumandang, Tifanny dan Fadil salat berjamaah. Ini sesuatu yang langka karena biasanya Fadil akan salat di masjid atau musala. Namun, khusus hari pertama Ramadhan dia memutuskan untuk salat bersama sang istri.

Gemas karena sang istri yang belum juga memulai santapan, akhirnya Fadil mengarahkan sendok yang sudah diisinya dalam jumlah sedang ke dekat mulut Tifanny. "Aaa ...!" ucapnya sarat penekanan.

Tifanny bersemu. Pelan-pelan membuka mulutnya, menerima suapan, dan mengunyahnya perlahan-lahan. Meski sudah berbulan-bulan menikah, tetapi Tifanny masih selalu malu-malu jika Fadil bersikap romantis.

Lima belas menit kemudian meja makan di rumah kecil itu sudah bersih. Semua makanan sudah berpindah ke perut pasangan muda itu. Piringnya pun sudah mereka cuci bersama. Kini keduanya berjalan beriringan ke ruang tengah, lantas duduk lesehan sambil saling bersandar, menunggu waktu tarawih.

"Jangan insecure lagi, ya. Lihat kan tadi aku menikmati masakan kamu yang udah makin mirip masakan ibuku." Fadil mengusap kepala Tifanny yang tak tertutupi kerudung.

"Oh, iya. Mas udah ngabarin ibu tentang kepulangan kita?" Tifanny mendongak. Mengingat keduanya sepakat lusa akan pulang ke kampung halaman mereka di pulau Jawa.
Fadil tersenyum. "Sudah, pas aku telfonan sama Agam, ibu nimbrung, jadi sekalian, deh, aku bilang rencana kita."

"Kapan Mas telponan sama Agam?" Tifanny rasanya akhir-akhir ini belum melihat sang suami menelpon adik-adiknya.

Fadil adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Adiknya sepasang. Yang laki-laki bernama Agam, dia duduk di kelas dua SMA. Sedangkan adik bungsunya perempuan, bernama Nindi, baru duduk di kelas tiga SMP.

Sebagai anak bungsu, Tifanny bersyukur dengan kedatangan Fadil di hidupnya, yang akhirnya membuatnya bisa merasakan menjadi seorang kakak. Tifanny cukup dekat dengan keduanya, terutama si bungsu.

"Kemarin malam, pas kamu udah tidur," balas Fadil. "Agam mau lomba tilawah, minta doaku, terus ibu nimbrung, deh."

Tifanny melebarkan bola mata. "Berarti pules banget, ya, aku. Sampai nggak tahu kamu nggak ada di kasur sebelah aku."

Fadil terkekeh. "Iya, kamu lagi tidur cantik."

Tifanny tersipu. Namun, menggeleng setelahnya. "Kak Tio bilang tidurku ndak estetik, kok."

"Kamu udah ngabarin Kak Tio?"

Tifanny menepuk kening. "Astaghfirullah, lupa aku, Mas. Terakhir telfon itu sebelum puasa. Kak Tio lagi sibuk di pabriknya, sama ada rencana rahasia katanya. Ndak tahu apa, sampai aku lupa nanya lagi."

"Ya udah, kabarin. Masih ada waktu sebelum tarawih. Di Jawa juga kayaknya malah belum waktunya buka." Mengingat mereka tinggal di Kutai Kalimantan Timur yang waktunya satu jam lebih dulu daripada daerah kampung halaman mereka.

"Baik, Mas." Tifanny menerima sodoran ponsel Fadil, lantas mendial nomor sang kakak.

Nada tunggu berdering beberapa saat. Sampai terdengar salam dari pria yang Tifanny rindukan. "Ada apa, Dil?"

Tifanny mengubah mode panggilan menjadi panggilan video. "Ini aku, Kak."

"Dek ...." Tio tersenyum begitu lebar, matanya tampak memancar rindu. "Apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Kak. Kakak gimana? Masih sibuk, kah? Itu udah pulang kerja? Udah nyiapin buat buka?"

Fadil tersenyum geli. Jika dengan orang lain Tifanny begitu pendiam, berbeda dengan keluarganya, Tifanny bisa jadi sangat cerewet.

"Kakak baik. Baru pulang kerja sekaligus nyari takjil. Ini lagi istirahat karena jalan kaki."

Kening Tifanny mengerut. "Lho, motor Kakak kenapa?"

Tio tampak menggaruk rambutnya. "Ada, tapi Kakak pinjemin ke Wening."

"Hah?" Tifanny bingung. "Bukannya Wening ada di rantauan? Lagian buat apa Kak Tio menemui Wening?"

"Buat jaga calon istri." Suara Tio melirih.

Wajah Tifanny makin kaget. "Kenapa bisa nyasar ke dia?"

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang