18. Kemarahan Tio

0 0 0
                                    

"Kenapa Tifanny? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Kamu apain dia?" Tio yang baru saja datang ke rumah sakit, langsung melontarkan beberapa pertanyaan yang menggangu pikirannya sejak di perjalanan tadi. Ia tak peduli jika kedatangannya diperhatikan banyak orang di sana.

"Maaf, Kak, mungkin akan lebih baik kalian berdua bicara di luar. Nggak enak didengar banyak orang di sini, takut ganggu juga. Mbak Tifanny, biar Agam yang nunggu di sini. Tenang aja, jika beliau sudah siuman segera Agam kabarkan pada kalian." Agam mengusulkan.

Demi menjaga ketenangan orang lain di sekitar itu, akhirnya Tio mengajak Fadil ke halaman belakang untuk meminta penjelasan. Kedua pria itu berjalan beriringan tanpa tegur sapa. Tio yang menatap lurus ke depan dengan ekspresi datar, sedangkan Fadil menunduk karena merasa bersalah atas kelalaiannya menjaga Tifanny.

"Jelaskan!" pinta Tio ketika mereka berdua telah sampai.

"Tifanny kelelahan, Kak. Kami berdua izin untuk tinggal dirumahku, karena ibu sedang sakit. Tiga hari ini, Fanny membantuku merawat ibu. Dia yang melakukan pekerjaan rumah sendiri, kadang-kadang dibantu oleh Agam dan Nindi. Akan tetapi, selama tiga hari itu juga aku lalai memperhatikan Tifanny. Fokusku hanya terpaku pada ibu. Dia sedang haid, kakinya pun belum sempurna membaik, tapi aku terus memintanya untuk menyiapkan segala sesuatu untuk ibu dan di rumah. Bahkan, tadi ketika aku di dapur untuk mengambil bubur, sebetulnya Tifanny sudah meringis kesakitan akibat tamu bulanan dan keram di kakinya, ia terduduk di lantai, tapi aku tidak melihatnya. Sampai aku pergi ke kamar ibu ... Agam dan Nindi berteriak kalau Tifanny pingsan."

Bugh!

Satu pukulan mendarat di wajah mulus Fadil. Pria itu menunduk, ia terima perlakuan kakak iparnya itu. Walau rasanya sangat sakit, tetapi Fadil yakini perasaan sang kakak jauh lebih sakit mendengar kabar Tifanny terbaring di rumah sakit ini.

"Keterlaluan kamu, Dil! Kamu tahu Tifanny itu jalannya masih butuh dituntun, dia belum bisa dilepas gitu aja. Butuh waktu yang cukup lama biar dia bisa seperti semula. Tapi, kamu malah bikin dia sengsara kayak gitu! Itu sama aja kamu nggak menghargai kekurangan dia, Dil!" Emosi Tio terluapkan. Kedua matanya menatap tajam ke arah Fadil, seolah dia adalah mangsa Tio yang harus dieksekusi detik ini juga.

Fadil tidak menjawab, ia akui kesalahan dan kelalaiannya dalam menjaga Tifanny. Kemarahan yang Tio luapkan sore ini, ia terima dan maklumi. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, Fadil juga tak kuasa melihat Tifanny terbaring lemah di ruangan tadi. Hatinya ikut tersayat tatkala selang infus terhubung ke bagian tubuh isterinya. Ia hanya lalai, bukan berarti ia tak menyayangi Tifanny. Rasa khawatir yang begitu besar pada ibunya, membuat fokus Fadil teralihkan. Ibunya juga tidak salah, Hana sudah mengingatkan Fadil, tetapi pria itu baru menyadarinya hari ini.

Allahuakbar Allahuakbar

"Alhamdulillah." Keduanya serempak mengucapkan hamdalah.

"Mau buka dulu, Kak?" Fadil menyapa lebih dulu, tetapi Tio hanya diam. Ia tidak merespon ucapan Fadil. Mendapat perlakuan seperti itu, Fadil hanya bisa diam dan memaklumi.

"Kak, Mbak Tifanny sudah siuman." Agam datang dengan tergesa-gesa. Kabar gembira yang ia bawakan barusan berhasil mengubah ekspresi Tio 180°. Tak hanya Tio, Fadil yang berstatus sebagai suaminya pun juga ikut senang. Ada rasa kelegaan dalam hati mereka.

Tio hendak pergi menemui Tifanny, begitupun Fadil. Akan tetapi, interupsi Tio membuat Fadil mengurungkan niatnya. "Sementara ini, kamu nggak aku izinkan ketemu Tifanny."

•••

Sujud sembari menceritakan semuanya pada Sang Pencipta memanglah membuat tenang. Keputusan yang Tio buat beberapa menit lalu, masih terngiang di kepalanya. Fadil tahu bagaimana sakitnya hati Tio ketika mendengar adik kesayangannya itu sakit, tetapi bukankah Fadil juga merasa demikian?

Usai tak diizinkan, Fadil lantas pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah salat magrib sekaligus membatalkan puasanya. Ia tak makan apa pun, hanya membatalkan dengan air putih. Menurutnya, selagi Tifanny tidak makan, maka dirinya pun begitu. Anggap saja ini adalah hukuman untuk Fadil. Terbesit dalam benaknya untuk nekat menemui Tifanny. Akan tetapi, Fadil tahu diri bahwa itu malah menambah masalah besar dan Tio akan bertambah emosi.

Fadil menatap ke atas, hiasan indah nan megah itu nyatanya tak mampu menghentikan air mata Fadil untuk tetap ke luar dari persembunyiannya. Lelaki itu menangis dalam diam. Dadanya sesak tak karuan. Berkali-kali ia memohon ampun pada Sang Pencipta, berharap dosanya bisa terampuni atau bahkan pindahkan saja rasa sakit Tifanny pada dirinya. Fadil tak sanggup jika harus membayangkan istrinya menanggung rasa sakit itu sendirian. Fadil bersalah, ia menyesal. Fadil telah melukai perasaan Tifanny.

"Ya Robb, jika engkau masih mengizinkanku untuk bertemu Tifanny saat ini, maka tolong izinkan. Setidaknya beri aku kesempatan untuk mengutarakan kata maaf padanya. Terlepas jika aku harus menerima kemarahannya, aku ikhlas. Aku terima semua konsekuensi yang akan terjadi nanti. Sesak dada ini tak akan reda jika aku tak menemuinya."

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang