14. Kerinduan Tifanny

0 0 0
                                    

Brak!

Fadil memberhentikan motornya secara mendadak, sampai-sampai pot bunga yang ada di depan teras itu hampir saja pecah karena ulahnya. Berulang kali Tifanny merapalkan istighfar, kaget. Sejak perjalanan dari rumahnya tadi, ia melihat suaminya ini begitu tak tenang. Ada rasa risau yang menyelimuti hati lelaki itu. Bahkan, ketika diajak bicara pun Fadil tak mampu fokus.

Sebelum berangkat tadi, Tifanny diberi tahu bahwa ibu Fadil sakit. Katanya sudah cukup lama sakitnya, sejak Fadil masih belum pulang kampung. Namun, karena sang ibu tak ingin membuat Fadil khawatir, jadilah semua keluarga dilarang memberitahu anak sulungnya itu. Sampai akhirnya, tadi setelah buka puasa Agam nekat mengubungi Fadil diam-diam.

Fadil bergegas turun dari motornya, tetapi karena tergesa-gesa lelaki bertubuh tinggi itu hampir saja terjatuh jika tidak dibantu sang isteri.

"Mas, hati-hati." Tifanny memperingati.

Fadil duduk sejenak, karena celana dasarnya tersangkut di pecahan pot yang hampir membuatnya terjatuh tadi. Namun, karena terburu-buru, Fadil terlihat amat kesal. Ia bahkan membanting pot tersebut dan membuat kerusakan di sekitarnya.

Tifanny yang berdiri berhadapan dengan suaminya, lantas berjongkok. Menegur laki-laki dengan pelan. "Mas, sabar. Mas Fadil kenapa?"

Perempuan itu menggenggam kedua tangan suaminya, berusaha menenangkan. "Mas, Fanny tahu Mas Fadil sekarang pasti risau karena ibu sakit, apalagi sakitnya sebelum dari kita pulang kampung. Tapi, tolong, tenangkan diri Mas Fadil dulu, ya? Kalau Mas tergesa-gesa kayak gini, ibu juga ikut khawatir nanti, Mas," ujar Tifanny dengan lembut.

Fadil mengalihkan pandanganya, ia menunduk. "Mas kebawa emosi. Maaf. Mas ... cuma khawatir sama ibu, Fan."

"Iya, Fanny paham perasaan Mas Fadil sekarang. Tapi, walau sedang khawatir, kalau bisa tetap kontrol emosi ya, Mas. Istighfar. Biar walau dalam keadaan apa pun, hati Mas Fadil bisa tenang dan ketika mengambil keputusan ndak tergesa-gesa."

Fadil berusaha menahan tangisnya. Ia mengangguk kecil dan mengikuti ucapan isterinya. "Astagfirullahaladzim. Ibu nggak apa-apa kan, Fan? Ibu baik-baik aja, kan? Sakit ibu nggak parah kan, Fan?"

"Astaghfirullah. Buang jauh-jauh pikiran burukmu itu, Mas. Kita serahin sama Allah, ya? Insyaallah, atas izinnya ibu ndak akan kenapa-kenapa. Sekarang, Mas Fadil tenangin diri dulu. Jadi, ketika masuk Mas Fadil sudah bisa kontrol emosinya. Oke, Sayang?"

•••

"Assalamualaikum, Bu?" Fadil menyapa lebih dulu. Ia menyalami wanita paruh baya itu dengan sopan. Rasa khawatir yang ia pendam, kini tak bisa ia alihkan. Pandangannya hanya fokus pada wajah sang ibu. Dipandangnya wajah seorang perempuan yang melahirkannya itu lama-lama, campur aduk ekspresinya terlihat. Tak hanya Fadil, tetapi Tifanny pun ikut menyalami ibu mertuanya.

"Waalaikumsalam. Fadil? Tifanny? Kok ke sini nggak bilang-bilang?" Ibunya Fadil kaget. Ia berusaha terlihat baik-baik saja.

"Harusnya Fadil yang nanya, kenapa Ibu sakit nggak bilang-bilang?"

Ibunya Fadil mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan kabar anak dan menantunya selama di Kalimantan. Topik utama teralihkan karena sang ibu begitu antusias menanyakan keberadaan dan keseharian mereka di sana. Mereka bertiga berbincang sambil melepas rindu yang telah lama terpendam. Sesekali Hana—ibunya Fadil—tertawa tatkala anaknya bercanda ringan. Tifanny yang melihat peristiwa itu pun ikut tersenyum. Bahkan, tanpa sadar air matanya turun secara perlahan.

Tifanny rindu ibunya.

Jikalau saja ibunya masih ada sampai detik ini, mungkin Tifanny juga bisa ikut bercengkrama bersama beliau. Bisa berbagi cerita apa pun dan memberikan pelajaran-pelajaran yang berharga untuknya. Namun, nyatanya Sang Kuasa memang berkehendak lain.  Sehingga, rindunya sang anak hanya bisa dituntaskan lewat untaian doa.

Lagi, air matanya kembali turun di saat sang mertua dengan bahagianya berbincang bersama anak. Sejujurnya, renjana yang menggumpal di hati Tifanny tak dapat ditampung lebih lama, tetapi perempuan bermata sipit itu terus berusaha agar mertua dan suami tidak melihat kerapuhannya saat ini.

"Pasti Agam ya yang kasih tahu kalian? Padahal Ibu udah bilang nggak usah kasih tahu, tapi tetap aja," ujar Hana.

Fadil mengusap tangan ibunya dengan lembut. "Bagus malah kalau Agam kasih tahu, kalau nggak Fadil marah! Lagian kenapa nggak mau kasih tahu sih, Bu? Sama anak sendiri juga."

"Ibu nggak mau bikin kamu khawatir, Nak."

"Justru kalau Ibu nggak kasih kabar ke kita, itu bikin kita tambah khawatir, Bu." Tifanny akhirnya menyahut. Senyum manisnya membuat Hana juga rindu pada menantunya.

"Ibu kan masih punya kita, jadi kalau ada apa-apa jangan sungkan buat bilang ya, Bu. Mau bilang sama Tifanny juga boleh banget, kok. Ndak ada batasan sama sekali."

"Tuh, Bu. Tifanny aja nggak keberatan loh, menantu idaman ini," goda Fadil berhasil membuat semu di pipi cabi isterinya.

"Tolong ya, Bu, Ibu jaga kesehatannya. Jangan capek-capek, kalau butuh bantuan minta tolong sama Agam atau Nindi. Mereka juga nggak akan keberatan, kok. Ya?" pesan Fadil.

Hana mengangguk. "Tapi ... kalau Ibu minta kalian untuk tinggal beberapa hari di rumah Ibu keberatan nggak?"

••• BERSAMBUNG •••

Senin, 25 Maret 2024
14 Ramadhan 1445 H

Mengejar Lentera 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang