Prolog: Tifanny

2 0 0
                                    

Janji yang Fadil utarakan akhir Ramadhan tahun lalu, memang benar dilakukan. Setelah hari raya idul Fitri kemarin, lelaki yang kutahu tengah bekerja di Kalimantan segera melamarku dan menetapkan keputusannya untuk menjadikan diriku sebagai teman hidupnya. Hingga sampai saat ini, pernikahan kami terhitung kurang lebih 8 bulan. Menuju satu tahun.

Tentunya ada banyak hal yang aku lewati selama menjalani kehidupan yang baru. Setelah menikah, aku tinggal bersama Fadil di Kalimantan dan harus rela meninggalkan Kak Tio seorang diri di rumah. Di Kalimantan, sejujurnya aku cukup sulit untuk beradaptasi. Banyak hal baru yang aku tak tahu, banyak kebiasaan yang tak aku mengerti, dan mau tidak mau aku harus menyesuaikan itu semua.

Namun, di balik kesulitanku menerima semua itu, ada Fadil yang membantuku. Aku katakan dia adalah sosok lelaki yang sabar, karena sudah menerima diriku apa adanya tanpa mempermasalahkan kekurangan yang aku punya. Dengan keterbatasan ini, sepatah kata pun ia tidak pernah mengeluh. Terkadang, ketika ia pulang dari kerja yang masih dalam kondisi lelah, Fadil mau membantu pekerjaanku. Padahal, aku sudah melarangnya, tetapi ia masih kekeh dengan keputusannya.

Aku membernarkan sebuah kalimat yang mengatakan bahwa menikah bersama orang yang tepat adalah sebuah anugerah terindah yang pernah kita miliki. Aku merasakannya. Aku bersyukur bisa memiliki Fadil. Bahkan, kebutuhan kuliah dan pengobatanku ia yang menanggungnya. Alhamdulillah sampai detik ini, ada perubahan yang terlihat. Sedikit demi sedikit aku bisa berjalan walau sangat lambat.

Akan tetapi, aku sering kali berpikir secara berlebihan. Di usia yang masih dini, tentunya aku belum bisa memberikan keturunan karena kuliahku yang masih belum rampung dan baru memasuki semester 4. Hal lainnya karena ... keterbatasanku.

Sempat aku berpikir, mengapa Fadil harus memilih diriku yang seperti ini? Bukankah masih banyak wanita lain yang lebih baik dan sempurna dariku? Bagaimana jika di tempat pekerjaannya ia ditertawakan oleh temannya karena menikah denganku?

Hidup berumah tangga itu banyak cobaannya. Bisik tetangga yang terdengar bisa jadi memicu masalah jika kita tidak bisa mengatasinya dengan baik. Seperti tempo lalu, ketika Fadil mengajakku jalan-jalan pagi. Saat itu, aku sudah mulai bisa berjalan, sedikit. Akan tetapi, Fadil menyuruhku untuk memakai kursi roda agar aku tidak lelah, katanya. Ada salah satu warga yang lewat di tepi jalan sambil memerhatikan diriku dengan begitu intens.

Beliau bilang, "Mas, kok mau sih menikah sama perempuan seperti ini? Mana Mas-nya masih muda, lho. Nggak mau cari yang lain aja?"

Dari perkataannya tentu saja membuatku tersinggung. Aku sakit hati. Air mataku saat itu sudah turun tanpa orang itu tahu. Namun, apa yang dilakukan Fadil? Dia mengelus kedua bahuku dengan pelan, berusaha membuat diriku agar tetap tenang.

Setelahnya Fadil menjawab, "Saya nggak mau cari yang lain, Bu. Isteri saya ini jauh lebih baik dari wanita-wanita lain. Justru dengan keterbatasannya, rasa sayang saya lebih besar. Dengan itu, secara nggak langsung  Allah mengutus saya untuk menjaga dia lebih erat lagi. Karena sebuah berlian memang harus dijaga dan dirawat dengan baik, agar tidak dirusak oleh sembarang orang."

Fadil mengucapkan itu diakhiri senyuman simpul, lalu pergi meninggalkan warga tadi yang terdiam malu.

Selama perjalanan, aku menunduk. Jelas, aku merasa insecure. Aku malu. Akan tetapi, Fadil kembali berucap sambil berjongkok di hadapanku.

"Tifanny, calon ibu dari anak-anak Fadil dan madrasahnya anak-anak, nggak usah dipikirin, ya? Nggak usah insecure dengan apa pun yang terjadi sama Tifanny. Fadil tahu cantik versi Tifanny itu seperti apa."

Mengejar Lentera 2Where stories live. Discover now