22. Labil

0 0 0
                                    

"Hati-hati." Wening berseru pada Tio dan Fadil yang bersiap menggandeng Tifanny keluar dari mobilnya.

"Aku kuat kok, Wen." Tifanny menyahut pelan sembari berjalan pelan memasuki pekarangan rumahnya.

Wening hanya menanggapi Tifanny dengan ringisan. Meski dokter sudah menyatakan keadaan Tifanny membaik dan memperbolehkan pulang, tetapi Wening masih khawatir.

"Terima kasih sudah memperhatikan istriku, ya," ucap Fadil setelah mengantar Tifanny ke kamar masa kecilnya.

Karena Tio masih mode merah, maka Tifanny tak diizinkan ke rumah mertua dulu. Tio ingin memantau keadaannya sampai sembuh, sembari mengawasi perilaku Fadil yang masih sering ditatapnya tajam.

Wening mendengkus. "Dia sahabatku, ya," sahutnya dongkol dengan tangan mengibas, menyuruh Fadil memberi jalan agar dia bisa mendekati Tifanny. "Sudah nyaman?" Nadanya langsung berubah lembut saat melihat Tifanny yang duduk bersandar di ranjang.

Tifanny mengangguk dengan senyuman. "Makasih, Wening. Maaf aku merepotkan."

"Sama-sama. Tapi kamu nggak merepotkan sama sekali. Sekarang istirahat dan makan yang benar, ya. Jangan dulu mendekati yang berat-berat. Entah itu pekerjaan atau pikiran. Harus plong ...." Tangan Wening memanjang seiring lengkingannya.

Setelah puas mendengar tawa kecil Tifanny, Wening berdeham. "Ya sudah, aku pamit, ya. Syafakillah, cahabatku."

Begitu Wening meninggalkan kamar Tifanny, Tio pun mengikutinya. Wening menyadarinya, tetapi memilih tak mau ambil pusing. Sampai saat Wening akan mengenakan sepatunya, barulah Tio memanggilnya.

"Wening?"

Wening mendongak karena posisinya duduk di teras sementara Tio berdiri di depannya. "Ya?" sahutnya sembari mengangkat sebelah alis.

Sebenarnya Wening sedang tidak mood untuk berinteraksi kembali dengan Tio setelah melihat sikap posesifnya. Bahkan saat menunggu Tifanny berduaan dengan Fadil pun Wening lebih memilih di taman. Tak mau berdekatan dengan Tio di kursi luar kamar.

"Terima kasih ...."

"Tifanny ...." Wening akan memotong perkataan Tio dengan jawaban yang sama seperti saat membalas Fadil.

Namun, Tio juga balas memotong dengan lebih cepat dan tegas. "Untuk menyadarkanku."

"Hah?" Wening tercenung.

Tio menarik napas. "Terima kasih sudah menyadarkan aku untuk tak memisahkan Tifanny dan Fadil."

Wening membulatkan mulut. "Oke." Karena sudah selesai menalikan sepatu, dia bangkit. "Pamit, ya."

"Sebentar!" Tio menghadang Wening yang akan berbelok. "Aku mau bicara dulu."

Wening meremas gamisnya. Dia ingin menolak. Namun, sadar mereka memang butuh bicara. "Oke," putusnya.

Tio mundur tiga langkah untuk membuat jarak aman. "Kamu sudah mengetahui sikap burukku tadi. Jadi, aku tak akan membebanimu dengan pertanyaan lalu."

Wening terbelalak. Menyadari makna tersirat dalam kalimat Tio. "Kamu mundur dari melamarku?" tanyanya tak percaya. Sampai tak peduli pada sopan santunnya yang biasa memanggil kakak.

"Maaf."

"Labil! Seenaknya!" Wening menahan geram. "Kemarin saat aku hidup tentram dalam ketidakinginan menikah, kamu malah tiba-tiba melamar. Sekarang saat aku mulai kepikiran merencanakan pernikahan, kamu tiba-tiba mundur. Ngapain, sih, ganggu hidup orang banget?!"

Wening memalingkan muka sembari beristigfar. Kenapa bisa dia harus berurusan dengan laki-laki yang tidak jelas begini? Sialnya, kenapa juga hatinya tak rela saat diputuskan? Padahal sebelumnya dia sendiri yang ingin menolak.

Tio tergemap. "Kamu ... menerimaku?"

"Nggak ada penerimaan untuk sesuatu yang sudah ditarik." Wening memutar badan, berjalan cepat menuju mobilnya.

***

"Kak!"

Wening menoleh, melihat Bunda yang memasuki dapur dengan membawa beberapa kresek. Wening cepat mendekatinya dan membantu membawakan.

"Kakak belum masak?" Bunda melirik pisau dan tatakan yang Wening tinggalkan.

Wening menyengir. "Maaf, Bun. Ternyata Tifanny baru dibolehkan pulang pas Ashar. Aku sampe rumah jam empat. Jadi, ini baru masuk dapur. Itu pun rencananya cuman mau bikin telur dadar sama tumis kangkung."

"Nggak usah jadi masaknya. Ini tadi teman Bunda bekelin makanan, akikahan cucunya." Setelah menyimpan bawaannya di meja makan, Bunda memperlihatkan beberapa kotak khas oleh-oleh syukuran.

Wening menyengir. "Alhamdulillah."

"Oh, ya, gimana Tifanny, Kak?"

"Dia udah membaik. Makasih atas saran Bunda buat aku bawa mobil. Jadi, aku bisa antar dia pulang."

"Besok Bunda mau jenguk dia, Kakak bisa antar Bunda?"

"Bisa, dong!" Wening menyahut semangat sambil memindahkan makanan ke piring. "Walau aku nggak jadi sama kakaknya, Tifanny tetap sahabatku."

"Gimana, Kak?" Bunda kebingungan sampai menarik tangan Wening untuk duduk di kursi makan. "Ada apa?"

"Kak Tio menarik lamarannya," sahut Wening ringan. Wajahnya santai saja. Meski tadi sempat kesal, tetapi setelah pulang dan salat, Wening merasa lebih baik.

Masih banyak ikan di laut. pikir Wening. Jika Tio tak mau jadi dengannya, ya sudah lepaskan saja. Wening tak mau repot bergalau ria untuk masalah begini.

"Yang benar, Kak." Suara Bunda merendah. Meminta keseriusan sang anak yang di matanya terlihat main-main. "Bukan kamu yang nolak dia?"

Wening menghela napas. "Ini benar, Bun. Tadi setelah aku mengantar Tifanny, di halaman rumahnya dia menarik lamaran."

"Tapi kenapa?"

Wening mengedikkan bahu. "Dia seperti tidak percaya dengan dirinya sendiri. Labil."

"Kamu ...." Bunda meraih tangan Wening di meja. "Baik-baik aja, kan?"

Wening mengangkat satu sudut bibir. "Memangnya aku kenapa? Galau? Sedih? Nggak, Bun. Anakmu ini tangguh. Aku memang kecewa, tapi sekilas aja. Toh aku juga nggak punya rasa lebih ke dia. Jadi, hapus dulu bahasan nikah di rumah ini, ya."

"Nggak gitu, Nak!"

Mengejar Lentera 2حيث تعيش القصص. اكتشف الآن