83. Cemburu

78 13 0
                                    


Wina duduk di sofa dengan sangat malu. Bajunya telah diganti dengan kaus dan rok milik Bu Gani. Sebuah sarung membungkus tubuhnya agar hangat. Bu Gani juga membuatkan teh panas. Wina menyeruput teh itu dengan perlahan. Hatinya sedikit tenang, dan otaknya mulai bekerja dengan baik.

"Kenapa Wina datang ke tempat Jata?" tanya Gani dengan hati-hati.

Wina cuma menutup wajah dengan kedua tangan. "Saya tidak tahu, Pak. Seingat saya tadi, saya mau pulang." Ia tidak bisa menjelaskan bahwa saat pulang tadi, tiba-tiba merindukan Jata dengan sangat. Begitu rindu hingga semua yang dilihat mengingatkan dirinya pada lelaki itu.

"Tadi berangkat sama siapa?" tanya Gani lagi.

Wina menggelengkan kepala dan semakin sesenggukan. Sensasi bibir dan tubuh Jata masih melekat dalam benak. Daerah kewanitaannya bahkan masih membengkak, basah, dan berdenyut minta dipuaskan. Oh, mengapa ia setengah gila mengharapkan lelaki itu?

" Wina masih ingat, kenapa bisa pingsan di sana?" Gani mengubah pertanyaan setelah beberapa saat tidak mendapat jawaban.

"Saya juga bingung, Paaak," ratap Wina di sela tangis. Gani menyodorkan secangkir kopi. Ia menyeruputnya dengan bibir gemetar.

Wina kembali bungkam. Tidak mungkin ia jujur mengakui betapa kacau perasaannya akhir-akhir ini. Melihat cangkir kopi, ingatannya melayang ke Jata yang terlihat macho saat meminumnya. Bibir lelaki itu begitu seksi. Melihat kursi, otaknya langsung membayangkan pantat padat Jata duduk di situ. Melihat ambang pintu, ia teringat siluet tubuh Jata yang melewatinya dengan menawan. Segalanya hanya Jata seorang. Ia sudah gila!

"Wina diantar siapa ke sini? Mobilmu di mana?"

Wina menutup wajah dengan kedua tangan. Ia tadi menghambur keluar kantor, lalu mencegat salah satu pekerja lepas dan minta dibonceng ke rumah Jata. Setelah turun dan melangkah ke teras, ia tak tahu apa yang terjadi.

Wina mencuri pandang ke arah Jata. Ia masih merasakan perasaan yang sangat kuat itu. Seperti remaja jatuh cinta saja. Padahal Jata jelas-jelas memandang dengan muak. Ah ... tidak. Sekarang lebih parah dari itu. Pandangan itu, pandangan iba, seolah dirinya begitu mengenaskan. Ya, memang ia mengenaskan sekarang. Pingsan di teras rumah mantan, lalu merangsek menciumnya? Astaga! Sehina itu kamu, Win?

"Wina ada perlu apa datang ke rumah Jata?" ulang Gani.

"Saya mau ... mau menanyakan kondisinya. Katanya sakit." Wina berbohong.

Gani dan Dehen saling pandang.

"Wina sekarang sudah tahu kondisi Jata. Dia baik-baik saja, sudah sehat kembali. Sekarang keinginan Wina apa?" tanya Gani dengan nada simpatik.

"Saya ... saya ingin pulang, Pak."

"Mobil Wina di mana?"

"Di parkiran kantor."

"Tunggu, ya. Saya carikan sopir buat mengantar Wina pulang."

Wina menolak. "Saya bisa pulang sendiri."

Gani hendak menyela, namun Wina mendesak.

"Saya malu sekali, Pak. Bisakah hanya kita saja yang tahu kejadian ini?" pintanya dengan wajah memucat dan tubuh menggigil dengan keras. Ia menoleh ke Jata yang sudah kembali dari membuang calon anak – anaknya. "Aku ... aku minta maaf, Jat," rintihnya. Sesudah itu ia menutup wajah dengan kedua tangan kembali.

"Dia kenapa, Pak?" tanya Jata dalam bahasa batin kepada Dehen.

"Dia pingsan terkena ranjau yang saya pasang di sekeliling rumah."

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang